Selasa, 31 Oktober 2017

Sandyakalaning Perguruan Tinggi

Sandyakalaning Perguruan Tinggi
Benni Setiawan ;   Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta
                                            MEDIA INDONESIA, 30 Oktober 2017



                                                           
RUMAH bangsa bernama perguruan tinggi (PT) akhir-akhir ini mendapat sorotan. Sorotan itu tertuju pada dua hal. Pertama, pemecatan seorang rektor PTN di Jakarta. Sang rektor diberhentikan karena konon tidak menyelenggarakan sistem pendidikan pascasarjana sesuai prosedur yang berlaku. Bahkan, berhembus kabar, sang rektor meluluskan peserta program doktor yang terkait skandal plagiarisme.

Kedua, sorotan tajam mengarah pada dua PTN di Jatim yang memberikan gelar doktor honoris causa (HC) kepada dua politikus 'partai hijau'. Penganugerahan doktor HC bagi politisi muda itu konon didasarkan pada prestasi dan sesuai aturan yang berlaku. Benarkah demikian?

Bukan usaha dagang

Dua hal itu seakan menjadi sandyakalaning PT. PT sebagai rumah peradaban seakan menjadi bancakan proyek kepentingan jangka pendek segelintir oknum. Oknum itu telah membajak muruah PT untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan. PT bukanlah rumah perebutan kuasa. PT memanggul beban pencerahan dan pencerdasan bangsa. Saat PT dikelola dengan manajemen 'konco', ia telah melukai ruang pemerdekaan manusia muda.

Pada kasus pertama misalnya, program pascasarjana selayaknya selektif dalam proses penerimaan dan kelulusan. Artinya, program ini selayaknya tidak sekadar mengumbar ijazah. Ijazah hari ini seringkali dimaknai sebagai modal sosial. Ijazah dapat mengantarkan seseorang pada posisi-posisi tertentu. Berbekal ijazah itu seseorang dapat menduduki posisi terhormat dengan segala fasilitas yang melekat.

Kondisi ini kemudian dibaca oleh pengelola PT untuk membuka program pascasarjana. Jadilah hampir semua PT mempunyai program pascasarjana, termasuk perguruan tinggi yang tidak jelas sekalipun.

Sekadar berbagi pengalaman, suatu ketika teman mengirim pesan melalui media sosial. Isinya ialah ucapan selamat kepada sebuah PTS di Jateng atas izin dibukanya program doktor. Padahal, saya tahu PT itu tidak jelas.
Artinya, kampusnya lebih bagus jika dibandingkan dengan bangunan sekolah-sekolah menengah swasta di kota itu. Saat masuk ke kampus itu pun tidak tampak kegiatan akademik.

Suatu ketika seorang asesor marah-marah. Pasalnya, saat datang ke kampus itu, ia tidak menemukan seorang dosen atau pimpinan PT. Dia hanya bertemu dengan staf kebersihan yang datang pagi. Padahal, dia datang pada pukul 09.00. Asesor itu pun akhirnya meninggalkan kampus itu dan bergumam, "Inilah yang merusak sistem pendidikan."

Praktik buka program doktor yang kurang mengindahkan kaidah akademik ini perlu disesalkan. Pasalnya, program doktor bukanlah usaha dagang untuk menampung mereka yang sekadar ingin kuliah dan mendapatkan ijazah. Program doktor mencetak manusia akademik yang ilmunya sangat dibutuhkan bangsa. Doktor di Indonesia memang kurang. Jumlah doktor di Indonesia hanya sekitar 31 ribu.

Berdasarkan perbandingan doktor per 1 juta penduduk, RI hanya memiliki 143 doktor. Sementara Malaysia 509, AS memiliki 9.850 doktor per 1 juta orang, Jerman 3.990 doktor, Jepang 6.438 jumlah doktor, dan India yang memiliki jumlah doktor mencapai 3.420 orang per 1 juta penduduk (Koran Sindo, 23/9).

Kekurangan jumlah doktor bukan berarti dengan seenaknya membuka program pascasarjana secara 'ugal-ugalan'. Membuka keran pascasarjana dalam jumlah banyak tanpa memerhatikan kualitas hanya akan semakin mengecilkan peran kebangsaan Indonesia. Bangsa Indonesia hanya akan dibanjiri pemilik nama dengan gelar doktor yang mentereng. Namun, miskin karya dan kiprah untuk bangsa.

Jauhkan dari politik

Apa yang terjadi di sebuah PTN di Jakarta itu yang menyeret nama rektor, selayaknya menjadi perhatian semua pihak. Pendidikan perlu dikelola secara profesional. PT selayaknya jauh dari anasir-anasir politik praktis. Sebagai rumah ilmu, PT perlu menjadi role model tercipta dan terwujudnya insan berpendidikan.

Salah satu ciri insan berpendidikan menurut Driyarkara adalah tanggap dan bertanggung jawab. Ia tanggap terhadap persoalan yang harus segera diselesaikan, dan bertanggung jawab atas segala hal yang ia lakukan dan pilih.

Saat pendidikan dipenuhi oleh anasir politik, sulit bagi kita mendapatkan manusia tanggap dan bertanggung jawab dari rahim pendidikan. Pasalnya, mereka hanya tanggap terhadap kepentingan jangka pendek.
Tanggung jawab yang ia emban hanya untuk memuaskan pimpinan partai politik tertentu.

Program pascasarjana perlu ditata agar tidak setiap PT boleh membuka kelas ini. Pemerintah perlu membuat regulasi yang lebih ketat agar praktik 'jual beli ijazah' menjadi praktik legal. Artinya, saat banyak PT membuka program pascasarjana, mereka perlu memastikan diri mempunyai sumber daya yang memadai sehingga praktik kecurangan akan dapat dicegah sejak dari hulu.

Tak berguna

Setelah menata program doktor, pemerintah dan PT pun perlu mengerem memberi gelar doktor HC kepada seseorang. Apalagi, pemberian gelar itu diberikan kepada kader parpol. Memberi gelar doktor HC kepada kader politik merupakan sebuah kesia-siaan. Pasalnya, mereka tidak akan menggunakan gelar itu untuk kemaslahatan umat. Mereka hanya akan menggunakannya sebagai label pemanis nama.

Kader politik tidak membutuhkan gelar doktor HC. Pasalnya, persyaratan pencalonan menjadi anggota DPR hanya cukup lulus SMP. Bahkan, menjadi presiden pun hanya butuh ijazah SMA. Jadi untuk apa memberikan gelar doktor kepada mereka?

Ironisnya, gelar doktor HC diberikan kepada kader politik yang usianya relatif masih muda. Secara usia mereka masih dapat kuliah secara baik dan terhormat di program doktor universitas yang baik. Memberikan gelar doktor kepada politisi muda pun mencederai semangat berproses.

Meminjam istilah Mochtar Lubis, penganugerahan doktor HC kepada politisi muda adalah potret manusia Indonesia yang enggan bekerja keras dan suka menerabas. Manusia Indonesia yang enggan bersusah payah membuat tugas makalah dan melakukan penelitian serius untuk menghasilkan karya monumental bernama disertasi. Mereka cukup dekat pusat kekuasaan dan mampu menekan kampus tertentu, ia pun akan mendapat gelar doktor.

Penganugerahan doktor HC yang akhir-akhir ini marak bak rumput di musim hujan menjadi catatan bagi pengelolaan PT.  Apakah PT akan digadaikan dengan harga yang murah kepada pemilik kuasa?

Saat PT menyerah tanpa syarat kepada penguasa, jangan berharap ia menjadi rumah ilmu pengetahuan. Jangan pernah berharap akan lahir budayawan dari rahim PT. PT hanya akan menjadi menara gading pendidikan, sebagaimana kritik Paolu Freire.

PT perlu mengembalikan marwahnya sebagai kawah candradimuka pendidikan nasional. Saat PT masih tunduk takluk pada 'pasar politik', maka kita tinggal menunggu masa senja dan kematian institusi mulia ini.
Wallahu a'lam.

Kenapa Banyak Tulisan Buruk?

Kenapa Banyak Tulisan Buruk?
AS Laksana ;   Cerpenis dan Kolumnis
                                                    JAWA POS, 30 Oktober 2017



                                                           
STEVEN Pinker, ilmuwan psikolinguistik dari Universitas Harvard, AS, dalam ceramah-ceramahnya tentang penulisan sering mengajukan pertanyaan: Kenapa kebanyakan tulisan buruk sekali dan bagaimana cara menjadikannya lebih baik? Tentu saja dia tidak membicarakan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia. Dia membicarakan tulisan-tulisan berbahasa Inggris dan menjawab pertanyaannya dalam buku panduan yang cemerlang, berjudul The Sense of Style: The Thinking Person's Guide to Writing in the 21st Century.

Saya teringat buku tersebut, juga pertanyaannya, karena beberapa hari lalu disodori sejumlah pertanyaan oleh wartawan yang surat kabarnya hendak menurunkan laporan tentang merosotnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia di kalangan murid-murid sekolah. Itu laporan yang penuh keprihatinan dalam menyambut Hari Sumpah Pemuda. Dia merasa bahwa murid-murid sekolah saat ini lebih bangga belajar bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia.

Benarkah itu masalah? Mungkin tidak. Penguasaan yang bagus terhadap bahasa asing –Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Mandarin, dan sebagainya– akan memberi peluang murid-murid untuk memasuki dunia yang lebih luas.

Dalam soal buku saja, orang yang menguasai satu bahasa asing, katakanlah Inggris, jelas akan memiliki lebih banyak bacaan dan bisa menyerap lebih banyak pengetahuan bila dibandingkan dengan orang-orang yang bangga hanya berbahasa Indonesia. Ada banyak buku bagus dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan lain-lain, baik fiksi maupun nonfiksi; tidak banyak dalam bahasa Indonesia.

Kawan-kawan saya sesama penulis yang fasih membaca buku-buku dalam bahasa asing bisa menulis lebih bagus dalam bahasa Indonesia. Jadi, saya tidak melihat bahasa Indonesia sedang terancam atau mengalami kemerosotan atau tidak lagi dicintai hanya karena orang-orang menyukai pelajaran bahasa asing. Bahasa tumbuh bersama masyarakat pemakainya; masyarakat tumbuh berkat pengetahuan yang dia miliki.

Jika benar bahwa murid-murid sekolah lebih menyukai mata pelajaran bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia, saya pikir karena mereka memiliki ”cita-cita” atau menaruh ”harapan” tertentu dalam mempelajari bahasa asing. Bukan semata-mata karena penguasaan bahasa asing sering ditanyakan kelak ketika mereka mencari pekerjaan, tetapi mungkin mereka memiliki hasrat lebih dari itu: mendapatkan lingkungan pergaulan yang lebih luas, mendapatkan teman-teman dari negara-negara lain, ingin bisa membaca lebih banyak buku, dan sebagainya. Semua itu bisa menjadi penambah semangat belajar bahasa asing bagi murid-murid.

Sebaliknya, ketika mereka mempelajari bahasa Indonesia, apa ”cita-cita” atau ”harapan” yang ada di belakangnya? Hampir tidak ada, jika bukan tidak ada sama sekali. Bahasa Indonesia mereka pelajari sebagai mata pelajaran wajib saja. Mereka tidak tertarik pada materinya, bosan pada cara guru menyampaikan, dan tidak tahu kenapa harus menguasai bahasa Indonesia sebaik-baiknya.

Mungkin guru-gurunya pun bingung jika ditanya: Apa yang menarik dalam pelajaran bahasa Indonesia dan apa pentingnya bagi murid-murid menguasai bahasa Indonesia sebaik mungkin?

Saya pikir, memaksa orang agar tekun mempelajari sesuatu yang tidak menarik adalah urusan mustahil. Dalam transaksi sehari-hari, kita tidak bisa menyalahkan pembeli jika mereka tidak mau membeli barang dagangan kita. Kita tidak punya hak untuk memaksa orang membeli barang dagangan yang tidak menarik bagi mereka.

Di luar urusan persekolahan dan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran, saya justru melihat bahasa Indonesia semakin maju. Ia sudah cukup canggih dan memadai sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Kita bisa menyampaikan pemikiran-pemikiran yang rumit dan kompleks dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Ada tudingan bahwa media sosial memberi pengaruh besar bagi kemerosotan orang dalam kemampuan berbahasa atau mendorong kekasaran bentuk ekspresi, baik oleh orang-orang secara umum maupun politisi. Saya pikir, itu tuduhan yang berlebihan. Sebelum era internet dan media sosial, kebanyakan tulisan buruk juga mutunya dan jumlah orang yang membaca buku tidak banyak. Pada waktu itu orang mengeluhkan televisi.

Bahwa kebanyakan orang menulis buruk atau berbahasa secara buruk, itu hal yang lumrah. Di tempat-tempat lain juga seperti itu: Kecakapan berbahasa adalah hal yang sulit dikuasai, terutama bahasa tulis. Untuk keperluan berkomunikasi lisan, orang menguasai bahasa secara alami melalui pergaulan sehari-hari dan mereka merasa apa yang mereka miliki sudah cukup. Mereka bisa bercakap-cakap dengan orang lain, merayu, melakukan tawar-menawar —tidak ada masalah.

Namun, kecakapan berbahasa tulis bukan sesuatu yang didapat secara alami; ia harus dipelajari. Orang perlu memiliki kemampuan berpikir, menguasai bahan, memiliki kosakata yang cukup kaya, dan mengetahui cara mengungkapkannya —dalam suara dan gaya yang menarik. Itu berarti orang perlu banyak membaca, mencintai kalimat, serta memahami kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar. Mungkin nanti dia akan merasa perlu melanggar kaidah untuk kepentingan tertentu saat menulis, tetapi itu bukan pelanggaran oleh orang yang tidak tahu kaidah.

Prasyarat-prasyarat untuk menguasai kecakapan berbahasa Indonesia secara bagus itulah yang tidak pernah dipenuhi pemerintah hingga hari ini. Murid-murid sekolah tidak dibimbing menjadi pembaca buku, tidak diajari mengungkapkan pemikiran secara tertulis dalam metode yang menyenangkan, tidak diajak bersenang-senang dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Pertamina Tidak Mampu Bangun Kilang

Pertamina Tidak Mampu Bangun Kilang
Fahmy Radhi ;   Pengamat Ekonomi Energi UGM ; 
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
                                                INDONESIANA, 29 Oktober 2017



                                                           
Kendati belum kinclong, pencapaian Pemerintahaan Jokowi di bidang kemanidirian energi dinilai sudah pada jalur yang tepat (the right traack). Capaian itu, di anataranya pengalihan subsidi BBM dari konsumtif ke produktif, BBM Satu Harga, percepatan elektrifikasi di 25.000 desa,  pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga, pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). peningkatan iklim investasi yang semakin kondusif dengan mengubah contract regime dari Product Sharing Contract menjadi Gross Split Contract, serta pengambil-alihan Blok Mahakam dan Freeport.

Namun, tidak semua program kemandirian energi Jokowi dapat dicapai sesuai target. Selain Proyek Listrik 35.000 MW, Pemerintahan Jokowi belum berhasil mengurangi ketergantungan impor BBM, bahkan volume impor BBM justru cenderung meningkat. Pada 2014, konsumsi BBM sudah mencapai 1.450 ribu barrel per hari, sedangkan kapasitas Kilang Minyak terpasang sebesar 860 ribu barrel per hari, sehingga dibutuhkan impor BBM sekitar 590 ribu barrel per hari. Pada April 2017, konsumsi BBM meningkat menjadi 1.740  ribu barrel per hari, sedangkan kapasitas Kilang terpasang naik hanya sedkit menjadi 920 ribu barrel per hari, sehingga impor BBM naik menjadi  820 barrel per hari, hampir mencapai 50% dari total konsumsi BBM.

Mengetahui data impor BBM itu, Presiden Jokowi memperingatkan dengan mengatakan: “Saya kira kita tahu semuanya 50% produksi dari dalam dan 50% kurang lebih kita masih tergantung impor. Saya kira ke depan sangat berbahaya sekali apabila kondisi ini masih kita pakai terus menerus, tanpa kita melakukan riset, tanpa kita melakukan terobosan dalam membangun kemandirian energi kita," Peringatan itu, secara implisit menunjukkan kekecewaan Presiden Jokowi bahwa pencapaian kemandirian energi melalui pengurangan ketergantungan impor BBM tidak akan tercapai.

Kegagalan mengurangi ketergantungan impor BBM disebabkan kenaikkan konsumsi BBM yang lebih besar dari produksi BBM dalam negeri, akibat keterbatasan kapasitas Kilang Minyak yang dioperasikan oleh Pertamina. Pasalnya, Pertamina tidak pernah membangun Kilang Minyak baru sama sekali dalam 20 tahun terakhir. Padahal Kilang Minyak Pertamina merupakan kilang-kilang yang sudah tua-renta. Bahkan kilang yang dibangun pada zaman Penjajahan Belanda, antara lain Kilang Balik Papan (1894) dan Kilang Plaju (1903), masih saja digunakan. Sedangkan Kilang Minyak yang dibangun Pertamina umumnya juga sudah relatif tua, di antaranya Kilang Dumai (1971), dan Kilang Cilacap (1976), serta Kilang Kasim, yang terkahir dibangun pada 1997.

Direktur Utama Dwi Sotjipto sesungguhnya sudah untuk melakukan berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan impor BBM secara bertahap. Bahkan Soetjipto mematok target pada 2023 Indonesia akan mencapai swasembada BBM, semua kebutuhan BBM akan dipasok dari Kilang Minyak dalam negeri. Upaya untuk menambah kapasitas Kilang Minyak dengan melakukan pengembangan dan modifikasi existing Kilang dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Pembangunan Kilang baru. Total penambahan kapasitas Kilang Minyak melalui RDMP dan GRR ditergetkan sebesar 2 juta barrel per hari, yang akan diselesaikan pada 2022.  Sedangkan konsumsi BBM pada periode yang sama diproyeksikan mencapai 1,9 juta barel per hari, sehingga pada 2023 Indonesia tidak akan impor BBM lagi.

Untuk mencapai target itu, Pertamina menjalankan 4 Proyek RDMP Kilang CIlacap, Balik Papan, Balongan dan Dumai, serta 2 Proyek Gross Root Refinery (GRR). Setiap Proyek RDMP membutuhkan dana investasi sekitar US$ 5 miliar atau sebsesar Rp 67,5 triliun  (asumsi US$ 1 setara Rp. 13.500). Sedangkan satu Proyek GRR dubutuhkan dana investasi  sekitar US$ 12,5 miliar atau setara Rp. 168,75 triliun. sekitar US$ 45 miliar atau setara Rp. 607,5 triliun.

Memang berat bagi Pertamina untuk menyediakan dana investasi sebesar itu. Namun penyelesaian semua Proyek RDMP dan GRR merupakan suatu keniscayaan yang harus direalisasikan tepat waktu sesuai target, seperti yang diharapkan oleh Presiden Jokowi. Namun, manajemen baru di bawah direktur utama Elia Massa Manik ternyata tidak memiliki kemampuan keuangan untuk menyelesaikannya, sesuai yang ditargetkan oleh manajemen lama di bawah direktur utama Dwi Soetjipto. Pertamina harus menunda waktu penyelesaian RDMP dan GRR antara 1 hingga 3 tahun, sehingga target untuk swasembada BBM pada 2023 tidak akan dapat dipenuhi.

Untuk mengatasi ketidakmampuan dalam menyediakan dana, Pertamina harus menawarkan sejumlah saham Proyek RDMP kepada swasta. Kalau perlu proporsi kepemilikan saham swasta lebih besar dari pada proporsi Pertamina. Selain itu, Pemerintah harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada swasta untuk membangun Kilang Minyak baru. Masuknya swasta, baik dalam Proyek RDMP dan GRR, maupun dalam Proyek Pembangunan Kilang baru sesungguhnya sangat dimungkinkan. Lantaran Menteri ESDM sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 35 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta.

Agar investor swasta tertarik untuk masuk pada investasi Proyek Pengembangan dan Pembangunan Kilang Minyak di Indonesia, Pemerintah harus memberikan kemudahan dan fasilitas, serta insentif  kepada investor swasta. Insentif itu berupa percepatan pembebasan tanah dan perizinanan, serta  memberikan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal. Selain itu, Kilang Minyak baru yang dibangun harus dapat diintegrasikan, tidak hanya untuk menghasilkan BBM, tetapi dapat juga  untuk menghasilkan produk-produk petro-kimia, sehingga tercapai kapasitas keekonomian (economic of scale)

Upaya untuk melibatkan swasta akan menjadi solusi untuk mengatasi ketidakmampuan Pertamina dalam menyelesaikan proyek pengembangan dan pembangunan kilang minyak sesuai target ditetapkan. Tanpa ada solusi mengatasi ketidakmampuan Pertamina, jangan harap program kemandirian energi Presiden Jokowi,  dalam pengurangan ketergantungan impor BBM, dapat diwujudkan selama periode Pemerintahan Jokowi.

Mengharap Tuah dan Berkah Ahok

Mengharap Tuah dan Berkah Ahok
Hersubeno Arief ;   Jurnalis Senior;  Mantan Wartawan Republika
                                                INDONESIANA, 29 Oktober 2017



                                                           
Seorang petinggi partai  terheran-heran ketika mendapat kiriman foto Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar  sedang menemui  mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok beberapa hari lalu. “Ada apa ya? Apa perhitungan Cak Imin kok sampai harus mengunjungi Ahok?  Pertanyaan itu diulang beberapa kali untuk menunjukkan betapa peristiwa tersebut merupakan sebuah fenomena politik yang menarik, tapi sekaligus mengherankan.

Dalam politik bertemunya dua orang tokoh bisa berarti banyak. Bisa menimbulkan berbagai tafsir. Sebuah signal yang bisa membawa kita untuk memahami langkah, maupun peristiwa politik ke depan.

Ketika Ketua Umum DPP Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana, dan kemudian dilanjutkan dengan kunjungan Jokowi ke Bukit Hambalang, kediaman Prabowo, sarat dengan makna dan tafsir politik.

Pertemuan tersebut ditafsirkan sebagai simbol rekonsiliasi antara dua tokoh yang pernah bersaing keras dalam Pilpres 2014. Pertemuan yang kemudian dikenal sebagai “diplomasi menunggang kuda,”  karena Jokowi sempat menunggangi kuda milik Prabowo.  Diharapkan pertemuan dapat menurunkan tensi ketegangan antara keduanya, maupun diantara para pendukung.

Di luar pesan yang sampai dan mencuat ke permukaan, pasti ada deal-deal politik di belakang layar yang tidak pernah kita ketahui.

Begitu pula halnya Ketua Umum DPP Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu Prabowo  di Cikeas menjelang pengesahan RUU Pemilu. Banyak pengamat yang menafsirkan pertemuan yang dikenal dengan istilah “Diplomasi Nasi Goreng” itu sebagai signal menyatunya dua jenderal yang secara politik tidak pernah bersatu.

Sangatlah wajar bila kemudian muncul banyak pertanyaan,   apa kalkulasi politik  kunjungan Cak Imin ke tempat Ahok “nyantri” di Mako Brimob?

Mengharap Berkah

Dalam  tradisi  Nahdliyin yang menjadi basis Cak Imin, kunjungan atau sowan, biasanya dilakukan oleh seorang santri kepada kyai. Bahkan ketika seorang kyai besar yang sudah meninggal, makamnya akan banyak diziarahi. Selain menunjukkan sikap hormat dan bhakti seorang santri, mereka mengharap karomah, berkah para kyai. Dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai “ngalap berkah.” Tidak ada urusannya dengan politik.

Tradisi ini kemudian juga diadopsi dalam politik praktis. urusannya tidak jauh-jauh dari berebut suara pemilih. Presiden Jokowi termasuk yang sering berkunjung ke pesantren dan menemui kyai-kyai besar. Ketua Umum Golkar Setya Novanto belakangan terlihat wora-wiri ke pesantren. Dia malah disebut-sebut telah mendapat gelar Kyai Haji (KH). Sebuah foto para santri putri berbaris mencium tangan Novanto beredar luas. Orang yang dicium tangannya menunjukkan maqom (posisinya) sudah tinggi. Mumpuni. Levelnya sudah ma’rifat.

Pada kasus Ahok, apakah dia juga sudah mempunyai  maqom yang tinggi, sehingga sejumlah tokoh penting ramai-ramai  mengunjunginya? Pasti ada sesuatu yang “istimewa”  dan “penting.”  Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Anshor Yaqut Cholil Qoumas memang menjuluki Ahok sebagai Sunan kali Jodo. Tapi julukan itu pasti sekedar main-main. Kalau serius, sungguh keterlaluan.

Sebelum Cak Imin, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, dan Agus Harimurti telah mengunjungi Ahok.  Kunjungan Surya Paloh bisa dipahami, karena Nasdem adalah partai yang pertama kali mendukungnya pada pilkada DKI.  Jadi kunjungan Surya, merupakan kunjungan seorang kakak, atau orang tua. Sementara kunjungan Agus tentu berbeda maknanya.

Agus membawakan kue basah, dan Ahok kemudian menitipkan surat untuk SBY. Kunjungan tersebut tidak terlalu mengundang kehebohan, barangkali karena kapasitas Agus bukan seorang ketua umum partai.

Namun jangan lupa,  Agus adalah anak SBY. Sebagai putera mahkota, diprediksi pada waktu yang dirasa sudah tepat, Agus  akan mewarisi tahta Ketua Umum Partai Demokrat. Artinya kunjungan Agus adalah representasi dari SBY.

Agus secara personal dikenal tidak cukup dekat dengan Ahok. Dalam Pilkada DKI 2017, dia malah bersaing dengan Ahok. Dalam putaran pertama  Agus yang berpasangan dengan Silvy bahkan dianggap sebagai pesaing paling potensial mengalahkan Ahok. Apalagi berbagai survei menyebutkan tingkat elektabilitas sangat tinggi.

Berbagai operasi politik dilakukan untuk menjatuhkan elektabilitas Agus, termasuk sejumlah black campaign. Sehari menjelang pemungutan suara putaran pertama, mantan Ketua KPK  Antasari Azhar yang menjadi terpidana kasus pembunuhan,  melaporkan SBY ke Bareskrim Polri dengan tuduhan yang cukup serius. SBY dituding sebagai aktor di balik rekayasa sehingga Antasari harus mendekam di balik penjara.

Nah ketika Agus kemudian mengunjungi  Ahok, tentu bukan merupakan kunjungan biasa.  Sarat dengan makna politik. Apalagi sebelumnya baik AHY maupun SBY melakukan berbagai manuver politik yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mendekati Jokowi.

Jangan lupa Ahok adalah wakil Jokowi saat menjadi gubernur DKI, dan digadang-gadang menjadi cawapres Jokowi pada Pilpres 2019. Dalam Pilkada DKI kendati tidak secara terbuka, Jokowi mendukung penuh Ahok. Seorang pengamat malah menyebut istana sebagai posko pemenangan Ahok.

Sepekan sebelum peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-72, Agus bertandang ke istana. Dia menyampaikan undangan kepada Jokowi untuk menghadiri peresmian The Yudhoyono Institute. Dalam pertemuan tersebut Agus menyampaikan salam dan menegaskan dukungan SBY terhadap pemerintahan Jokowi.

Setelah itu SBY bertandang ke istana dalam momentum HUT Kemerdekaan RI ke-72. Saat itu fokus media justru pertemuan antara SBY dengan Megawati. Maklumlah keduanya terlibat perang dingin sejak SBY mencalonkan diri sebagai presiden, pada  Pilpres 2014. Tidak ada media yang menghubungkan kedatangan SBY ke istana dengan Jokowi.

Signal politik bahwa SBY kian mendekat ke Jokowi terjadi ketika Sidang Paripurna DPR membahas Perppu ormas. Demokrat berada dalam kubu partai yang mendukung pengesahan Perppu, kendati dengan catatan harus ada revisi.

Pilihan politik Demokrat ini mendapat kecaman sangat luas. Sebagai pendukung Perppu ormas, di media sosial Demokrat dikelompokkan sebagai Parpol yang harus diboikot dalam pemilu. Mereka di-bully habis. Apalagi sebelumnya Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan dengan tegas mengatakan partainya akan menolak pengesahan Perppu ormas karena tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa.

SBY yang semula tegar menghadapi serangan di medsos, akhirnya menemui Jokowi di istana, dan menegaskan sikap partainya yang meminta revisi Perppu Ormas yang telah disahkan menjadi UU.

Seperti diungkapkan Mensesneg Pratikno pertemuan tersebut atas permintaan Agus, sebulan sebelumnya. Pertemuan baru terjadi pasca pengesahan Perppu ormas, karena kesibukan presiden.  Jadi Perppu ormas bukanlah agenda utama pertemuan tersebut. Ada agenda lain yang tidak disebutkan oleh Pratikno, karena dia mengaku tidak mengikuti pertemuan.

Tek- tok politik antara Agus, SBY dengan Jokowi dan kemudian kunjungan Agus ke Ahok bisa dibaca sebagai upaya pendekatan SBY ke Jokowi dan kelompok-kelompok di belakangnya. Apa agenda besar di balik itu? Waktu yang akan menjawab. Banyak spekulasi yang menyebut hal itu sebagai upaya “menitipkan” Agus ke Jokowi.

Pilkada DKI memaksa Agus melepas jabatan dan karir militernya. Dia sementara ini  mengelola The Yudhoyono Institute sebagai Direktur Eksekutif. Agus tampaknya dipersiapkan untuk jabatan-jabatan politik lain yang penting. Menjadi menteri dalam kabinet, bila terjadi reshufle, atau cawapres pada Pilpres 2019, merupakan pilihan yang masuk akal.

Jika benar seperti itu, maka dalam kalkulasi SBY, posisi Jokowi masih sangat kuat. Dia menerapkan strategi Sun Tzu “menghindari musuh yang terlalu kuat.”  Politik di Indonesia saat ini tampaknya tengah memasuki sebuah situasi yang pernah dinyatakan oleh mantan Presiden AS George W Bush, “ You are either with us, or agains  us.”

Kunjungan Agus, Cak Imin, dan kemungkinan disusul tokoh-tokoh lain ke Ahok bisa memandu kita untuk memahami konstelasi politik Indonesia. Ahok menjadi sebuah kartu puzzle yang menghubungkannya  menjadi sebuah mozaik apa yang terjadi di balik layar panggung besar politik Indonesia. Karena itulah dia harus di-"sowani".

Mengakhiri Sentimen Pribumisasi

Mengakhiri Sentimen Pribumisasi
Agus Riewanto ;   Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
                                             SUARA MERDEKA, 27 Oktober 2017



                                                           
BELUM lama ini istilah pribumi dan nonpribumi menjadi perbincangan hangat publik, yang dipicu oleh pernyatan Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan dalam pidato politik pascapelantikannya di Balai Kota DKI. Di hadapan ribuan pendukung Anies mengatakan: "Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri”.

Tak pelak lagi pernyataan Anies ini memicu kontroversial, tak sedikit yang setuju dengan pernyataan Anies ini sebagai bagian dari upaya menaikkan tensi semangat pendukungnya, namun tak sedikit pula yang mengkritiknya, bahkan organisasi Banteng Muda Indonesia (BMI) telah melaporkan Anies ke Bareskrim Polri karena dianggap melanggar peraturan.

Pernyataan Anies yang membedakan pribumi dan nonpribumi secara kategorik ini seolah hendak menghidupkan kembali idiom politik diskriminasi dalam sejarah sosial politik di Indonesia yang memunculkan segregasi antarsuku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Padahal dalam rentang sejaranh sesungguhnya idiom pribumi dan nonpribumi merupakan tafsiran politis dari kebijakan ciptaan Kolonial Belanda yang sengaja membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur Asing (China, Arab, India, dll) dan bumi putra dalam rangka untuk memudahkan dalam pemberlakuan hukum untuk mereka.

Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku baginya Hukum Perdata Barat dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan hukum perdata dan Hukum Dagang di Belanda berdasarkan Asas Konkordansi, yaitu suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.

Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat yang pada tiap-tiap daerah berlainan coraknya. Adapun bagi golongan Timur Asing dibagi 2 (dua), yaitu berdasarkan Stb. 1924-557 berlaku di KUHPerdata dan KUHD dengan pengecualian Tentang Pencatatan Sipil, cara-cara perkawinan ditambah dengan pengangkatan anak dan bagi golongan bukan Cina berdasarkan Stb. 1924-556 berlaku KUHPdt dan KUHD dengan pengecualian, mengenai Hukum Kekeluargaan dan mengenai Hukum Waris tanpa wasiat.

Dari aspek sejarah hukum sesungguhnya Belanda sendiri tidak pernah menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi, hanya membagi golongan penduduk yang pada awalnya bertujuan memudahkan kontrol penerapan hukum yang sesuai dengan karakter masing-masing golongan penduduk.

Bahkan jika dibaca dari aspek konstitusional dalam UUD 1945 sebelum Amandemen hingga UUD 1945 Pascaamandemen pada Pasal 26 Ayat (1) tidak pernah menggunakan istilah ”pribumi”. Jika dilacak dalam undang-undang organik yang mengatur tentang Kewarganegaraan Indonesia, yaitu UU No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI sebagaimana diubah menjadi UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI juga tidak menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi.

Sentimen Emosional

Jika kemudian muncul istilah pribumi dan nonpribumi bukan istilah dalam hukum, melainkan istilah ujaran politik yang secara terus-menerus dipergunakan sebagai alat agitasi politik kepentingan tertentu dalam kehidupan sosial politik yang menjadi stigma (pelabelan) politik untuk membedakan akses ekonomi, politik dan budaya. Akhirnya mendorong lahirnya politik diskriminasi. Itulah sebabnya di kemudian hari istilah pribumi dan nonpribumi dikomodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat mengaduk-aduk sentimen emosional dan kerap kali memicu konflik.

Umumnya konflik itu terjadi antara warga China dengan penduduk setempat, konflik dahsyat yang tak dapat dilupakan dalam panggung sejarah adalah terjadi pada Mei 1998 yang memicu gerakan politik Reformasi 1998. Itulah sebabnya mengapa pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Dan pada tahun 2008 pemerintah mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dengan demikian, istilah pribumi dan nonpribumi dalam sejarah sosial politik di Indonesia merupakan idiom yang syarat dengan masalah dan luka, karena realitasnya memainkan isu ini dapat memicu ketegangan, konflik dan kekerasan dalam masyarakat.

Sejarah mencatat banyak juga orangorang peranakan Tionghoa, Arab, dan Eropa yang juga sama-sama berjuang di masa kolonial Belanda dan kependudukan Jepang serta telah merasa menjadi bagian dari Indonesia. Dalam Susunan Pengurus BPUPKI terdapat keterlibatan nama-nama seperti Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa yang mewakili peranakan Tionghoa; AR Baswedan yang mewakili peranakan Arab; dan Dahler yang mewakili peranakan Eropa.

Jadi alangkah elok dan bijaksananya jika para pemimpin politik lokal dan nasional memiliki kesadaran sejarah bangsa, agar tak lagi memainkan isu-isu ini dalam ucapan, pidato atau bahkan ujaran- ujaran dalam keseharian, karena akan dapat memicu kesadaran kolektif perbedaan. Secara simbolik akan mengesankan pribumisasi atau mengambil alih semua kegiatan berbangsa dan bernegara khusus untuk kaum pribumi. Saatnya bangsa ini menatap masa depan dengan tanpa melestarikan idiom-idiom negatif yang dapat menafikan eksistensi dan peran warga negara Indonesia yang berasal dari suku, agama, ras dan antargolongan yang berbeda dalam mengisi pembangunan bangsa.

Sekali Pribumi, Sesudah itu Heboh

Sekali Pribumi, Sesudah itu Heboh
Nasihin Masha ;   Pemimpin Redaksi Republika
                                                   REPUBLIKA, 27 Oktober 2017



                                                           
Menghadiri momen-momen politik penting merupakan ritual tersendiri bagi wartawan. Saat Jokowi menang sebagai gubernur, Jokowi menang sebagai presiden, dan upacara pisah-sambut dari SBY ke Jokowi pun saya hadiri.

Untuk Anies-Sandi, saya memilih hadir saat pidato politiknya. Nur Hasan Murtiaji, wakil pemimpin redaksi Republika, rupanya memiliki ritual yang sama. Maka kami pun berangkat bersama-sama dari kantor dengan naik bus Transjakarta.

Saat Anies menyebut kata “pribumi”, saya berbisik ke Hasan, “Ini akan rame.” Dan, jadilah kegaduhan tersebut. Anies dituduh rasis. Ia dituduh melanggar Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang dibuat di masa BJ Habibie menjadi presiden.

Anies juga dituduh melanggar UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang dibuat di masa pemerintahan SBY. Segera saja, ada yang mengadukan Anies ke Polri dengan tuduhan rasis tersebut.

Pengadu itu Jack Boyd Lapian yang disebut berasal dari Gerakan Pancasila. Selain didampingi pengacara, Jack ditemani orang-orang dari Banteng Muda Indonesia --ormas yang dekat dengan PDIP. BMI juga diberitakan sebagai salah satu pihak yang ikut melaporkan Anies ke Polri.

Namun, banyak pula yang membela dengan argumen bahwa Anies menyampaikan hal itu dalam konteks era kolonial dan tak ada tendensi rasis. Di antara yang membela adalah Jaya Suprana, pengusaha dan juga penulis esai. Jaya beretnis Tionghoa. Pembelaan Jaya dibuat dalam sebuah tulisan.

Sebelum menulis, Jaya mendengar ulang pidato Anies dari video CNN Indonesia yang diunggah di Youtube. Menurut dia, hanya sekali Anies menyebut kata “pribumi” yaitu pada kalimat “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka. Kini saatnya kita menjadi tuan di negeri sendiri.”

Jaya mencatat kalimat itu berada pada menit 06.30 hingga menit 08.00, yaitu diawali dengan suatu prolog bahwa Jakarta menjadi salah satu saksi kolonialisme dan menjadi kota melting pot (bertemunya beragam manusia dengan asal-usul dan budayanya masing-masing). Jakarta juga memiliki posisi penting karena tempat lahirnya Sumpah Pemuda, kota proklamasi, dan kota dirumuskannya cita-cita nasional ketika para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dan Pancasila.

Setelah berucap tentang pribumi, Anies menguncinya dengan pepatah Madura: “Itik se atelor, ajam se ngeremme”. Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Anies mengingatkan agar hal itu jangan sampai terjadi.

Anies berpidato dengan membaca naskah pidato yang sudah disiapkan. Ada bagian yang tak tertulis dalam naskah pidato tapi diucapkan Anies, ada pula yang tertulis dalam naskah pidato namun diucapkan dengan kalimat berbeda atau diberi penekanan untuk menguatkan.

Yang tak ada dalam naskah tertulis, misalnya, tentang masyarakat Betawi yang telah menjadi sebaik-baiknya tuan rumah. Yang mendapat penekanan, misalnya, tentang letak pelaksanaan Sumpah Pemuda, Proklamasi, dan sidang BPUPK.

Adapun tentang pribumi ada sedikit perbedaan. Pada naskah pidato tertulis “rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan” dan seterusnya. Namun, yang diucapkan adalah “dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan” dan seterusnya.

Pidato Anies selain diawali dengan salam Muslim, juga diawali salam Kristen, Hindu, dan Buddha. Dan saat menutup, untuk salam Muslim, Anies menggunakan dua versi: versi Muslim pada umumnya dan versi Nahdliyin. Lengkap.

Berikut ini adalah analisis pidato Anies yang merujuk pada transkrip pidato yang diucapkan. Saya sengaja tak melakukan transkrip sendiri, tapi memanfaatkan transkrip yang ada yang sudah beredar.

Pertama, transkrip yang dilakukan Uni Z Lubis, wartawan senior yang juga mantan anggota Dewan Pers dan kini anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat. Kedua, transkrip yang dilakukan oleh tim SalingSapa.com.

Transkrip versi Uni berdasarkan mendengarkan ulang dari rekaman video, sedangkan transkrip versi SalingSapa.com dilakukan menggunakan aplikasi dari rekaman video. Berdasarkan transkrip dua versi ini didapatkan data-data yang sama.

Ada sejumlah diksi menonjol yang sering diucapkan pada pidato Anies tersebut. Pertama, kata “keadilan” diucapkan tujuh kali. Kedua, kata “persatuan” diucapkan lima kali. Ketiga, kata “untuk semua” dan “bagi semua” --yang mempunyai makna yang sama- diucapkan 13 kali.

Keempat, kata “Pancasila” diucapkan tujuh kali. Kelima, kata “bagi seluruh” diucapkan empat kali. Keenam, kata “kesejahteraan” diucapkan dua kali. Ketujuh, kata “pribumi” diucapkan satu kali. Sangat menarik mencermati angka-angka tersebut.

Ternyata frasa dan diksi yang bersifat menyatukan justru paling menonjol yaitu bagi semua, untuk semua, bagi seluruh, dan persatuan. Adapun tema yang menjadi sorotan dan pokok paling menonjol selama masa kampanye, yaitu soal “keadilan” dan “kesejahteraan” menjadi urutan berikutnya.

Namun, yang paling riuh dibicarakan justru yang diucapkan satu kali: pribumi. Apakah ini yang dinamakan nila setitik rusak susu sebelanga? Bisa ya jika apa yang disampaikan Anies dalam konotasi nila.

Namun, jika kita cermat dan jernih membacanya maka struktur kalimat itu justru dalam ruang “susu”, bukan nila. Wajar sekali jika semangat persatuan dan menyatukan merupakan yang paling menonjol karena itu merupakan laku rutin dari pidato politik kemenangan setelah kompetisi yang tajam.

Menyatukan memang bukan pekerjaan gampang. Namun, persatuan autentik akan tercipta dengan sendirinya dengan menghadirkan prestasi.

Kita Ini Siapa

Kita Ini Siapa
Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
                                                      KOMPAS, 30 Oktober 2017



                                                           
Tentu saja kita, bangsa Indonesia, selalu samar, bingung bahkan tidak tahu atau tak percaya pada sejarah asal-muasalnya sendiri. Karena buku atau literatur yang mencoba menjelaskan hal itu pun masih bersilang sengketa, berbasis datanya masing-masing.

Sementara kita sendiri, sebagai warga yang patuh pada negara, mengikuti dan mengakui panduan dan ajaran negara tentang sejarah diri kita, setidaknya melalui pendidikan formal melalui buku sejarah resmi pemerintah.

Apa yang kita baca dari buku panduan sejarah negara itu, berulang-ulang sejak puluhan lalu, terdengar sudah seperti fabel atau mitos. Sebagaimana tercantum dalam buku teks Sejarah Indonesia untuk SMA, terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 2015, halaman 51, terceritalah bahwa ”Seiring dengan kedatangan orang-orang dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia (2000-1500 SM) yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka pelayaran dan perdagangan mulai dikenal”.

Sambil membawa cermin, orang Batak, Sunda, Bugis, hingga Flores bisa mendatangi provinsi di barat daya RRC, yang direbut dari kerajaan Thai pada awal abad Masehi itu, lalu membanding-bandingkan diri. Semirip apa kita dengan ”nenek moyang” itu? Sehebat apa ”nenek moyang” itu bisa melahirkan bangsa-bangsa yang kemudian kita kenal sebagai penghuni Nusantara? Sebagai bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu?

Lalu, bagaimana dengan banyak data baru (ditemukan) yang ditebar banyak ahli belakangan ini? Bahwa penghuni awal kepulauan ini, bangsa Australomelanesia yang berkulit gelap, telah melaut sejauh 70 kilometer untuk mencapai dan menghuni Australia dan ke barat menyeberangi Samudra Hindia, pada 3.000 SM (Belwood, 2000; Read, 2005). Atau kitab kuno Geographiea Syntaxis karya Ptolomeus pada 161, menyebut kota Baroussai (Barus) sebagai penghasil kapur wangi (kamper) yang membalsem raja Mesir, Ramses II, pada 5.000 SM? Temuan fosil cengkeh di kota Terqa, Eufrat Tengah, bertarikh 1.700 SM, juga fosil kambing di Pulau Timor bertarikh 1.500 SM, masa di mana kambing hanya hidup di Timur Tengah?

Bagaimana pula dengan temuan batubatu purba di lembah Bada (Sulawesi Tengah) dan Goa Pasemah (Sumatera Selatan) yang mengukir gambar seorang perwira perang mengendarai gajah mengenakan sepatu bot dan gelang yang mirip jam tangan (Munandar, 2010)? Batu itu bertarikh 3.000 SM, jauh lebih tua daripada budaya Dongson yang kita anggap membawa peradaban baru (perunggu) ke negeri ini. Apalagi dikaitkan dengan fosil-fosil manusia Liang Bua (Homo floresiensis alias hobbit) dari masa 94.000-13.000 SM, manusia dari Manggarai, Flores, yang katai (pendek) karena terkena wabah mikrocefali.

Tentu saja masih banyak temuan baru lain yang tidak hanya menelurkan teori ”arus balik”, di mana justru bangsa Nusantara yang melakukan migrasi ke utara, termasuk ke Vietnam hingga China utara, tetapi juga sebuah konstatasi dari Michael D Coe dan S Houston dalam bukunya The Maya (2004: 58), yang menyatakan peradaban Maya, ”...was diffused from eastern Indonesia to Mesopotamia at a very early date”. Walau sebagian menganggapnya sumir, data itu membuat kita semakin dalam bertanya. Dari manakah kita sesungguhnya? Siapa kita, orang dan bangsa Indonesia ini sebenarnya?

Asing di kita

Kita belum tahu bagaimana nanti akhir kontroversi hobbit dari Liang Bua. Mungkin masyarakat saintifik dunia sulit untuk jujur dan berani mengakui pendapat Prof T Jacob (alm) bahwa hobbit itu adalah bagian dari Homo sapiens. Sebab, jika itu terjadi, fakta baru tersebut bisa mementahkan seluruh riwayat lahirnya bangsa-bangsa di dunia, yang tentu saja tidak hanya membuat seluruh civitas academica blingsatan, bahkan jatuh pingsan.

Namun, tanpa perlu itu terjadi, bukti-bukti arkeologis dan paleontologis sudah memperlihatkan bagaimana sebuah peradaban cukup tinggi sebenarnya sudah terbangun di kepulauan ini, jauh masa sebelum mitos-mitos yang didiseminasi oleh buku-buku sejarah negara. Termasuk di antaranya kedatangan bangsa Arya-India ke Indonesia yang sejak awal masehi dan menginisiasi berdirinya kerajaan-kerajaan (bergaya) konsentris (Kontinental) pertama di beberapa Kepulauan Nusantara, sebelum Kutai di Kalimantan atau Tarumanegara di Bogor.

Setidaknya hal itu memberi kita pemahaman betapa (orang/bangsa) India, baik yang keling (dravidan) maupun mestizo (campuran Arya), sudah ikut mendiami kepulauan ini selama 2.000 tahun atau dua milenium. Masa yang jauh lebih tua ketimbang munculnya beberapa suku bangsa di Indonesia, seperti Betawi bahkan Baduy. Bagaimana dengan karakter egaliternya sebagai bangsa bahari, masyarakat kepulauan ini mengembangkan pergaulan hingga percampuran ras (perkawinan silang) dengan bangsa(-bangsa) asing itu, hingga melahirkan bentuk-bentuk campuran baru.

Sama halnya dengan orang/bangsa China yang menurut Prof Liang Liji (2012) sudah melakukan hubungan tributer dengan bangsa-bangsa di Nusantara sejak masa Dinasti Han Timur (25-220 M). Profesor yang meneliti khusus catatan-catatan kerajaan, yang detail dan ditradisikan sejak abad ke-3 SM, tentang hubungan China-Indonesia, mencatat hubungan antara kerajaan China dan Ye Diao (Jawa) sudah terjadi sejak tahun keenam zaman Yong Jiao (131 M). Ye Diao adalah kerajaan di Jawa Barat yang dipimpin Raja Diao Bian (Devavawarman) yang tak lain adalah Raja Salakanagara. Sebuah kerajaan yang juga disebut sebagai Kerajaan Argyr (argentum=perak=salaka) oleh Ptolomeus.

Keberadaan atau domisili orang China di negeri ini, sesuai catatan sejarah yang ada, memang hampir sama panjang riwayatnya dengan orang India. Jauh sebelum Yi Jing (I-Tsing) meninggalkan puluhan muridnya di Sriwijaya pada abad ke-7, sudah tercatat pendeta Hui Ning yang menetap di Kerajaan He Ling (Kalingga) di abad ke-5 dengan ratunya Xi-Mo (Shima) yang dikagumi raja China karena kebijaksanaan dan ketegasannya dalam memberi hukuman. Belum lagi Faxian (Fa Hien) yang sudah melawat ke Jawa dan tinggal setengah tahun pada abad ke-4 dan tentu meninggalkan bekasnya.

Kepribumian kita

Dari kenyataan historis dan akademis itulah kita bisa membaca dan mengidentifikasi keberadaan kita sebagai manusia, juga sebagai bangsa. Menjawab pertanyaan yang substansial hingga asal-asalan; apakah, misalnya, kita atau sebagian dari kita adalah suku bangsa asli? Penduduk yang asli alias pribumi, sebagaimana dikategorisasi oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda dulu? Atau lebih dalam lagi, benarkah ada yang namanya ”asli” dan ”pribumi” itu?

Jawabannya jelas, dan tentu saja afirmatif, berdasarkan data sedikit terurai di atas: tidak ada! Jawaban seorang antropolog tentang hal itu bahwa yang asli itu adalah Homo wajakensis dan Homo soloensis, mungkin kini ditambah Homo floresiensis, mungkin ada benarnya. Namun, di mana mereka sekarang ini? Tinggal tulang tanpa pusara.

Yang kemudian bertahan dan ada hingga hari ini adalah manusia-manusia lanjutan missing link dari sapiens-sapiens yang punah itu yang menyerbu dari pelbagai penjuru. Selama ribuan tahun pelbagai bangsa ini saling berinteraksi, menggunakan perangkat budaya bahari (yang juga mereka ciptakan dan kembangkan) untuk menciptakan komunitas, puak, tradisi, hingga suku-suku (bangsa) baru. Lewat karakter khas bahari yang tumbuh di seantero kota pantai di ribuan pulau Nusantara, seperti egaliter, terbuka, multikultur, interkultur, akseptan, santun, dan puluhan sifat khas yang menjadi ciri bagi sebuah bandar yang maju dan kosmopolit.

Dari kehidupan kota yang kosmopolit itulah pertukaran terjadi. Bukan hanya secara ekonomis, melainkan juga secara sosial, politis, kultural, hingga spiritual. Pertukaran yang pada akhirnya memberi pengaruh bahkan menciptakan semacam identitas atau jati diri baru bagi para penghuninya. Identitas yang sesungguhnya tidak pernah dipermanensi atau didefinisikan karena kehidupan banda yang kosmopolit selalu baru, berubah dengan kedatangan orang-orang baru juga dengan identitasnya yang baru (berbeda).

Kenyataan historis dan pragmatis inilah yang kita jalani dan berani akui. Kita tidak dibentuk oleh (hanya) diri kita sendiri, tetapi juga (ternyata) oleh orang lain (liyan) juga. Ini fakta yang membuat kita bukannya justru jadi rendah diri, tetapi rendah hati dan karenanya bahagia. Sebab, di dalam diri kita tersimpan orang lain yang berbeda apa pun ciri dan sifatnya.

Maka, bineka adalah elemen-elemen yang diikat oleh kebudayaan/peradaban (bahari) hingga jadi larutan tunggal (ika), menjadi Indonesia. Inilah keniscayaan kita, orang dan bangsa Indonesia.

Katakanlah saya adalah orang Minang, Bugis, Manado, atau Sumba, bahkan China, India, Arab, yang telah beranak-pinak, puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun, sesungguhnya adalah larutan kultural itu: penduduk asli alias pribumi dari lokasi/wilayah yang ditinggalinya. Mau namanya Ucok, Otong, Tole, atau Aseng, Ahmed, dan Adigung, jika ia memilih posisi (domisili) di satu tempat—Bandung atau Jakarta, misalnya—adalah pribumi Sunda dan Betawi. Semuanya berkontribusi dalam pembentukan jati diri dan karakter dari komunitas di tempat ia menetap, termasuk dalam adat, tradisi, agama, dan seterusnya.

Pepatah Minang yang menyatakan ”dimana bumi dipijak di situ langit dijunjuang” adalah moto generik yang berlaku juga di suku-suku bangsa lain di negeri ini. Karena itu, hampir tidak ada suku bangsa di kepulauan ini yang tidak memiliki diasporanya, dalam arti warganya yang merantau untuk hidup, nyaman dan sukses di rantau, berbekal pada filosofi atau tuntunan adab seperti orang Minang itu.

Maka, jangankan orang China dan India, atau Arab dan Persia, yang begitu lama berdomisili di berbagai wilayah negeri kita, bangsa-bangsa yang lebih kemudian datang akan mau tidak mau mengikuti adat dan adab bahari di atas saat ia memutuskan untuk tinggal bahkan menjadi warga di negeri ini. Dan, begitu ia terlibat dalam kancah multikultural di tempat tinggalnya, berkontribusi ikhlas sebagaimana warga dari pelbagai suku lainnya, kita pun wajar menyebutnya: pribumi, jika istilah tetap hendak digunakan.

Jadi, tidak ada lagi tokoh yang berteriak-teriak bahwa kotanya dibanjiri pendatang (yang notabene warga dari suku bangsa lain di negerinya sendiri). Chauvinisme lokal macam itu, selain sangat menggelikan, juga jauh dari realitas historisnya sendiri. Bisa jadi yang berteriak itu sendiri ternyata juga pendatang.