Format
Bantuan untuk Marawi, Palestina, dan Ghouta
Ikhwanul Kiram Mashuri ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA,
05 Maret
2018
Dalam diskusi kecil dengan
teman-teman ISOIC (Indonesian Society for Organization of Islamic
Cooperation) beberapa pekan lalu, saya tidak sependapat untuk
menyelenggarakan seminar tentang Suriah. Seminar atau forum diskusi ini kami
selenggarakan secara rutin dengan berbagai tema, terutama yang terkait dengan
dunia Islam.
Tujuannya antara lain mencari
format yang pas mengenai bentuk bantuan yang bisa diberikan Indonesia—baik
pemerintah maupun masyarakat—kepada kelompok-kelompok yang tidak berdaya.
Mereka adalah para korban konflik, penjajahan, perebutan kekuasaan, dan
seterusnya.
Dua tema besar akhirnya kami
sepakati sebagai yang akan kami seminarkan. Pertama, persoalan yang sedang
dihadapi oleh umat Islam di Kota Marawi di wilayah selatan Filipina.
Sebagaimana diketahui, Marawi telah dijadikan basis oleh kelompok-kelompok
radikal dan teroris, termasuk oleh orang-orang yang menamakan diri ISIS
(Islamic State of Iraq and Syria) yang melarikan diri dari Irak dan Suriah.
Pemerintah Filipina menganggap
keberadaan kelompok radikalis-teroris itu telah membahayakan persatuan,
mengancam keamanan, dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Mereka lalu
memerintahkan militernya untuk menyerang basis-basis kelompok
radikalis-teroris itu. Namun, yang menjadi korban tentu saja masyarakat
sipil. Dan, itulah yang memang terjadi.
Dalam serangan militer pada Mei
tahun lalu, Pemerintah Filipina mencatat tidak kurang dari 666 anggota
kelompok teroris, 147 tentara, dan 47 warga sipil tewas. Perang di kota itu
juga memaksa ribuan penduduk setempat mengungsi. Banyak rumah warga yang
rusak. Begitu juga dengan sekolah, masjid, dan berbagai fasilitas umum
lainnya.
Sebagai sesama anggota keluarga
ASEAN, banyak yang bisa dibantu oleh Indonesia, baik pemerintah maupun
masyarakat. Antara lain pembangunan kembali sekolah-sekolah, tempat-tempat
ibadah, dan sarana fisik lainnya.
Juga bisa membantu untuk
mempromosikan moderasi Islam di kalangan masyarakat Marawi, di antaranya
mengirim guru-guru agama atau memberi beasiswa kepada para pemuda Marawi
untuk bisa menuntut ilmu di pesantren-pesantren di Indonesia, termasuk kerja
sama dalam memberantas terorisme di lingkungan ASEAN.
Sedangkan, masalah bangsa
Pelestina kami pilih sebagai tema seminar berikutnya karena merupakan
tuntutan dari isi pembukaan UUD 1945 RI, bahwa penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Juga kemerdekaan merupakan hak semua bangsa.
Bicara tentang Palestina yang kini
dijajah Israel tentu tak terlepas dari Masjid al-Aqsha yang berada di al-Quds
as-Syarif atau Yerusalem Timur yang merupakan ibu kota abadi Negara
Palestina. Yerusalem kini telah dicaplok Israel. Bahkan Presiden AS Donald
Trump telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Bagi umat Islam, Masjid al-Aqsha
merupakan kiblat pertama, tempat suci ketiga—setelah Masjid al-Haram dan
Masjid Nabawi, dan tempat mikraj Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Yerusalem
kapan pun harus kita bela.
Banyak hal yang bisa dilakukan
Indonesia untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dan
membebaskan al-Quds as-Syarif, terutama dukungan politik, ekonomi, dan
bantuan kemanusiaan. Termasuk menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda,
mengenai pentingnya Yerusalem bagi umat Islam dan Kristen.
Sebelum ini kami pun sudah
menggelar seminar tentang nasib buruk yang dialami umat Islam Rohingya di
Myanmar. Rekomendasi seminar telah diadopsi oleh pihak-pihak terkait, baik
pemerintah maupun lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan.
Bagaimana dengan Suriah? Konflik
atau perang di negara itu sudah absurd. Konyol. Sudah tidak jelas lagi
ujung-pangkalnya. Samir Atallah, pengamat Timur Tengah dari Lebanon, menyebut
apa yang terjadi di Suriah adalah perang kawasan yang melibatkan
negara-negara besar. Bukan lagi konflik Damaskus, Aleppo, atau
kelompok-kelompok dalam negeri Suriah.
Pada awalnya memang hanya
demo-demo kecil dan kemudian membesar. Aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi
tujuh tahun lalu itu bukan hanya berlangsung di Suriah, tetapi juga di
Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya. Di empat negara ini, kekuatan aksi unjuk rasa
rakyat telah berhasil menggulingkan rezim diktator-otoriter.
Sedangkan, di Suriah, unjuk rasa
justru berkembang menjadi konflik bersenjata antara rezim Bashar Assad dan
kelompok-kelompok oposisi. Konflik kemudian ditunggangi berbagai kekuatan
asing. Sejumlah negara Arab, Turki, dan AS membantu kelompok-kelompok
oposisi.
Iran, Hizbullah Lebanon, dan Rusia
mendukung rezim Bashar Assad. Di tengah dua kelompok ini, masih ada komunitas
Kurdi yang ingin memerdekakan diri, juga Israel yang ingin mengambil keuntungan
dengan apa yang terjadi di Suriah.
Di tengah konflik yang membesar
ini lalu muncul kelompok-kelompok radikalis-teroris. Bahkan, sebuah kelompok
yang menamakan diri sebagai ISIS sempat mendeklarasikan sebuah negara dan
berhasil menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah.
Dengan adanya konflik yang semakin
tidak jelas ujung-pangkalnya ini yang menjadi korban tentu saja rakyat.
Apalagi, Suriah pun dijadikan medan percobaan untuk segala senjata. Semua
senjata canggih dan modern yang bisa diproduksi manusia kini digunakan di
negara itu, termasuk senjata kimia sekalipun.
Beberapa kali saya telah menulis
mengenai tragedi kemanusiaan di Suriah. Intinya, akibat dari konflik
berkepanjangan yang melibatkan banyak pihak telah menyebabkan negara itu
kacau berantakan. Separuh penduduknya—sekitar 23 juta jiwa sebelum
konflik—terpaksa meninggalkan rumah.
Ada yang takut terkena peluru atau
bom dari kelompok-kelompok yang bertikai, tetapi lebih banyak karena rumah
mereka sudah hancur rata dengan tanah. Lebih dari 270 ribu warga telah tewas.
Sekitar 13 ribu di antaranya adalah anak-anak.
Tragedi terakhir terjadi di Ghouta
timur yang berada di pinggiran Kota Damaskus. Dalam tiga bulan terakhir,
lebih dari 700 warga terbunuh oleh serangan udara dan artileri rezim Bashar
Assad dan militer Rusia.
Di antara yang meninggal itu, 109
perempuan dan 185 anak-anak. Sebelum dikepung oleh militer rezim Bashar Assad
untuk mengusir kelompok-kelompok oposisi lima tahun lalu, wilayah itu dihuni
sekitar 400 ribu warga.
Kini, akibat serangan membabi buta
rezim Assad yang didukung serangan udara pesawat canggih Rusia, Ghouta sudah
bagaikan kota hantu. Rumah-rumah hancur. Fasilitas umum tak berfungsi. Banyak
warga yang melarikan diri. Mereka yang tersisa, terutama anak-anak dan lansia,
terpaksa hidup di bawah reruntuhan gedung-gedung.
Media Aljazirah menyebut apa yang
sedang berlangsung di Ghouta timur adalah sebuah pembantian warga sipil,
mirip dengan pembantaian di Srebrenica pada 1995. Waktu itu, ribuan Muslim
Bosnia dibantai oleh pasukan Serbia.
Dengan persoalan yang rumit
seperti itu, menyelenggarakan seminar yang bersifat lokal tentu tidak banyak
membantu rakyat Suriah. Gencatan senjata yang akhirnya disepakati para
anggota DK PBB pun berjalan sangat alot.
Karena itu, untuk mengembalikan
perdamaian di Suriah, yang diperlukan adalah sebuah konferensi internasional
seperti yang terjadi setelah Perang Dunia II. Namun, bukan untuk membagi-bagi
wilayah Suriah ke dalam pengaruh negara-negara yang terlibat konflik sekarang
ini, tetapi untuk mengembalikan kedaulatan dan membangun kembali Suriah untuk
kepentingan semua rakyatnya, baik pihak rezim Assad maupun kelompok-kelompok
oposisi. Di sinilah Indonesia harus mengambil peran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar