Komersialisasi
Jabatan
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 25
Januari 2017
KORAN
SINDO (7/1) di halaman dua menurunkan berita besar (headline) yang membuat
perasaan pembaca merinding dan terenyuh. Berita besar di KORAN SINDO itu
berbunyi ”Ratusan Daerah Diduga Jual Beli Jabatan.”
KORANSINDO
lebih lanjut memberitakan, ”Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menduga
praktik jual beli jabatan seperti yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, berpotensi terjadi di ratusan
kabupaten lain di Indonesia. Dugaan tersebut didasarkan pada banyaknya
pengaduanyang masuk ke KASN terkait seleksi jabatan pimpinan tinggi (JPT) di
daerah-daerah.
Dalam
setahun setidaknya 230 pengaduan dari masyarakat diterima oleh KASN. Lebih
jauh lagi, data kemarin (24/1) dari KASN menunjukkan data yang lebih
mengerikan bahwa sekitar 90% atau dari 29.113 jabatan yang dilelang itu
terjadi transaksi di belakangnya. Ketua KASN Sofian Effendi mengatakan,
banyak potensi jual beli jabatan terindikasi juga di daerah-daerah yang belum
melaksanakan seleksi JPT secara fair, terbuka, dan transparan.
Saat
ini dari 514 kabupaten di seluruh Indonesia terdapat sebanyak 116 kabupaten
yang belum melaksanakan seleksi JPT secara transparan dan terbuka. Banyak
kepala daerah yang melakukan perombakan, promosi, dan mutasi pejabat yang
tidak sesuai peraturan. Momen perombakan, mutasi, dan promosi pejabat ini
di-jadikan celah dan peluang empuk oleh para kepala daerah yang korup untuk
melakukan jual beli (komersialisasi) jabatan.
Kasus Bupati Klaten
Kasus
jual beli atau komersialisasi jabatan beberapa waktu lalu terungkap ke
permukaan setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati
Klaten Sri Hartini dan menyita sejumlah uang yang diduga merupakan uang suap
sebanyak Rp2 miliar yang dimasukkan ke dalam dua kardus (KORAN SINDO,
31/12/16). KPK melakukan penggeledahan di sejumlah ruangan di rumah dinas
bupati Klaten dan berhasil membawa sejumlah barang yang dikemas dalam kardus
dan koper.
Sri
Hartini merupakan kepala daerah keempat selama 2016 yang ditangkap KPK atas
dugaan menerima uang suap terkait praktik jual beli jabatan. Selain menangkap
Sri Hartini, KPK dalam OTTnya juga menangkap tujuh orang lainnya, termasuk
tiga pegawai negeri sipil (PNS). Jual beli atau komersialisasi jabatan
termasuk salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang terlarang dan tidak
dibenarkan untuk dilakukan oleh seorang pejabat atau pimpinan di lingkungan
kantor yang dipimpinnya.
Pejabat
yang korup mudah tergiur dan tergoda nafsu duniawinya untuk melakukan jual
beli jabatan di kantor atau instansi yang dipimpinnya. Pejabat tertentu baik
di pusat maupun di daerah menyalahgunakan jabatannya dengan cara melakukan
jual beli atau dengan cara mengomersialisasi jabatan dan meminta sejumlah
imbalan uang atau uang suap kepada (calon) pejabat yang akan diangkat,
dimutasi, atau dipromosikan ke level jabatan yang lebih tinggi atau lebih
strategis di lingkungan kantornya.
Dengan
cara melakukan jual beli jabatan, pejabat yang bersangkutan memperkaya diri
sendiri dengan jalan tidak benar, tidak legal, dan tidak halal. Penangkapan
terhadap Bupati Klaten Sri Hartini oleh KPK mengindikasikan bahwa korupsi
dengan segala motif, cara, dan bentuknya tidak saja terjadi di pemerintah
pusat, tetapi juga sudah banyak merambah dan menyebar ke
pemerintah-pemerintah daerah.
Di
pusat (Jakarta) beberapa menteri, presiden partai tertentu, beberapa petinggi
partai tertentu, sejumlah anggota legislatif, sejumlah pejabat negara (eksekutif),
dan sejumlah aparat penegak hukum (jaksa dan hakim) telah divonis dan
dijatuhi hukuman karena kasus-kasus korupsi dan perbuatan melawan hukum.
Di
daerah pada 2016 kepala daerah (bupati) yang diduga terjerat kasus korupsi
adalah Bupati Subang Ojang Sohardi, Bupati Rokan Hulu Suparman, Bupati
Nganjuk Taufiqurrahman, dan Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian. Jika ditarik
ke tahuntahun sebelumnya, banyak kasus korupsi yang menjerat kepala daerah.
Korupsi terjadi di semua lini pemerintahan baik di level eksekutif, level
legislatif, maupun di level yudikatif (jual beli perkara), baik di pusat
maupun di daerah.
Peringatan Hatta
Pada
1960-an mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta menyinyalir bahwa korupsi di Indonesia
sudah membudaya. Tentu yang dimaksud Hatta adalah korupsi sudah menggejala
sebagai budaya sangat negatif dan perilaku yang sangat buruk. Korupsi adalah
perilaku koruptif dan culas yang menggerogoti keuangan negara, masyarakat,
dan bangsa. Korupsi merupakan pertanda tingkat moralitas para pelakunya yang
sangat rendah dan keropos.
Itulah
sebabnya, Mohammad Hatta mengingatkan dan memperingatkan masyarakat pada
waktu itu agar korupsi sebagai budaya sangat negatif dan perilaku yang sangat
buruk itu harus dicegah dan ditanggulangi agar tidak meluas dan berlanjut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tahun yang sama, mantan Wapres
Mohammad Hatta juga menyerukan agar komersialisasi atau jual beli jabatan
harus dihentikan dan dicegah. Waktu itu fenomena jual beli jabatan sudah
mulai terjadi di beberapa kantor dan instansi pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah.
Sebagai
sosok pemimpin yang bersih, agamais, moralis, dan taat hukum, Mohammad Hatta
menyerukan kepada publik pada waktu itu agar jual beli jabatan di beberapa
kantor dan instansi pemerintahan dihentikan dan dicegah karena praktik jual
beli jabatan sangat bertentangan dengan aturan hukum, etika jabatan, agama,
dan moral. Karier dan promosi jabatan hendaknya ditempuh dan diraih secara
wajar dan sesuai aturan kepegawaian dan kepangkatan yang berlaku.
Mantan
Wapres Mohammad Hatta menyampaikan seruan dan peringatan pencegahan korupsi
dan penghentian jual beli jabatan itu pada 1960-an. Jadi Hatta menyampaikan
seruan moralnya untuk mencegah perbuatan korupsi dan jual beli jabatan itu 56
tahun yang lalu. Peringatan dan seruan moral Mohammad Hatta itu masih sangat
relevan untuk diterapkan dan dilaksanakan pada masa sekarang ini. Seruan dan
ajaran moral yang baik dan bijak, seperti diajarkan oleh para nabi utusan Tuhan,
berlaku sepanjang masa dan sepanjang buana. Semua agama, apa pun nama agama
itu, sudah pasti melarang segala bentuk korupsi dan jual beli jabatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar