Setelah
Naiknya Bunga AS
J Soedradjad Djiwandono ;
Guru Besar Ekonomi Emeritus
Universitas Indonesia dan Profesor Ekonomi Internasional, RSIS, Nanyang
Technological University, Singapura
|
KOMPAS, 30 Januari 2017
Pada
akhir minggu kedua Desember 2016, bank sentral Amerika Serikat (The Fed)
menaikkan suku bunga pinjaman antarbank, Federalfunds atau Fedfunds rate,
sebesar 0,25 persen menjadi 0,50-0,75 persen.
Ini kenaikan kedua sejak The Fed kembali menerapkan kebijakan moneter
yang konvensional dari yang sebelumnya. Yang sebelumnya, dikenal sebagai
kebijakan moneter non-konvensional, diterapkan dalam menghadapi dampak dari
krisis pinjaman hipotek bawah standar (subprime
mortgage loans) yang kemudian berkembang menjadi krisis keuangan dunia
lebih dari delapan tahun lalu.
Kenaikan
ini sudah diperkirakan kebanyakan pelaku pasar, masing-masing dengan analisis
yang mendasarinya. Dengan lain perkataan, terlepas dari perkiraan dan harapan
tentang baik buruknya dampak yang ditimbulkan, kenaikan itu sudah
diperkirakan dan karena itu bukan sesuatu yang mengagetkan pasar.
Akan
tetapi, hal ini tidak berarti dampak yang akan terjadi dan implikasi yang
ditimbulkan dari kenaikan suku bunga ini dalam perekonomian AS dan
negara-negara lain bisa diabaikan, apalagi untuk negara berkembang seperti
Indonesia.
Mengapa
demikian? Karena dari penjelasan yang diberikan Gubernur The Fed Janet Yellen
digambarkan bahwa kenaikan suku bunga ini akan dilanjutkan pada 2017 tiga
kali lagi. Dan, kali ini berbagai faktor menunjukkan bahwa kenaikan tahun
2017 itu tampaknya akan benar terjadi.
Seperti
diketahui, kenaikan suku bunga 2016 pada waktu semula diumumkan Desember
2015, disebutkan akan diikuti dengan empat kali kenaikan lagi. Namun,
kemudian diubah di tengah jalan menjadi dua kali dan kenyataannya hanya satu
kali, yakni minggu kedua 2016. Hal ini telah menurunkan pamor The Fed dan
Janet Yellen. Keputusan The Fed dalam tindakan moneter, seperti perubahan
suku bunga, dilakukan dalam sidang Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open
Market Committee/FOMC) yang dilakukan 10 kali dalam satu tahun.
Mengapa beda dari
sebelumnya?
Analisis
gampangan menyebutkan, ada peran tekanan politis yang mendorong keputusan The
Fed menaikkan suku bunga itu. Presiden AS Donald Trump, dalam kampanye
pilpresnya, menuduh Yellen bermain politik tidak menaikkan suku bunga untuk
membantu terpilihnya Hillary Clinton. Suku bunga dinaikkan setelah jelas
Trump menjadi presiden terpilih. Sebagai mantan pejabat otoritas moneter yang
tak asing dengan situasi serupa meski tak sama, saya tak percaya seorang
gubernur bank sentral, apalagi sekaliber Janet Yellen, membuat keputusan
moneter hanya karena tekanan politik.
Yang
lebih masuk akal adalah bahwa Janet Yellen dan para gubernur serta presiden
sejumlah Federal Reserve Board yang berhak memutuskan kenaikan suku bunga
dalam FOMC, pertengahan Desember lalu, meyakini bahwa kondisi perekonomian di
bawah Presiden Trump menuntut The Fed mengambil sikap ini. Mereka yakin
pemerintahan baru di bawah Trump akan melaksanakan kebijakan yang mendorong
pertumbuhan dengan peningkatan investasi di sektor infrastruktur (termasuk
untuk militer) dan mendorong perekonomian dengan memangkas pajak perusahaan
dan pendapatan.
Dalam
pemerintahan Trump yang dimulai setelah pelantikannya, 20 Januari 2017,
Kongres—baik di tingkat Senat maupun DPR (House of Representative)— akan
dikuasai Partai Republik yang tentunya tidak akan menjegal Presiden Trump
sebagaimana mereka melakukan terhadap Presiden Barack Obama selama ini.
Karena itu, kemungkinan dapat direalisasikannya program peningkatan
pengeluaran untuk investasi ini sangat tinggi.
Akan
tetapi, kalau hal itu terjadi, defisit anggaran dan pinjaman pemerintah untuk
membiayainya akan meningkat tinggi. Menurut konsep yang berlaku, dengan
tingkat pengangguran sekitar 4,6 persen, ekonomi AS berada pada tingkat
kesempatan kerja penuh (full employment). Peningkatan pengeluaran yang
dibiayai anggaran dengan menggunakan pinjaman dalam kondisi demikian akan
mendorong tingkat inflasi. Hal ini menuntut langkah untuk mengimbanginya
dengan pengetatan moneter melalui peningkatan suku bunga. Dengan demikian,
pernyataan bahwa The Fed akan meningkatkan suku bunga pada 2017 sebanyak tiga
kali sangat besar kemungkinan akan terjadi.
Ada
yang berpendapat berubahnya sikap The Fed dari serba ragu menjalankan
kebijakan moneter selama dua tahun menjadi lebih pasti saat ini merupakan
tanda berubahnya kebijakan moneter di AS. Perubahan dari kebijakan moneter
non-konvensional kembali pada kebijakan moneter konvensional. Kebijakan
moneter non-konvensional ini ”terpaksa” dilakukan oleh The Fed dan otoritas
moneter lain karena absennya kebijakan fiskal.
Di
AS, perkembangan ini terjadi karena alasan yang lebih bersifat politis,
adanya gridlock. Program stimulus fiskal Presiden Obama menghadapi Kongres
yang dikuasai partai lawannya sehingga tidak bisa lolos. Sedangkan di Uni
Eropa, aturan tentang besarnya rasio antara pinjaman pemerintah terhadap
produk domestik bruto (PDB) yang sudah dilampaui di kebanyakan negara sehingga
tidak bisa dilakukan stimulus fiskal. Menurut saya, kebijakan moneter
demikian bukan murni kebijakan moneter, melainkan merupakan campuran,
monetary cum fiscal policy.
Menyimak
perkembangan ini, salah satu pelajaran yang bisa ditarik adalah bahwa kebijakan
moneter boleh dan sebaiknya memang mendukung kebijakan fiskal, tetapi tidak
dapat menggantikannya. Keduanya harus berjalan secara saling menunjang.
Kebijakan fiskal yang ada di ranah eksekutif dan legislatif harus berjalan
serasi dengan kebijakan moneter yang sebaiknya selalu berjalan independen,
tetapi didasari oleh semangat menunjang dan mendukung kebijakan yang ada di
ranah eksekutif dan legislatif. Ini berlaku dalam sistem pemerintahan mana
pun yang dianut negara, tetapi jelas sangat vital dalam sistem demokrasi.
Mewaspadai ketidakpastian
Meski
sudah menjadi klise, rasanya tidak boleh kita tinggalkan bahwa untuk negara
dengan perekonomian berkembang seperti Indonesia, perkembangan yang terjadi
di AS tidak boleh kita abaikan, apalagi perkembangan moneter dan
finansialnya. Bahkan, sebelum keputusan The Fed meningkatkan suku bunga,
Desember lalu, negara-negara berkembang, secara spesifik seperti Meksiko,
Afrika Selatan, Tiongkok, Kolombia, Malaysia, dan juga Indonesia, disebutkan
merupakan negara-negara yang harus mewaspadai implikasi menguatnya dollar AS
semenjak terpilihnya Trump menjadi Presiden AS. Kenaikan suku bunga minggu
lalu dengan kemungkinan naiknya beberapa kali di tahun depan lebih lagi
memberikan garis bawah tentang hal ini.
Semua
masih ingat dengan taper tantrum pada 2013, yaitu reaksi dari pasar di
perekonomian negara-negara berkembang berupa mengalirnya kembali dana dalam
jumlah besar ke AS dan negara- negara maju hanya karena Gubernur The Fed
(waktu itu) Ben Bernanke mengumumkan akan menghentikan kebijakan Quantitative
Easing-nya kalau kondisi memang mendukung untuk langkah itu. Pada waktu
kebijakan itu dilakukan, reaksi tersebut lebih keras lagi. Kemudian, hal
serupa terjadi dengan apa yang disebut lifting off waktu The Fed mulai
meninggalkan kebijakan suku bunga nol setahun lalu.
Dewasa
ini, kenaikan suku bunga di AS terjadi dan akan diikuti dengan tiga kali lagi
pada 2017. Saya percaya bahwa pemerintah dan otoritas moneter telah
menyiapkan langkah-langkah menghadapi kondisi yang lebih tidak pasti karena
kebijakan ekonomi pemerintahan baru Trump yang lebih merkantilis dengan
kecenderungan lebih pasti ke arah peningkatan pengeluaran dan ekspansi
ekonomi yang akan menimbulkan dampak mengalir kembalinya dana yang selama ini
ada di dalam perekonomian kita.
Kendati
sudah dijelaskan oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, kita mendengar
ajakan Presiden Jokowi untuk tak berkiblat pada perekonomian yang berbasis
dollar AS dan menggantinya dengan arah yang menjurus pada basis renminbi (RMB).
Meski tampaknya logis dalam kaitannya dengan meningkatnya status RMB menjadi
mata uang dunia—dengan peresmiannya menjadi bagian dari Special Drawing
Rights (SDR) sejak Dana Moneter Internasional memutuskannya awal Oktober
lalu—perkembangan baru dollar AS dan dampaknya pada ekonomi negara-negara
lain di dunia, termasuk Tiongkok, kurang mendukung argumen tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar