Minggu, 04 Maret 2018

Perdagangan Manusia dan Korupsi di NTT

Perdagangan Manusia dan Korupsi di NTT
Wahyu Susilo  ;   Direktur Eksekutif Migrant CARE
                                                      TEMPO.CO, 02 Maret 2018



                                                           
Peristiwa itu terjadi hampir bersamaan waktunya: akhir pekan minggu kedua Februari 2018. Di Surabaya, Marianus Sae, Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, sekaligus calon Gubernur NTT, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan suap untuk sejumlah proyek di Ngada. Di Bukit Mertajam, Pulau Penang Malaysia, Adelina Lisao, perempuan 21 tahun asal Timor Tengah Selatan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia, ditemukan tak berdaya di emperan rumah majikan dengan sejumlah luka dan tubuh lemas kurang gizi. Di rumah sakit, nyawa Adelina tak bisa diselamatkan.

Yang menghubungkan Marianus dan Adelina adalah korupsi. Marianus ditangkap karena dugaan korupsi. Sedangkan Adelina adalah perempuan yang terjebak dalam sindikat perdagangan manusia karena kemiskinan akut yang, salah satunya, diakibatkan oleh korupsi di NTT.

Keterkaitan itu tidak mengada-ada. Kantor PBB untuk Pemberantasan Narkotik dan Kejahatan Transnasional menyejajarkan tindak pidana korupsi dan perdagangan orang dalam kategori kejahatan serius yang bersifat transnasional. Selama 2013-2014, KPK mengkaji kaitan antara rendahnya integritas kementerian dan lembaga dalam penempatan serta perlindungan buruh migran Indonesia dan ma-raknya eksploitasi buruh migran serta tingginya angka perdagangan manusia Indonesia ke luar negeri. Hasil kajian tersebut adalah pembubaran Terminal Kepulangan TKI Bandar Udara Soekarno-Hatta Selapajang dengan temuan bukti-bukti suap, pemerasan, dan penyalahgunaan kekuasaan di area yang seharusnya memberi rasa aman bagi buruh migran yang baru pulang.

Kisah Adelina seperti cermin atas sengkarut tata kelola penempatan buruh migran, khususnya dari NTT, yang batas perbedaannya sangat tipis de-ngan operasi perdagangan manusia. Sejak awal ada kesimpangsiuran informasi mengenai daerah asal Adelina. Mulanya disebut dari Medan, kemudian dikoreksi berasal dari NTT. Lalu terungkap pula bahwa dokumen perjalanannya pernah dibuat di Blitar, Jawa Timur. Kesimpangsiuran ini memperlihatkan bahwa ada ketidakwajaran dalam proses keberangkatan Adelina.

Dugaan lain yang memperkuat bahwa Adelina adalah korban sindikat perdagangan manusia adalah keterangan mengenai usianya. Jika saat kematiannya usia Adelina 21 tahun dan Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Adelina keluar-masuk Malaysia sejak 2014, kemungkinan besar Adelina masih di bawah umur saat pertama kali be-kerja. Kisah ini persis seperti yang dialami Wilfrida Soik, buruh migran asal Belu yang terbebas dari hukuman mati di Malaysia karena terbukti masih di bawah umur saat dipekerjakan.

Dalam peringatan ulang tahun Provinsi NTT ke-56, 20 Desember 2014, Presiden Jokowi menyatakan bahwa NTT masuk dalam kategori darurat trafficking sehingga harus ada upaya luar biasa untuk mengakhiri kondisi buruk tersebut. Presiden juga mengingatkan bahwa praktik pungutan liar, suap, dan korupsi merupakan faktor pendukung NTT menjadi kawasan darurat trafficking.

Beberapa waktu sebelumnya, di NTT terungkap keterlibatan aparat peme-rintah dalam sindikat per-dagangan manusia. Pada April 2014, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Kupang dinyatakan terlibat dalam melindungi pengiriman anak-anak menjadi buruh migran, bahkan terlibat langsung dalam pembuatan dokumen perjalanan palsu.

Keterlibatan aparat pe-negak hukum dan maraknya mafia peradilan juga memperparah situasi ini. Ketika perang melawan tindak pidana perdagangan manusia dilakukan oleh Brigadir Polisi Rudi Soik, polisi berpangkat rendah ini harus berhadapan sendiri dengan atasannya yang diduga terlibat dalam mata rantai perdagangan manusia. Rudi harus menghadapi kriminalisasi dan hukuman indisipliner akibat keberaniannya membongkar keterlibatan aparat. Pada Februari 2015, Rudi divonis penjara empat bulan, sedangkan pelaku perdagangan manusia yang dibongkarnya belum ditindak juga.

Keseriusan aparat penegak hukum dan peradilan di NTT juga kembali dipertanyakan ketika seorang terdakwa kasus perdagangan manusia yang te-ngah diadili di Pengadilan Negeri Kupang "menghilang" setelah ditetapkan sebagai tahanan kota. Sang terdakwa akhirnya diadili secara in absentia hingga dijatuhi vonis penjara sembilan tahun pada Mei 2017.

Seruan Presiden ternyata belum mampu menggerakkan birokrasi dan penegak hukum di NTT untuk benar-benar serius memerangi perdagangan orang. Berdasarkan pemantauan berbagai organisasi masyarakat sipil di sana, angka korbannya terus meningkat. Yang paling nyata, jika pada 2016 jumlah jenazah TKI asal NTT yang dipulangkan seba-nyak 49 orang, pada 2017 menjadi 62 orang.

Di sisi lain, korupsi juga terus menggurita di sana. Menurut data ICW, sepanjang 2016, setiap bulan terungkap kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan mengganggu proses pelayanan publik. Pada 2017, setidaknya terungkap empat kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi, seperti bupati dan kepala dinas, yang menggangsir uang rakyat. Realitas tersebut memperlihatkan betapa erat kaitannya antara gurita korupsi dan kondisi darurat trafficking di NTT. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar