Rabu, 12 April 2017

Teologi Maut Vs Teologi Pascasekuler

Teologi Maut Vs Teologi Pascasekuler
Otto Gusti  ;   Dosen Filsafat dan HAM di STFK Ledalero, Maumere, Flores;
Alumnus Hochschule für Philosophie, Muenchen, Jerman
                                              MEDIA INDONESIA, 11 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“TEOLOGI maut, berani mati karena tidak berani hidup, memonopoli kebenaran bahwa di luar kami haram.” Demikian pernyataan Ahmad Syafii Maarif dalam acara Seminar Indonesia di Persimpangan: Antara Negara Pancasila Vs Negara Agama (Media Indonesia, 9/4/2017). Kecemasan mantan Ketua PP Muhammadiyah ini sedang menjadi an­cam­an bagi tatanan hidup bersama bangsa Indonesia. Keberagaman tak lagi ditafsir sebagai kekayaan, melainkan penyimpangan atau perkara haram yang harus diselesaikan lewat pendekatan monopoli kebenaran. Ancaman atas kebinekaan tidak terbatas pada tataran diskursus ideo­logis perihal monopoli kebenaran. Para pengusung peti mayat pluralisme tak segan-segan menampilkan premanisme dan kekerasan fisik di ruang publik. Ketegasan aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya dalam menumpas terorisme tak mampu membuat gentar para penganut teologi maut.

Sebaliknya mereka berani mengambil jalan ekstrem yakni menempuh ajal demi membela ideologinya. Kesungguhan aparat kepolisian dalam membasmi terorisme bermuara pada aksi balas dendam. Pemandangan ini dipertontonkan di hutan Jatipeteng, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, pada Sabtu, 8 April 2017. Sekelompok teroris yang menum­pang mobil jip melepaskan tembakan ke arah polisi lalu lintas Kepolisian Resor (Polres) Tuban yang sedang bertugas.

Teologi maut dan krisis

Pendekatan keamanan dan penegakan hukum semata belum cukup untuk mengatasi penyebaran doktrin teologi maut. Para pengagum dan pemuja teologi maut tak dapat secara parsial dipandang hanya sebagai pelaku kekerasan. Mereka juga sesungguhnya korban krisis multidimensional yang tengah mendera bangsa Indonesia. Tanpa mengabaikan kerja keras rezim Jokowi-JK mengatasi pelbagai persoalan bangsa, masalah kemiskinan, kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin, serta ketidakadilan distribusi kesejahteraan tetap menjadi isu krusial. Di tengah impitan kondisi sosiementara itu, skenario perampokan uang pajak rakyat lewat proyek KTP-E oleh anggota legislatif semakin memperteguh keyakinan publik tentang ambruknya moralitas para wakil rakyat. Masyarakat sedang bertanya-tanya, apakah bangsa ini memang masih membutuhkan sebuah lembaga wakil rakyat atau lebih bermartabat jika dibubarkan saja. Sejumlah pemikir sosial berpandangan, gerakan fundamentalisme agama dan terorisme berkorelasi dengan krisis multidimensional yang dihadapi masyarakat modern. Seorang sosiolog penting awal abad ke-20, Max Weber (1864-1920), mendeskripsikan perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan privatisasi agama dan krisis nilai. Krisis tersebut merupakan reaksi atas berkembangnya proses rasionalisasi kehidupan sebagai dampak dari dominasi rasionalitas instrumental yang berciri efisiensi. Modernitas juga, demikian Weber, telah mendorong terjadinya proses entzauberung der welt (raibnya daya gaib dunia) sebagai akibat dari kritik ilmu pengetahuan atau proses demitologisasi atas gambaran dunia yang mitis-magis.

Dalam kategori efisiensi dan dominasi ilmu pengetahuan, agama, mitos dan pertanyaan tentang nilai tidak mendapat tempat dalam arena diskursif rasional dan dijadikan sebagai perkara keselamatan jiwa pribadi. Tak ada dialog yang setara dan demokratis antara ilmu pengetahuan dan agama, antara akal budi dan iman. Teologi maut lahir dan berkembang ketika ilmu pengetahuan secara positivistik menutup diri dan menolak status ilmiah pertanyaan-pertanyaan teologis. Di Indonesia, tendensi positivistik dan pemahaman ilmu pengetahuan yang sempit antara lain tampak dalam anjuran untuk memindahkan urusan fakultas atau sekolah tinggi ilmu teologi dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi ke Kementerian Agama. Argumentasi dari para penganjur, teologi bukan ilmu pengetahuan, melainkan hanya urusan agama. Di sisi lain, teologi maut bertumbuh subur dalam naungan paradigma di saat agama menutup diri terhadap cahaya nalar dan menilai ilmu pengetahuan dan peradaban modern sebagai karya iblis yang harus dilawan. Teologi maut adalah jalan untuk membangun kembali ‘moralitas’ agama dengan jalan kekerasan sekalipun.

Teologi pascasekuler

Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk meredam arus penyebaran teologi maut ialah membuka ruang komunikasi antara nalar dan teologi, antara akal budi dan iman. Secara institusional, ruang dialog ini dapat dan sudah dijalankan secara sistematis oleh fakultas-fakultas teologi di Indonesia. Peran negara ialah mendukung usaha itu dan menjamin selalu adanya kondisi kebebasan akademis sesuai standar internasional yang berlaku. Komitmen dan kesungguhan negara untuk mempertahankan kebinekaan menjadi nyata ketika tidak mengintervensi ranah kebebasan akademik fakultas teologi dengan alasan pertimbangan ideologis sektarian atau politik kekuasaan. Pengembangan ilmu teologi berperan penting dalam menumbuhkan daya kritis agama-agama di ruang publik. Dalam tradisi universitas di Barat, teologi berkembang menjadi satu disiplin ilmu pengetahuan di antara bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya pada abad ke-13. Sejak masa itu teologi berkembang menjadi salah satu lokus kebebasan riset ilmiah dan ruang deskripsi sintesis atas pandangan dan doktrin-doktrin agama.

Proses rasionalisasi agama lewat teologi ini tentu saja menimbulkan krisis dan konflik internal dalam lembaga agama itu sendiri. Hal ini berdampak pada kritik diri dan kritik makna di dalam agama baik sebagai institusi maupun sebagai sikap hidup personal. Iklim seperti ini pada gilirannya melahirkan cara berpikir rasional dan bebas yang dapat menghadang lajunya penyebaran teologi maut. Privatisasi kesalehan yang menjadi karakter teologi maut harus bertransformasi menjadi teologi pascasekuler yang memberi penekan pada kesalehan publik. Doa dan praktik keagamaan pun berdampak pada kualitas moralitas publik. Doa bukan sekadar praktik formal-ritual yang steril terhadap masalah sosial. Agama harus melampaui kesalehan privat dan menjadi sumber inspirasi dalam mengatasi masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang men­dera bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar