Eropa
di Simpang Jalan
A Agus Sriyono ; Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan
|
KOMPAS, 25 Januari 2017
Potensi
disintegrasi Uni Eropa, menguatnya populisme kanan-ekstrem (far-right) di
Eropa, dan hubungan UE-AS pada era Presiden Donald Trump merupakan tiga
faktor determinan yang memengaruhi masa depan Eropa. Hasil referendum Kerajaan Inggris pada 23
Juni 2016 yang memilih keluar dari Uni Eropa (UE) telah menginspirasi
sejumlah partai politik di negara-negara anggota UE untuk memobilisasi
dukungan guna keluar dari UE. Partai Front Nasional di bawah Marine Le Pen
terus menyuarakan perlunya Perancis mengadakan referendum sehingga ”Frexit”
jadi sebuah kemungkinan. Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan dari
Belanda, menuduh UE merampas uang, identitas, demokrasi, dan kedaulatan
Eropa.
Sementara
itu, baik di AS maupun Eropa muncul fenomena menguatnya gerakan populis
kanan-ekstrem yang berciri ”anti-establishment” dan anti-pendatang.
Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden digambarkan sebagai kemenangan
gerakan populis di AS. Kemenangan Trump disambut baik kelompok populis
kanan-ekstrem di Eropa. Untuk menyamakan visi menghadapi pemilihan nasional
tahun ini, sejumlah tokoh partai populis kanan-ekstrem bertemu di Jerman pada
21 Januari 2017.
Faktor
determinan lain berupa kekhawatiran renggangnya hubungan UE-AS karena dipicu
pernyataan Trump sebelum dilantik: bahwa UE dan NATO sudah ketinggalan zaman,
bahkan UE dipandang tidak begitu penting bagi AS.
Prospek Uni Eropa
Selain
Inggris, sedikitnya partai politik dari tiga negara anggota UE dapat
digolongkan sebagai eurosceptics atau bahkan anti-UE. Ketiga partai tersebut
Front Nasional (Perancis) pimpinan Marine Le Pen, Partai Kebebasan (Belanda)
pimpinan Geert Wilders, dan Partai Kebebasan (Austria) pimpinan Norbert
Hofer. Meskipun partai-partai ini belum jadi kekuatan politik utama, dukungan
masyarakat terus meningkat.
Bagi
Inggris, keputusan keluar dari UE membuka peluang Skotlandia menuntut
referendum kedua untuk tetap atau keluar dari United Kingdom. Alasannya,
mayoritas rakyat Skotlandia (62 persen) tetap ingin bergabung dalam UE,
sementara Inggris keluar dari UE. Setidaknya, Pemerintah Skotlandia berharap
tetap jadi anggota pasar tunggal walaupun Inggris tak lagi menjadi anggota.
Dengan demikian, secara internal Inggris dihadapkan pada potensi disintegrasi
nasional dan pada tataran regional harus menghadapi negara-negara anggota UE
yang pro-integrasi.
Segera
setelah diumumkan hasil referendum di Inggris, Marine Le Pen senantiasa
menyerukan referendum tentang keanggotaan Perancis pada UE. Ia meyakini
”Brexit” akan punya efek-domino.
Meskipun
mayoritas negara anggota saat ini tetap ingin bergabung dalam UE, realitas
menunjukkan sejumlah pihak berpandangan sebaliknya. Para pendukung UE berpendapat
organisasi ini berhasil menciptakan stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan
bangsa Eropa selama enam dasawarsa. Pemerintah Jerman di bawah Kanselir
Angela Merkel yakin keberadaan UE masih sangat diperlukan dan kerja sama
Transatlantik juga penting bagi Eropa. Bagaimanapun nasib UE ditentukan oleh
anggotanya dan bukan AS.
Populisme
muncul sebagai reaksi atas krisis keuangan global 2007-2009. Menurut John B
Judis dalam buku The Populist Explosion (2016), populisme bisa menginspirasi
baik partai politik sayap kanan, tengah, maupun kiri. Di Eropa, partai
politik populis terdapat di Perancis, Swedia, Norwegia, Finlandia, Denmark,
Austria, Yunani, Italia, Spanyol, dan Swiss. Meskipun tersebar di banyak
negara, sejauh ini partai populis belum dominan dalam pemerintahan.
Secara
lebih spesifik, program partai politik di Eropa yang populis didasarkan pada
sikap anti-globalisasi, anti-kemapanan, anti-UE, anti-imigrasi, dan
anti-Islam. Namun, tidak berarti sebuah partai politik mendasarkan programnya
pada keseluruhan sikap tersebut. Partai Alternatif Jerman, misalnya, tidak
mengusung slogan anti-UE dan anti-globalisasi. Di pihak lain, Partai
Kebebasan dari Austria posisi dasarnya mencakup kelima sikap tersebut.
Menjadi
pertanyaan, kapan rakyat memberikan dukungan kepada partai-partai populis?
Ketika permasalahan kesenjangan ekonomi mengemuka, aksi terorisme berlanjut,
dan masalah migran tidak teratasi, dukungan terhadap partai-partai populis
akan meningkat. Sebaliknya, apabila pertumbuhan ekonomi dibarengi pemerataan,
keamanan rakyat terjamin, dan masalah migran dikelola dengan baik, niscaya
partai-partai populis tidak akan mendapat dukungan. Hasil pemilihan umum di
Perancis, Jerman, dan Belanda tahun ini akan memberi gambaran lebih jelas
tentang masa depan Eropa.
Hubungan UE-AS
Sebagian
pengamat menilai, terpilihnya Donald Trump menimbulkan kekhawatiran
memburuknya hubungan UE-AS. Clemens Wergin dalam harian The New York Times
(11/11/16) menulis, ”Terpilihnya Presiden Trump menimbulkan risiko strategik
dan sistemik bagi hubungan UE-AS”. Sulit dimungkiri, pandangan Presiden Trump
sejalan dengan kelompok kanan-ekstrem di Eropa yang anti- globalisasi dan
anti-perdagangan internasional. Persoalannya, saat ini sebagian besar
pemerintahan negara-negara Eropa dikuasai partai sayap kiri, tengah, dan
kanan-moderat sehingga polarisasi UE-AS bisa terjadi.
Sikap
kritis Trump terhadap UE dan NATO yang dibarengi hasrat kuat untuk menjalin
hubungan dengan Rusia menimbulkan dugaan Eropa akan berhadapan dengan aliansi
AS-Rusia. Apabila hal ini terjadi, besar kemungkinan AS dan Rusia akan
mendukung pencalonan Le Pen sebagai presiden dalam pemilihan nasional tahun
ini. Sebaliknya, kedua negara ini tidak akan mendukung Merkel dari Partai
Kristen Demokrat yang akan bertarung dalam pemilihan nasional September 2017.
Pandangan
politik Merkel jelas berseberangan dengan Trump. Ketika menyampaikan selamat
atas kemenangan Trump, Merkel mengingatkan kesamaan nilai-nilai Jerman dan
AS: demokrasi, kebebasan, penghormatan terhadap hukum dan martabat
kemanusiaan, serta menghargai perbedaan atas dasar warna kulit, agama,
jender, orientasi seksual, dan pandangan politik. Dengan kata lain,
nilai-nilai yang dijunjung Merkel bersifat liberal-kosmopolitan, sementara
Trump menekankan populisme dan nasionalisme.
Mencermati
pemikiran di atas, dapat disimpulkan Eropa saat ini dihadapkan pada pilihan
yang sulit. Pertama, antara mempertahankan integrasi UE yang sudah dibangun
lebih dari enam dasawarsa atau pecah jadi negara-bangsa yang mandiri, masing-masing
dengan implikasinya. Kedua, apabila pertentangan politik antara kaum populis
kanan-ekstrem melawan sayap kiri, tengah, dan kanan-moderat menguat, Eropa
akan dihadapkan pada destabilitas politik. Ketiga, jika hubungan UE-AS tak
diperbaiki kembali, bukan tak mungkin UE akan berhadapan dengan AS sebagai
kompetitor yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar