Selasa, 23 Mei 2017

Nasionalisme Kebangsaan

Nasionalisme Kebangsaan
Yonky Karman ;   Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta
                                                          KOMPAS, 22 Mei 2017




                                                           
Nasionalisme yang bersemi pada 1908 jadi tonggak kesadaran baru perlunya Indonesia bangkit menjadi bangsa bermartabat. Rasa kebangsaan itu mencapai puncak dengan maklumat ”kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.

Selama beberapa puluh tahun, elemen-elemen kepemudaan, kesukuan, keagamaan, ideologi, dan profesi terlibat aktif dalam pembentukan identitas kebangsaan. Politik pecah belah penjajah tidak dapat membendung hasrat bersatu putra-putri Indonesia.

Setelah seabad Kebangkitan Nasional, nasionalisme Indonesia masih ambigu. Apabila di luar negeri, kita memperkenalkan diri, ”Saya orang Indonesia.” Menambah identitas primordial kesukuan atau keagamaan tidak diharapkan, juga tidak relevan. Di luar negeri, kita hanya menonjolkan identitas keindonesiaan. Namun, di dalam negeri, kita mudah menonjolkan identitas unsur-unsur keindonesiaan dan membangun sentimen primordial.

Atas nama demokrasi, kesadaran beragama diungkapkan secara berlebihan sehingga merusak kesatuan bangsa. Nasionalisme yang kompatibel dengan negara-bangsa adalah rajutan anak bangsa dari unsur komunitas agama, ilmuwan, pekerja seni, musisi, pelukis, usahawan, kaum profesional dari semua orang Indonesia.

Nasionalisme Pancasila

Meski sebagian besar orang Indonesia beragama, kebangsaan tidak identik nasionalisme religius. Atribut religius membuat nasionalisme didefinisikan sepihak oleh yang beragama, oleh yang beragama mayoritas di suatu wilayah, yang beraliran agama arus utama, yang mengklaim diri lebih religius karena status dan pendidikan.

Hubungan negara dan agama sudah selesai pada tataran konstitusional, tetapi lain dinamikanya pada tataran praktis. Para pendiri republik menghindar dari pilihan negara sekuler atau negara agama, dengan negara Pancasila. Itu bukan kemenangan politik sekuler. Kebanyakan mereka yang tidak setuju dengan ide negara agama tidak sekuler atau anti-agama, melainkan nasionalis-religius.

Masalah yang lalu muncul: seperti apa wujud negara Pancasila dalam praktik? Indonesia dalam praktik pasti tidak pernah sebagai implementasi sempurna Pancasila dalam keseluruhan ataupun tiap silanya. Pancasila adalah norma-norma ideal. Dalam istilah Bung Karno, Pancasila adalah leidstar (bintang pimpinan) yang dinamis, menggerakkan rakyat untuk berjuang, menuntun bangsa saat bergerak, memusatkan energi bangsa mewujudkan tujuan berbangsa.

Apabila nasionalisme Pancasila jadi panduan hidup bernegara dan berbangsa, niscaya itu menjadi magnet bagi partisipasi seluruh warga untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa. Baik untuk kelompok belum tentu baik untuk bangsa, tetapi baik untuk bangsa pasti baik bagi kelompok. Praktik kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya merupakan mosaik implementasi Pancasila sebagai kesatuan yang berkembang dari waktu ke waktu.

Skor indeks persepsi korupsi Indonesia (2016) adalah 37 (0 sangat korup, 100 sangat bersih), peringkat ke-90 (dari 176 negara). Namun, skor China yang komunis adalah 40, peringkat ke-79. Tentu bukan agama yang jadi salah satu penyebab korupsi. Itu bukan hanya dua dunia berbeda, prinsip-prinsip juga berbeda. Tentu ada yang kurang ketika kesadaran beragama menguat berbanding terbalik dengan kesadaran memusuhi korupsi.

Indonesia dengan Pancasilanya adalah laboratorium unik hubungan negara dan agama. Dunia sudah lama mengakui hal itu dan kini semakin menarik perhatian.

Sekolah negeri di Barat hanya mengajarkan agama sebagai pengetahuan, tetapi sekolah negeri di Indonesia memfasilitasi pengajaran untuk lebih dari satu agama. Kecurigaan berlebihan terhadap agama sebagai penghalang sains atau demokrasi tak terbukti di Indonesia. Radikalisme dan ekstremisme berkembang bukan dari faktor tunggal agama, melainkan faktor-faktor kompleks.

Wajah kultural agama

Berbeda dari cara beragama orang Barat yang rasional, agama bagi kebanyakan orang Indonesia lebih bersifat kultural dan menjadi bagian dari identitas diri. Apabila teologi bersifat reflektif-rasional, agama lebih bersifat afektif. Berbagai agama di Indonesia melebur dengan kultur setempat, tampil beda dari agama di tempat asalnya.

Pentingnya agama sebagai bagian dari jati diri bangsa tak perlu dinafikan, terlebih di era globalisasi. Negara-negara maju di Barat menyadari globalisasi kapital dan perdagangan yang kini menyengsarakan warga sendiri. Karena itu, gerakan populisme di Barat menguat. Namun, ancaman globalisasi bagi Indonesia sebagai negara berkembang adalah hilangnya jati diri bangsa. Kita tidak seperti Jepang, Korea Selatan, atau Tiongkok yang jadi modern dengan tetap memberikan ruang hidup bagi akar-akar tradisional. Bahkan, kultur itu melintas batas-batas negara.

Kebudayaan kita begitu beraneka ragam dan sporadis. Minim perhatian pemerintah untuk melestarikannya. Setiap budaya daerah dengan kekuatan kecil tak berdaya menghadapi gempuran masif globalisasi melalui kemajuan teknologi informasi. Satu- satunya kekuatan kultural yang tak mudah dilibas zaman adalah agama. Di situ kedudukan strategis agama Islam di Indonesia.

Islam bukan hanya agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia, melainkan bersama agama-agama lain membentuk jati diri bangsa. Islam Indonesia dengan wajah kulturalnya jadi benteng terakhir jati diri bangsa. Bangsa Indonesia, tak hanya yang Muslim, berkepentingan memelihara wajah kultural Islam di tengah kekosongan strategi kebudayaan Indonesia. Ketika globalisasi membuat orang tunggang-langgang mencari tambatan kultural, di Indonesia agama menjadi tambatan kultural.

Namun, wajah kultural agama dirusak oleh politisasi agama. Politik kekuasaan cenderung menghalalkan segala cara. Politisi tidak segan-segan menjadikan agama sebagai komoditas politik, tak peduli apakah dengan begitu rusak pula marwah agama atau umat terbelah. Rumah ibadah menjadi tempat berkampanye kehadiran negara untuk mengoreksi atau memelihara marwah agama.

Politisi menarik agama ke panggung politik praktis yang dikuasai para pemburu kekuasaan. Mereka berlindung di balik marwah agama untuk menutupi inkompetensi dan tata kelola yang buruk. Dengan politik yang melibatkan agama, masuk pula agamawan ke dalam barisan politik dan memasukkan agama ke dalam kancah politik. Menjadi janggal ketika agama memicu kegaduhan dan konflik sosial.

Untuk menyelamatkan marwah agama dan menjaga kesatuan bangsa, negara tidak bisa berdiam diri membiarkan agama jadi obyek politisasi. Rumah ibadah dan dunia maya adalah ruang publik. Di situ negara harus hadir secara terukur untuk menjamin tidak adanya ujaran provokatif. Berulang-ulang dusta tanpa koreksi akan membuat ada orang yang percaya itulah kebenaran.

Tidak cukup jadi pengurus negara (negarawan). Tata kelola negara yang baik juga harus memproduksi politisi yang memegang teguh prinsip luhur politik dan agama, serta mewakafkan hidupnya untuk kesejahteraan rakyat. Tak banyak politisi seperti Bung Hatta, yang konsisten: nasionalisme kebangsaan mendarah daging dalam tutur dan lakunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar