Masalah
Labelisasi Agama
M Zainuddin ;
Dosen Sosiologi Agama pada UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang dan Wakil Rektor bidang Akademik dan Pengembangan
Lembaga
|
JAWA
POS, 23
Januari 2017
TULISAN
Mukhijab di harian ini (Jawa Pos, 19/1) menyoal labelisasi Islam. Ada dua
pertanyaan penting yang diajukan oleh penulis dalam hal ini. Pertama, apakah
kelompok Islam yang terlibat aksi masal menuntut keadilan dalam kasus
penistaan agama digolongkan Islam radikal? Kedua, apakah segelintir orang
yang ditangkap atas dugaan terlibat terorisme juga merepresentasikan gerakan
Islam radikal?
Fundamentalisme Agama
Runtuhnya
komunisme di Eropa Barat dan terkoyaknya ideologi Marxis di Uni Soviet pada
1990-an telah memunculkan spekulasi tentang ”musuh baru yang bakal dihadapi
Amerika”. Kekuatan ideologi apa yang akan menjadi penghalang bagi tegaknya
demokrasi liberal di negara-negara Barat menuju pembangunan global?
Jawabannya ternyata fundamentalisme agama.
Fundamentalisme
–yang identik dengan radikalisme agama– merupakan gejala keagamaan yang lahir
dari semua agama. Karena itu, dikenal istilah fundamentalisme Islam,
fundamentalisme Hindu, fundamentalisme Kristen, dan seterusnya.
Fundamentalisme adalah paham yang berjuang untuk menegakkan lagi norma-norma
dan keyakinan agama tradisional guna menghadapi sekularisme.
Dalam
perspektif Islam, fundamentalisme diartikan sebagai paham untuk
mempertahankan ajaran dasar yang sebenarnya, seperti yang dilakukan Ahmad bin
Hanbal, Ibn Taimiyah yang bermaksud ingin ”memurnikan” ajaran Islam dari
takhayul, khurafat, dan bidah. Tetapi, perkembangan lebih lanjut kelompok
fundamentalisme berkonotasi minor dan sangat peyoratif, bahkan dianggap
sebagai kelompok garis keras yang dikaitkan dengan gerakan revolusi seperti
Wahabi di Arab Saudi, Khomeini di Iran, serta Hasan Al Banna dan Sayyid Qutb
di Mesir (Martin, 1992: 1).
Fundamentalisme
Islam populer di kalangan Barat setelah terjadinya revolusi Iran pada 1979.
Menurut E. Marty (1999), ada dua prinsip fundamentalisme. Pertama, prinsip
perlawanan (opposition) terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan
eksistensi agama, khususnya modernisme, sekularisme, maupun westernisasi.
Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kelompok itu menolak sikap kritis
terhadap teks dan interpretasinya. Teks harus dipahami karena nalar dianggap
gagal memberikan interpretasi yang tepat. Kelompok itu juga disebut
tekstualis skripturalis.
Senada
dengan penjelasan itu, Riaz Hassan (2006: 115) dan Watt juga mengemukakan
bahwa fundamentalisme Islam menganggap identitas mereka berada dalam bahaya
serta terkikis hibriditas budaya dan agama. Mereka mempertahankan penafsiran,
doktrin, keyakinan, dan praktik masa lalu yang suci. Bagi mereka, modernitas
dan globalisasi yang menjadi ciri dunia merupakan ancaman serius bagi
pandangan dunia tradisional. Mereka merasa bahwa identitas mereka dikikis
budaya Barat dan akan memperburuk masyarakat Islam.
Kelompok
fundamentalis menegaskan, di negara muslim, tingkatan kaum nonmuslim mesti
diturunkan. Dengan begitu, status mereka lebih rendah di hadapan kaum muslim.
Misalnya, kaum nonmuslim tidak diperbolehkan mendirikan bangunan gereja atau
sinagoge yang lebih tinggi daripada masjid, Mereka harus dinomorduakan dari
orang muslim dalam semua kegiatan sosial sehari-hari. Termasuk, orang muslim
dilarang untuk mengawali salam damai kepada nonmuslim. Premis yang memotivasi
mereka, Islam harus menguasai dan mendominasi.
Bersandar
pada beberapa karya ahli hukum klasik, fundamentalis getol memperjuangkan
teologi al wala’ wa al bara’ (doktrin loyalitas dan pemisahan). Artinya, kaum
muslim hanya wajib peduli dan berinteraksi dengan umat Islam. Kaum muslim
diperbolehkan minta bantuan nonmuslim hanya jika lemah dan membutuhkan. Umat
Islam tidak boleh bersahabat dengan kaum nonmuslim maupun membiarkan diri
mereka peduli atau mencintai kaum nonmuslim.
Kenapa
gerakan fundamentalisme agama selalu dikaitkan dengan kekerasan dan
pemberontakan? Karena dalam upaya mewujudkan cita-citanya, gerakan itu tidak
jarang menempuh jalan kekerasan, bahkan pertumpahan darah. Sebab, ada
pemahaman dan keyakinan yang mendasari ”ajaran” agama tersebut yang dianggap
paling benar (normatif-ideologis). Keyakinan itu berlaku kepada semua sekte
agama, baik Islam (Sunni dan Syiah), Yahudi, Katolik, maupun lainnya.
Gerakan
yang berada dalam negara agamais (seperti Iran, Sri Lanka, Afghanistan,
Lebanon, Arab Saudi, Kuwait, dan UEA), menurut E. Marty, bersifat
revolusioner dan bertujuan mengusir hegemoni asing yang akan berlangsung
lama. Sebaliknya di negara-negara sekuler (seperti AS dan negara-negara
Eropa), bertujuan mengubah kebijakan pemerintah. Di samping memiliki potensi
besar terhadap gerakan revolusi, fundamentalisme agama punya potensi konflik
antaragama, bahkan intern agama. Lihat saja, misalnya, konflik antara
kelompok Hizbullah dan Amal di Lebanon, Syiah dan Sunni, Hindu dan Buddha di
Sri Lanka, serta Yahudi dan Kristen di Israel.
Kelompok
fundamentalis selalu resistan terhadap sekularisme. Namun, ironisnya, ketika
sudah berhasil memenangkan aksinya, mereka tidak dapat melepaskan diri dari
sekularisme tersebut. Hal itu dapat dilihat di Iran dan Sri Lanka. Bahkan di
Sri Lanka, Afghanistan, dan Iran, para pemimpin kelompok fundamentalis telah
akrab dengan produk sekuler dan doktrin Marxis.
Perlu Redefinisi
Istilah
fundamentalisme kini lebih sederhana diberikan orang. Asal ada aksi yang
mengatasnamakan agama secara formal, kelompok tersebut dianggap sebagai
fundamentalis, radikalis, garis keras, bahkan ekstremis.
Muhammad
Arkoun (dalam Jauhari, 1999) menggunakan dua istilah baru: Islamawy atau
Islamawiyah untuk Islamisme dan ushulawy atau ushulawiyah untuk
fundamentalisme. Islamawy/Islamawiyah bermakna penggunaan keyakinan atau
pandangan pemikiran secara berlebihan. Adapun istilah Islamy (tanpa w)
bermakna adanya kesederhanaan sikap yang tetap fleksibel dan inklusif dalam
aspek pemikiran dan intelektualitas. Menurut Arkoun, pejuang
Islamawy/Islamawiyah menggunakan ungkapan secara leksikal/harfiah untuk
tujuan politisnya dan mengambil unsur dari sana-sini untuk mempermainkan
imajiner politis para pejuang yang bertujuan memobilisasi rakyat. Seperti
juga istilah Islamy, istilah Ushuly, menurut Arkoun, mengacu pada sesuatu
yang positif dan mendorong kita pada sejarah pemikiran Islam di saat
munculnya literatur ushul: Ushul Ad Din dan Ushul Al Fiqh. Wacana Islamawy
menggunakan jenis pemikiran yang semaunya atau melakukan distorsi.
Karena
itu, istilah fundamentalisme atau radikalisme, menurut penulis, justru harus
dibongkar atau didefinisikan ulang (redefined). Penamaan sebuah gerakan Islam
yang tidak tepat justru akan berakibat fatal terhadap Islam itu sendiri.
Fundamentalisme Islam yang selama ini dikaitkan dengan gerakan kekerasan atau
pemberontakan adalah kekeliruan besar dan mereduksi nilai Islam itu sendiri.
Menurut
penulis, istilah fundamentalisme dan radikalisme lebih tepat jika diberikan
kepada para pemikir Islam yang memiliki pemikiran keislaman yang mendasar
(fundamental) dan mendalam (radix), bukan sekelompok orang yang secara
intelektual keislaman belum dikenal dan belum menguasai banyak khazanah Islam
klasik. Pemikiran fundamentalis lebih identik dengan pemikiran substansialis.
Wallahu a'lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar