Moral
Cinta Ibu
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 03 April 2017
MEMILIKI istri yang sadar terhadap pentingnya pendidikan
anak ialah anugerah luar biasa yang tidak bisa dibandingkan dengan besarnya
nilai harta. Qaimah Umar, perempuan yang saya nikahi kurang lebih 27 tahun
lalu, ialah tipikal seorang ibu yang memiliki kecintaan yang besar terhadap
dunia pendidikan.
Menjadi guru di sepanjang hayatnya ialah cita-citanya yang
tidak akan mati oleh kedukaan mendalam kehidupan dunia. Menjadi guru honorer
selama 18 tahun dijalaninya dengan tabah. Bahkan ketika pertama menjadi
guru, setiap berangkat ke sekolah, dia selalu membawa anak kami yang baru
dua orang waktu itu dengan mengikat badannya dengan kain, seraya memboncengi
anak-anak dengan sepeda motor pergi ke sekolah.
Bukan hanya itu, keceriaan dan kebanggaan menjadi guru
juga tak pernah surut ketika saya, suaminya, mengalami begitu banyak
cobaan hidup. Dalam benaknya, keutuhan keluarga teramat besar untuk
dihancurkan dan menyayangi anak-anak menapaki kehidupan lebih lanjut dan
lebih baik ialah obsesinya yang tiada henti.
Di tengah-tengah tugasnya sebagai guru SD, istri saya
juga aktif melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan gerakan menyantuni
anak yatim melalui Majelis Taklim Al-Ikhlas yang dipimpinnya. Pendek kata,
moral cinta Qaimah Umar tak akan pernah bisa saya membalasnya di kehidupan
dunia ini. Saya hanya berharap Allah selalu memberinya keceriaan dalam
mengajar dan memberi perhatian kepada anak-anak.
Melakukan hal kecil
‘Jangan mencari yang besar-besar, cukup mengerjakan yang
kecil-kecil dengan cinta yang besar. Makin kecil yang kita hadapi harus makin
besar cinta yang kita berikan’, demikian ditulis Mother Theresa, dalam Come
Be My Light: The Private Writings of the Saint of Calcutta. Kutipan bijak
dari Bunda Theresa ini sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan karakter
bagi anak-anak Indonesia. Apalagi jika dilihat dari situasi kelam dunia
pendidikan kita, keteladanan dan cinta sejati mulai senyap dan hilang.
Kita benar-benar membutuhkan inspirasi cerdas yang
dapat membangunkan jiwa. Apa yang dikatakan Bunda Theresa tentang
mengerjakan hal-hal kecil dengan cinta yang besar sangat identik dengan apa
yang dilakukan istri saya, Qaimah Umar, dan juga hampir seluruh ibu yang
sadar pentingnya pendidikan di muka bumi ini.
Seorang ibu hampir dapat dipastikan selalu mengerjakan
hal-hal kecil, seperti memperhatikan anak-anak dan keluarga mereka,
tetapi dengan cinta yang sangat besar. Cinta seorang ibu terhadap anaknya
tak mungkin berakhir karena perhatian dan cinta mereka justru datang dari
hal-hal kecil. Hal-hal kecil selalu bermuasal dari keseharian yang ada di
sekitar kita. Karena itu, contoh kecil itu sangat baik dan memungkinkan
untuk ditransformasi dalam praktik pengajaran di sekolah, yaitu
memperhatikan para siswa dari hal-hal yang kecil kemudian mendiskusikan
secara bersama masalah yang muncul.
Berkaca pada situasi saat ini dengan banyaknya persoalan
yang mendera pendidikan kita, ada banyak alasan bagi kita untuk
mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti
dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk
anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa,
penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, hingga
penistaan peran guru melalui Facebook misalnya, selalu disikapi dengan
pendekatan serbaformal. Termasuk di antaranya usul tentang perlunya membuat
model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti. Selain
kurikulum, sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku
siswa menyimpang. Pertanyaannya ialah kurikulum yang bagaimana lagi ingin
kita buat untuk pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah?
Soal di sekolah lebih banyak menuntut siswa hanya menjawab
benar dan salah. Tetapi lalai dalam melakukan autokritik terhadap
pelembagaan ujian meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah
memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi
ruang yang lebih banyak bagi guru dan siswa untuk mendesain pola
pembelajaran mereka. Kenyataannya? Kurikulum masih sentralistis, terlalu
banyak mengatur ini boleh dan itu tidak boleh sehingga antara guru dan birokrasi
pendidikan kita menjadi setali tiga uang; saling memengaruhi untuk
menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.
Jika saja persoalan moral dilandasi atas dasar
pembelajaran kita dalam melihat cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya,
sebenarnya tak sulit mempraktikkannya dalam proses belajar-mengajar. Jika
pendekatan seorang ibu lebih banyak menggunakan hati dan cinta, bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi jika semua guru lebih memberikan cinta dan
hati mereka daripada sekadar memenuhi kewajiban.
Saya tak memiliki kapasitas dan pretensi untuk menjawab
model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti yang seharusnya. Namun,
saya ingin mencoba merekonstruksi ulang pertanyaan itu dengan kalimat “Dari
manakah kesadaran dan tanggung jawab para guru terhadap pendidikan moral dan
budi pekerti harus dimulai?” Jawaban singkatnya, belajarlah dari cara ibu
memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada kita.
Sebuah survei yang dilakukan Phi Delta Kappa/Gallup Study
2004 menyebutkan 73% responden setuju tentang kelemahan mendasar
pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati alias
mengajar tidak dengan rasa cinta. Survei itu juga menunjukkan jika karena
kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang
guru, jawaban yang paling banyak dipilih ialah karena alasan rendahnya gaji
dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi
orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%). Artinya, hanya 4%
sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan secara emosional terhadap
siswa mereka (Rosanne Liesveld and Jo Ann Miller: 2005).
Cerita dan fakta itu ingin menunjukkan keterikatan
secara psikologis atau emosional sesungguhnya musuh guru itu sendiri. Dalam
konteks pendidikan di SD, mari kita bertanya, lebih banyak mana para guru
kita yang memberi PR dan yang memeluk dan mencium siswanya setiap hari di
kelas. Atau guru-guru kita memang benar seperti dugaan Paulo Freire,
menganggap siswa-siswi mereka sebagai tahanan atau pekerja yang harus
selalu ditekan untuk belajar dan belajar, tetapi tidak mendidik.
Di sinilah sesungguhnya pembeda antara pengajar dan
pendidik. Guru dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi biasanya
memperlakukan siswa mereka sebagai teman, anak, atau bahkan relawan sehingga
unsur tekanan dan pemaksaan tidak terjadi dalam proses belajar-mengajar
karena ikatan emosional yang lebih akan menyebabkan hubungan guru-siswa
menjadi lebih akrab, dinamis, dan mudah membuat mereka memahami sekaligus mematuhi
aturan yang ada.
Istri saya ialah role model guru yang sekaligus seorang
ibu yang selalu memikirkan rasa cinta dalam mengajar daripada mengumbar rasa
benci dengan memberikan tekanan kepada anak secara emosional. Terima kasih,
Qaimah Umar, semoga jejakmu sebagai guru yang asih akan selalu dikenang
murid-murid dan tetap menjadi anutan anak-anak dalam melangkah ke depan.
Selamat berjuang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar