Sabtu, 06 Januari 2018

Kebijakan Energi dan Ancaman Stabilitas Ekonomi

Kebijakan Energi dan Ancaman Stabilitas Ekonomi
Kusfiardi ;  Analis Ekonomi Politik
                                               KORAN SINDO, 30 Desember 2017



                                                           
Pada bulan November 2014 silam, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinaikkan maka inflasi secara umum menjadi 1,5% (mtm), inflasi harga yang diatur pemerintah (adminis tered prices) mencapai 4,2% (mtm).

Pada 2017 pemerintah mem berlakukan kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) kapasitas 900 volt ampere. Dengan tahapan kenaikan TDL per dua bulan, bisa jadi akan berbarengan dengan kenaikan BBM. Kenaikan harga BBM ini berkaitan dengan harga minyak dunia yang cenderung terus mengalami peningkatan di atas US$50 per barel.

Kenaikan TDL, apalagi di barengi kenaikan harga BBM, akan memberi dampak negatif buat rakyat. Dampak yang paling terasa dialami rakyat adalah menurunnya daya beli. Pada sisi yang lain, kenaikan tersebut men dorong tingginya laju inflasi. Kenaikan angka inflasi akan men dorong otoritas moneter menggunakan kenaikan suku bunga. Instrumen kebijakan ter sebut untuk mengendalikan inf lasi agar tak semakin membubung tinggi.

Nah, dengan konfigurasi ma salah kenaikan TDL, BBM, inflasi dan suku bunga, efeknya akan meluas ke mana-mana. Melemahnya daya beli karena uang yang di kantong rakyat terkuras untuk konsumsi energi, tak cukup memadai untuk pemenuhan konsumsi lain.

Dari sinilah kemudian konsumsi jadi menurun. Penurunan konsumsi saja menimbulkan rentetan efek negatif dalam perekonomian nasional. Penjualan yang menurun akan diikuti menurunnya ke untungan usaha. Praktis pajak dari penjualan dan penghasilan juga bisa ikut turun. Dengan demikian, penerimaan pajak juga bisa menurun. Lalu, meningkatnya inflasi tentu akan membuat harga ikut naik. Instrumen menaikkan suku bunga, sebagai pengendali inflasi, justru memberi dampak lebih serius lagi.

Tingkat suku bunga pinjaman bank juga akan terkerek naik. Akibatnya biaya pinjaman menjadi mahal. Di tengah melemahnya daya beli, membuat pinjaman bank un tuk menjalankan usaha menjadi tidak menarik. Praktis pertumbuhan usaha baru dan pengembangan usaha yang sudah ada tidak berjalan. Bisa jadi stagnan–kalaupun tidak menurun akibat gulung tikar.

Dengan demikian, sektor pro duktif nasional mengalami pu kulan. Bagi perusahaan besar, untuk menyiasati mahalnya pinjaman di perbankan nasional mereka akan melirik pinjaman luar negeri. Alasannya, pinjaman luar negeri lebih rendah bunganya sehingga dianggap lebih murah.

Di sisi lain, meningkatnya pinjaman luar negeri swasta membuat beban utang secara nasional makin bengkak. Selain itu, kebutuhan akan ketersediaan devisa juga makin besar untuk memenuhi cicilan dan bunga saat jatuh tempo. Besarnya kebutuhan devisa, mata uang asing, berpotensi membuat mata uang rupiah nilai tukarnya merosot.

Apalagi jika diakumulasikan dengan kewajiban utang pemerintah dan kebutuhan impor energi yang jumlahnya tidak sedikit. Potensi rupiah melemah makin besar. Bila nilai tukar melemah secara signifikan, dampaknya bisa mengguncang stabilitas perekonomian.

Kita sudah meng alaminya pada tahun 1998 lalu. Semoga tahun depan rezim ini cukup punya kemampuan dalam formulasi kebijakan energi nasional. Kemampuan untuk menelurkan kebijakan energi yang terintegrasi dan memberi dorongan positif terhadap perekonomian nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar