Kamis, 08 Maret 2018

Format Bantuan untuk Marawi, Palestina, dan Ghouta

Format Bantuan untuk Marawi, Palestina, dan Ghouta
Ikhwanul Kiram Mashuri  ;   Penulis Kolom RESONANSI Republika
                                                     REPUBLIKA, 05 Maret 2018



                                                           
Dalam diskusi kecil dengan teman-teman ISOIC (Indonesian Society for Organization of Islamic Cooperation) beberapa pekan lalu, saya tidak sependapat untuk menyelenggarakan seminar tentang Suriah. Seminar atau forum diskusi ini kami selenggarakan secara rutin dengan berbagai tema, terutama yang terkait dengan dunia Islam.

Tujuannya antara lain mencari format yang pas mengenai bentuk bantuan yang bisa diberikan Indonesia—baik pemerintah maupun masyarakat—kepada kelompok-kelompok yang tidak berdaya. Mereka adalah para korban konflik, penjajahan, perebutan kekuasaan, dan seterusnya.

Dua tema besar akhirnya kami sepakati sebagai yang akan kami seminarkan. Pertama, persoalan yang sedang dihadapi oleh umat Islam di Kota Marawi di wilayah selatan Filipina. Sebagaimana diketahui, Marawi telah dijadikan basis oleh kelompok-kelompok radikal dan teroris, termasuk oleh orang-orang yang menamakan diri ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang melarikan diri dari Irak dan Suriah.

Pemerintah Filipina menganggap keberadaan kelompok radikalis-teroris itu telah membahayakan persatuan, mengancam keamanan, dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Mereka lalu memerintahkan militernya untuk menyerang basis-basis kelompok radikalis-teroris itu. Namun, yang menjadi korban tentu saja masyarakat sipil. Dan, itulah yang memang terjadi.

Dalam serangan militer pada Mei tahun lalu, Pemerintah Filipina mencatat tidak kurang dari 666 anggota kelompok teroris, 147 tentara, dan 47 warga sipil tewas. Perang di kota itu juga memaksa ribuan penduduk setempat mengungsi. Banyak rumah warga yang rusak. Begitu juga dengan sekolah, masjid, dan berbagai fasilitas umum lainnya.

Sebagai sesama anggota keluarga ASEAN, banyak yang bisa dibantu oleh Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat. Antara lain pembangunan kembali sekolah-sekolah, tempat-tempat ibadah, dan sarana fisik lainnya.

Juga bisa membantu untuk mempromosikan moderasi Islam di kalangan masyarakat Marawi, di antaranya mengirim guru-guru agama atau memberi beasiswa kepada para pemuda Marawi untuk bisa menuntut ilmu di pesantren-pesantren di Indonesia, termasuk kerja sama dalam memberantas terorisme di lingkungan ASEAN.

Sedangkan, masalah bangsa Pelestina kami pilih sebagai tema seminar berikutnya karena merupakan tuntutan dari isi pembukaan UUD 1945 RI, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Juga kemerdekaan merupakan hak semua bangsa.

Bicara tentang Palestina yang kini dijajah Israel tentu tak terlepas dari Masjid al-Aqsha yang berada di al-Quds as-Syarif atau Yerusalem Timur yang merupakan ibu kota abadi Negara Palestina. Yerusalem kini telah dicaplok Israel. Bahkan Presiden AS Donald Trump telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Bagi umat Islam, Masjid al-Aqsha merupakan kiblat pertama, tempat suci ketiga—setelah Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, dan tempat mikraj Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Yerusalem kapan pun harus kita bela.

Banyak hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dan membebaskan al-Quds as-Syarif, terutama dukungan politik, ekonomi, dan bantuan kemanusiaan. Termasuk menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, mengenai pentingnya Yerusalem bagi umat Islam dan Kristen.

Sebelum ini kami pun sudah menggelar seminar tentang nasib buruk yang dialami umat Islam Rohingya di Myanmar. Rekomendasi seminar telah diadopsi oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan.

Bagaimana dengan Suriah? Konflik atau perang di negara itu sudah absurd. Konyol. Sudah tidak jelas lagi ujung-pangkalnya. Samir Atallah, pengamat Timur Tengah dari Lebanon, menyebut apa yang terjadi di Suriah adalah perang kawasan yang melibatkan negara-negara besar. Bukan lagi konflik Damaskus, Aleppo, atau kelompok-kelompok dalam negeri Suriah.

Pada awalnya memang hanya demo-demo kecil dan kemudian membesar. Aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi tujuh tahun lalu itu bukan hanya berlangsung di Suriah, tetapi juga di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya. Di empat negara ini, kekuatan aksi unjuk rasa rakyat telah berhasil menggulingkan rezim diktator-otoriter.

Sedangkan, di Suriah, unjuk rasa justru berkembang menjadi konflik bersenjata antara rezim Bashar Assad dan kelompok-kelompok oposisi. Konflik kemudian ditunggangi berbagai kekuatan asing. Sejumlah negara Arab, Turki, dan AS membantu kelompok-kelompok oposisi.

Iran, Hizbullah Lebanon, dan Rusia mendukung rezim Bashar Assad. Di tengah dua kelompok ini, masih ada komunitas Kurdi yang ingin memerdekakan diri, juga Israel yang ingin mengambil keuntungan dengan apa yang terjadi di Suriah.

Di tengah konflik yang membesar ini lalu muncul kelompok-kelompok radikalis-teroris. Bahkan, sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai ISIS sempat mendeklarasikan sebuah negara dan berhasil menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah.

Dengan adanya konflik yang semakin tidak jelas ujung-pangkalnya ini yang menjadi korban tentu saja rakyat. Apalagi, Suriah pun dijadikan medan percobaan untuk segala senjata. Semua senjata canggih dan modern yang bisa diproduksi manusia kini digunakan di negara itu, termasuk senjata kimia sekalipun.

Beberapa kali saya telah menulis mengenai tragedi kemanusiaan di Suriah. Intinya, akibat dari konflik berkepanjangan yang melibatkan banyak pihak telah menyebabkan negara itu kacau berantakan. Separuh penduduknya—sekitar 23 juta jiwa sebelum konflik—terpaksa meninggalkan rumah.

Ada yang takut terkena peluru atau bom dari kelompok-kelompok yang bertikai, tetapi lebih banyak karena rumah mereka sudah hancur rata dengan tanah. Lebih dari 270 ribu warga telah tewas. Sekitar 13 ribu di antaranya adalah anak-anak.

Tragedi terakhir terjadi di Ghouta timur yang berada di pinggiran Kota Damaskus. Dalam tiga bulan terakhir, lebih dari 700 warga terbunuh oleh serangan udara dan artileri rezim Bashar Assad dan militer Rusia.

Di antara yang meninggal itu, 109 perempuan dan 185 anak-anak. Sebelum dikepung oleh militer rezim Bashar Assad untuk mengusir kelompok-kelompok oposisi lima tahun lalu, wilayah itu dihuni sekitar 400 ribu warga.

Kini, akibat serangan membabi buta rezim Assad yang didukung serangan udara pesawat canggih Rusia, Ghouta sudah bagaikan kota hantu. Rumah-rumah hancur. Fasilitas umum tak berfungsi. Banyak warga yang melarikan diri. Mereka yang tersisa, terutama anak-anak dan lansia, terpaksa hidup di bawah reruntuhan gedung-gedung.

Media Aljazirah menyebut apa yang sedang berlangsung di Ghouta timur adalah sebuah pembantian warga sipil, mirip dengan pembantaian di Srebrenica pada 1995. Waktu itu, ribuan Muslim Bosnia dibantai oleh pasukan Serbia.

Dengan persoalan yang rumit seperti itu, menyelenggarakan seminar yang bersifat lokal tentu tidak banyak membantu rakyat Suriah. Gencatan senjata yang akhirnya disepakati para anggota DK PBB pun berjalan sangat alot.

Karena itu, untuk mengembalikan perdamaian di Suriah, yang diperlukan adalah sebuah konferensi internasional seperti yang terjadi setelah Perang Dunia II. Namun, bukan untuk membagi-bagi wilayah Suriah ke dalam pengaruh negara-negara yang terlibat konflik sekarang ini, tetapi untuk mengembalikan kedaulatan dan membangun kembali Suriah untuk kepentingan semua rakyatnya, baik pihak rezim Assad maupun kelompok-kelompok oposisi. Di sinilah Indonesia harus mengambil peran.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar