Twit
SBY dan Fatwa MUI
Amidhan Shaberah ; Ketua MUI (1995-2015); Anggota Komnas HAM
(2002-2007)
|
KORAN
SINDO, 24
Januari 2017
SBY
melalui akun Twitter @SBYudhoyono, Jumat (20/1/017) menulis: ”Ya Allah, Tuhan
YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah dan penyebar ‘hoax’ berkuasa dan
merajalela. Kapan rakyat dan yang lemah menang? *SBY*.” Keluhan SBY di akun
Twitter-nya itu bisa dimengerti karena saat ini media sosial penuh berita
bohong dan fitnah. Celakanya, berita bohong dan fitnah itu sering dipercaya
massa begitu saja tanpa tabayyun sehingga mengakibatkan kerugian pihak
tertentu yang difitnah.
Salah
satu berita bohong itu misalnya perihal pulau reklamasi seluas 800 hektare
yang konon akan menjadi tempat 20 juta imigran China. Berita 20 juta imigran
China di tanah reklamasi itu telah menjadi viral dan mendapat tanggapan
jutaan netizen. Terlepas dari setuju dan tidak pengadaan pulau reklamasi,
berita 20 juta imigran China yang akan menempati pulau itu sungguh-sungguh
tak masuk akal. Seorang netizen, Achmad Barmawi - fisikawan UGM Yogya -
menganalisis: 800 hektare itu sama artinya dengan 8.000.000 meter persegi.
Jadi kalau diisi 20 juta imigran China, berarti tiap imigran hanya dapat
ruang 0,4 meter persegi. Bangunan apa itu?
Apa
seluruh luas tanah yang 800 hektare itu akan jadi kandang burung dengan luas
0,4 meter persegi? Berita tersebut secara logika jelas bohong, hanya provokasi.
Hal yang sama dengan berita ada 20 juta pekerja asal China di Indonesia.
Berita ini sudah diklarifikasi Presiden Jokowi. Betul ada pekerja asal China
yang dikaryakan di proyek-proyek yang dibiayai pemerintah/perusahaan China.
Tapi, jumlahnya hanya 21.000 orang. Para ”pembuat berita bohong” atau hoax
lalu menyulapnya menjadi 20 juta karena Jokowi memang pernah menargetkan
Indonesia akan kedatangan 20 juta wisatawan China. Kedatangan 20 juta turis
China jelas akan sangat menguntungkan bagi industri pariwisata. Ternyata kata
20 juta itu kemudian dimanipulasi oleh pembuat hoax menjadi 20 juta imigran
China yang bekerja di Indonesia.
Masih
banyak lagi berita-berita bohong lain sehingga ”dunia online ” nyaris menjadi
ajang fitnah, caci maki, dan berita bohong. Salah satu berita fitnah juga
mengarah pada MUI yang dikatakan sebagai ”bungker”-nya para teroris, kaum
ekstremis, dan melindungi orang-orang yang anti-Pancasila.
Seorang
dosen di UI misalnya dalam tulisannya di Facebook menyatakan bahwa MUI adalah
pemecah- belah bangsa. Gara-gara fatwa MUI, bangsa Indonesia terbelah.
Apalagi, setelah MUI ”ditunggangi” Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI
(GNPFMUI), kini MUI seakan telah membentuk organisasi yang mengoordinasi demo
dan membakar massa untuk berbuat makar terhadap pemerintah. Perlu diketahui
bahwa GNPFMUI sama sekali tidak ada hubungan organisatoris dengan MUI.
Gerakan
ini muncul sendiri di masyarakat tanpa sepengetahuan MUI. Tapi, apakah MUI
bisa membubarkan GNPFMUI? Tidak bisa. MUI sudah berkali-kali menyatakan
GNPFMUI bukanlah MUI dan tidak ada hubungan organis maupun organisatoris
dengan MUI. Bila kemudian GNPFMUI dengan strateginya mampu mengajak publik
untuk melakukan demo masif 411 dan 212, itu bukan pekerjaan MUI. Pekerjaan
MUI hanya menyampaikan fatwa. Fatwa itu pun merupakan tanggung jawab MUI
kepada umat Islam.
Fatwa Penistaan Agama
MUI
melalui Komisi Fatwa memang pernah melansir fatwa bahwa Ahok telah menista
Alquran melalui penafsirannya terhadap Surat Al-Maidah: 51. Sebelum
mengeluarkan fatwa tersebut, Komisi Fatwa yang terdiri atas ahli agama Islam
dari berbagai perwakilan organisasiorganisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah,
Persis, PUI, Jamiatul Wasliyah, Mathlaul Anwar, dan lain-lain mengadakan
sidang yang membahas kasus penafsiran Al-Maidah: 51 yang dilakukan gubernur
DKI tersebut.
Setelah
berdebat panjang, akhirnya keluarlah keputusan fatwa MUI bahwa Ahok telah
melakukanpenistaanagama. Isilengkap Fatwa MUI itu sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim Sehubungan dengan pernyataan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Kabupaten Kepulauan Seribu pada Selasa, 27
September 2016 yang antara lain menyatakan, ”... Jadi jangan percaya sama
orang, kan bisa aja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya, ya
kan.
Dibohongin
pakai Surat Al- Maidah: 51, macem-macem itu. Itu hak Bapak-Ibu, jadi
Bapak-Ibu perasaan enggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka,
dibodohin gitu ya..” yang telah meresahkan masyarakat, Majelis Ulama
Indonesia, setelah melakukan pengkajian, menyampaikan sikap keagamaan sebagai
berikut: 1. Alquran Surat Al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan
menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
Ayat
ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin;
2. Ulama wajib menyampaikan isi Surat Al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam
bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib; 3. Setiap orang Islam wajib
meyakini kebenaran isi Surat Al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih
pemimpin; 4. Menyatakan bahwa kandungan Surat Al- Maidah ayat 51 yang berisi
larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah
kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Alquran; 5.
Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil Surat Al-Maidah ayat
51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan
terhadap ulama dan umat Islam.
Berdasarkan
hal di atas, pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan: (1) menghina
Alquran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum. Untuk
itu, Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan: (1) Pemerintah dan masyarakat
wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Pemerintah wajib mencegah setiap penodaan dan penistaan Alquran dan agama
Islam dengan tidak melakukan pembiaran atas perbuatan tersebut. (3) Aparat
penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan
penistaan Alquran dan ajaran agama Islam serta penghinaan terhadap ulama dan
umat Islam sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(4)
Aparat penegak hukum diminta proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas,
cepat, proporsional, dan profesional dengan memperhatikan rasa keadilan
masyarakat agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap penegakan hukum. (5)
Masyarakat diminta untuk tetap tenang dan tidak melakukan aksi main hakim
sendiri serta menyerahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum, di
samping tetap mengawasi aktivitas penistaan agama dan melaporkan kepada yang
berwenang (MUI, 11 Oktober 2016).
Sehubungan
dengan ada fatwa tersebut, MUI merekomendasikan kepada pemerintah dan
masyarakat untuk wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Jelas sekali, MUI tidak menghendaki ada perpecahan
bangsa akibat fatwa tersebut. Sejauh ini MUI telah mengeluarkan beberapa
fatwa soal penistaan agama Islam seperti kasus Lia Eden, Ahmad Mosadeq, dan
lain-lain.
Pemerintah
saat itu segera menindaklanjuti kasus penistaan agama tersebut dengan menahan
pelakunya. Penahanan mereka ternyata tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
dan sama sekali tidak menimbulkan perpecahan bangsa. Dalam kasus Ahok
misalnya fatwa MUI sebetulnya murni hasil kajian para pakar Islam di Komisi
Fatwa. Sedikit pun tidak ada niat MUI untuk mencampuri Pilkada DKI, di mana
Ahok menjadi salah satu cagubnya.
Tapi,
kenapa kemudian kasus tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga timbul
tuduhan bahwa MUI adalah pemecah- belah bangsa? Tuduhan tersebut jelas tidak
punya dasar. Salah satu fungsi MUI seperti tertuang dalam Konferensi Ulama
Nasional 21-27 Juli 1975 adalah menjadi penerjemah yang menyampaikan
pikiran-pikiran dan kegiatankegiatan pembangunan nasional maupun pembangunan
daerah kepada masyarakat. Dalam rangka ini terkandung arti mendorong, memberi
arah, dan menggerakkan masyarakat dalam membangun diri dan masa depannya.
MUI
memberikan bahan-bahan pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada
pemerintah. Dalam istilah Presiden Soeharto, MUI adalah penghubung antara
pemerintah dan ulama. Sedangkan ulama adalah pihak yang mewakili umat Islam.
Kita tahu dalam kepenguruan MUI semua organisasi keagamaan (Islam) terwakili
di dalamnya. Dari paparan di atas, tuduhan bahwa MUI menjadi bungker teroris
dan kaum radikal serta pemecah bangsa tidak benar sama sekali. MUI justru
menjadi penghubung antara pemerintah dan umat Islam.
Jika
kemudian muncul ”masalah” dalam soal fatwa MUI terhadap penafsiran Basuki
Tjahaja Purnama atas Surat Al-Maidah: 51, kemudian muncul demo besarbesaran,
berarti kemungkinan ada ”mispersepsi” dalam soal hubungan antara pemerintah
dan umat Islam. Pertanyaannya, kenapa pemerintah atau pihak berwajib
memperlakukan hal yang tidak sama antara kasus Lia Eden dan Ahmad Mosadiq
dengan kasus Ahok? Seandainya perlakuannya sama, niscaya tidak akan timbul
dua demo masif itu. Saat ini, diakui atau tidak, masyarakat masih kurang puas
melihat perlakuan pemerintah terhadap terdakwa Ahok. Ini karena Ahok tidak
ditahan sebagaimana kasus Lia Eden dan Mosadeq.
Seandainya
perlakuan terhadap Ahok seperti perlakuan terhadap kasus penistaan agama yang
lain, niscaya tidak akan timbul gejolak seperti sekarang ini. Diakui atau
tidak, timbul ”gejolak” di masyarakat seperti yang terungkap dalam twit SBY
di atas sebagian akibat ”bias” masalah pengadilan Ahok. Semoga hal tersebut
bisa dipahami pemerintah.
Dan,
kita berharap, MUI sebagai jembatan antara pemerintah dan umat Islam tetap
berfungsi seperti sedia kala. Wabil khusus, kita apresiatif terhadap twit SBY
tadi. Ini artinya sang mantan presiden itu masih tetap punya kepedulian
tinggi terhadap kondisi bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar