Merajut
Kewargaan Kita
Masdar Hilmy ;
Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial;
Wakil Direktur Pascasarjana UIN
Sunan Ampel, Surabaya
|
KOMPAS, 23 Januari 2017
Menguatnya
politik identitas dan sektarianisme primordial di pengujung 2016 turut mengeskalasi
suhu politik negeri ini, yang kemudian berdampak pada meredupnya kohesi
sosial dan soliditas kewargaan kita.
Kasus
dugaan penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja
Purnama menjadi ”bola liar” yang memantik prasangka dan perilaku saling hujat
di kalangan sesama warga. Eskalasi politik identitas tersebut membuncah ke
dalam aksi massa 411 dan 212 yang menghendaki proses hukum terhadap kasus
Ahok segera dituntaskan.
Kekhawatiran
sejumlah pihak akan terjadinya anarki sosial akibat kasus Basuki memang bisa
ditepis dengan munculnya aksi ”superdamai” 212. Meski demikian, aksi tersebut
tidak serta-merta menjamin tetap kondusifnya ikatan kewargaan kita.
Gejala
yang muncul di bawah permukaan justru menunjukkan semakin tajamnya friksi dan
fragmentasi sosial di masyarakat yang pada ujungnya dapat mengancam kohesi
sosial serta soliditas kewargaan kita. Inilah tantangan terbesar kita
memasuki ”tahun politik” 2017: bagaimana agar politik tidak mencabik-cabik
bangsa ini.
Banalitas kewargaan
Arus
komunikasi warga di ruang publik menunjukkan gejala melepuhnya ikatan
kewargaan kita. Ujaran kebencian dan perilaku saling menghujat atas dasar
sentimen primordialisme seakan menjadi menu keseharian bangsa ini. Rasanya
semakin sulit mengidentifikasi dan mengurai ujung-pangkal persoalan
melepuhnya kewargaan kita.
Ujaran-ujaran
yang terlontar melalui media sosial dengan gamblang mencerminkan banalitas
kewargaan yang santun dan beradab. Ada indikasi menguatnya politik identitas
yang mendegradasi dan mendiskriminasi antar-sesama warga atas dasar sisi-sisi
primordial seseorang.
Banalitas
kewargaan tersebut terbaca, misalnya, dari ungkapan-ungkapan yang
berimplikasi pada pembelahan sosial, seperti pribumi vs non-pribumi, Muslim
vs non-Muslim, dan Pancasila vs non-Pancasila.
Oposisi
biner tersebut seakan hendak meneguhkan stratifikasi warga negara berdasarkan
pada identitas kesukuan, agama, dan ideologi. Padahal, oposisi biner demikian
tidak terlegitimasi oleh peraturan perundangan mana pun di republik ini.
Konstitusi kita secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara
berkedudukan sama di muka hukum (equality before the law), apa pun latar
belakang suku dan agamanya.
Berbagai
bentuk ekspresi publik pada awalnya mungkin dipersepsi sebagai bagian dari
kebebasan berbicara dan berpendapat yang jelas-jelas digaransi oleh
demokrasi. Meski demikian, ekspresi yang diujarkan tanpa bingkai etika sosial
pada ujungnya dapat melemahkan dan menggerus ikatan kewargaan kita.
Memang
media sosial menjadi sarana kanalisasi berbagai bentuk ekspresi publik yang
selama ini tak tersalurkan melalui ruang-ruang artikulasi yang ada. Namun,
orang cenderung meluapkan isi pikiran sesuka hati yang bisa memicu friksi dan
fragmentasi sosial serta menyempitnya interrelasi di kalangan sesama warga.
Konstruksi
kewargaan kita semestinya dibangun di atas pola relasi yang sehat antara
individu dan kelompok sosial yang ada. Pola relasi yang sehat meniscayakan
perlakuan yang adil dan setara serta absennya prasangka negatif di kalangan
mereka. Meski demikian, sentimen primordial senantiasa menjadi pintu masuk
untuk melemahkan bangunan kewargaan kita. Identitas sosial merupakan aspek
yang sangat mudah diinstrumentalisasi guna menciptakan kegaduhan-kegaduhan di
ruang publik. Hadirnya kepentingan ekonomi-politik dari kelompok tertentu
turut mengacaukan ikatan kewargaan kita.
Oleh
karena itu, karut-marutnya ikatan kewargaan kita sebagian besar ditentukan
oleh masuknya kepentingan eksternal non-warga. Ada logika ”modus produksi” di
setiap peristiwa politik nasional. Ada banyak isu primordial menyangkut
identitas agama dan suku yang sengaja ”digoreng” pihak-pihak yang tak
bertanggung jawab. Mereka berusaha mendapatkan keuntungan jangka pendek dari
gaduhnya ruang publik kita melalui pemelintiran politik identitas. Sementara
itu, setiap warga dapat dipastikan mendambakan kedamaian, kerukunan, dan
harmoni sosial.
Dalam
kerangka teoretik Putnam (2000), pembentukan modal sosial (baca: ikatan
kewargaan) mengikuti pola bonding (ke dalam) dan bridging (keluar). Jika yang
mengemuka pola pertama, masyarakat cenderung eksklusif, tertutup, penuh
prasangka. Dalam kondisi semacam ini, yang dibutuhkan adalah penguatan pola
kedua, bridging, dengan cara mendorong masyarakat untuk lebih terbuka dalam melakukan
interaksi dan dialektika sosial. Hal ini dilakukan untuk mempersempit
prasangka di satu sisi dan mendorong penguatan kohesi sosial di sisi lain.
Memperkuat kohesi sosial
Ketika
ancaman friksi dan fragmentasi sosial kian nyata, tidak ada jalan lain
kecuali memperkuat kohesi sosial di antara sesama warga. Masyarakat harus
disadarkan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di muka hukum, apa pun
suku dan agama yang dianutnya. Dengan kata lain, identitas primordial
bukanlah faktor penentu status kewargaan seseorang. Setiap warga negara
memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama di republik ini. Tidak
ada perlakuan istimewa seseorang atas yang lain atas dasar identitas
primordial yang disandangnya.
Dalam
karyanya tentang kewargaan pada masyarakat multikultural, Kymlicka dan Norman
(2000: 30) menegaskan bahwa kewargaan di tingkat individu dapat dipahami
melalui tiga dimensi. Pertama, dimensi status legal yang menentukan hak dan
kewajiban bagi seorang warga. Kedua, dimensi identitas yang mengimplikasikan
kepemilikan seorang warga (sense of
belonging) atas afiliasi politik, suku, jender, kelas sosial, kelompok
profesi, kecenderungan seksual, dan semacamnya. Dimensi ketiga, civic virtue,
bisa didefinisikan sebagai aktivitas seseorang untuk bertindak dan
berpartisipasi sebagai warga negara yang baik dalam suatu komunitas.
Selain
ketiga dimensi di atas, Kymlicka dan Norman menambahkan satu dimensi lagi
yang bekerja pada tataran kolektif-masyarakat: kohesi sosial (social cohesion). Dimensi ini termasuk
stabilitas sosial, kesatuan politik, dan perdamaian sipil. Keempatnya
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Masing-masing
saling memperkuat antara satu dan lainnya yang membentuk sebuah ikatan
kewargaan bersama. Ikatan inilah yang pada ujungnya akan menentukan
solid/tidaknya sebuah ikatan kebangsaan dan kenegaraan kita dalam menghadapi
berbagai tantangan global ke depan.
Dalam
konteks Indonesia, keempat dimensi di atas menjadi indikator yang sangat
relevan untuk mengevaluasi dinamika dan fluktuasi ikatan kewargaan kita.
Harus diakui, sekarang ini ikatan kewargaan kita tengah berada di titik
terendah akibat menguatnya politik identitas dan sentimen primordialisme.
Guna mengatasi krisis kewargaan kita, setiap warga negara harus memberikan
energi positif dalam penguatan kohesi sosial dan terajutnya (kembali) ikatan
kewargaan kita. Selebihnya, biarlah negara hadir mengatasi berbagai persoalan
bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar