Merawat
Potensi Dalam Negeri
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 23 Januari 2017
Sepanjang
2016, stabilitas politik Tanah Air kondusif. Hubungan eksekutif dan
legislatif sudah mencair. Sebagian partai besar memberikan dukungan penuh
kepada pemerintah, tak terkecuali Partai Golkar. Namun, menjelang berakhirnya
2016, kondisi tiba-tiba kembali menghangat.
Selain
menyeruaknya isu suku, agama ras, dan antar-golongan (SARA), ada juga
aspirasi dari sejumlah konfederasi buruh. Isu tenaga kerja ilegal dari
Tiongkok tak ketinggalan menjadi bahan pemberitaan. Bahkan, memasuki 2017,
beberapa elemen mahasiswa turun ke jalan, dipicu oleh kado tahun baru
pemerintah, memprotes kebijakan kenaikan biaya perpanjangan pengurusan surat
tanda nomor kendaraan (STNK) bermotor dan buku pemilik kendaraan bermotor
(BPKB) yang membebani masyarakat.
Situasi
tersebut menjadi kekhawatiran para pelaku usaha dan pebisnis. Sampai akhir
2016, perkembangan bisnis masih lesu. Kinerja sektor riil dan pertumbuhan
investasi masih terbatas. Pada triwulan III-2016, pertumbuhan investasi
kembali menurun hanya di kisaran 5 persen. Demikian juga pertumbuhan
penjualan ritel dan penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh di kisaran 6-7 persen.
Inflasi rendah, yakni 3,02 persen, ternyata belum mampu mendongkrak daya beli
masyarakat.
Kekhawatiran
dunia usaha itu beralasan. Di tengah kondisi politik yang stabil sampai
triwulan III-2016 saja perekonomian menghadapi tantangan berat. Sekalipun
sudah selusin paket stimulus dikeluarkan, realisasi pertumbuhan investasi
stagnan, terutama industri manufaktur hanya di kisaran 4,5 persen.
Realisasinya tak sampai 40 persen dari persetujuan Badan Koordinasi Penanaman
Modal. Implementasi berbagai komitmen deregulasi dan debirokratisasi masih
berbenturan dengan ego sektoral kementerian teknis dan kepentingan daerah.
Demikian
juga dengan percepatan pembangunan infrastruktur yang masih terkendala
ketersediaan anggaran. Beberapa proyek infrastruktur yang sudah mulai
berjalan belum mampu meningkatkan keyakinan dunia usaha untuk berekspansi
secara signifikan. Hal ini dapat dipahami karena pembangunan infrastruktur
tidak bisa langsung berimplikasi dalam jangka pendek. Jadi, wajar jika para
pelaku usaha tetap mengeluhkan tingginya biaya logistik dan belum menikmati
peningkatan ketersediaan dan perbaikan kualitas infrastruktur dasar.
Artinya,
tantangan ekonomi yang menghadang pada 2017 ini masih sangat besar. Jika
diperberat lagi dengan konflik di dalam negeri, sektor riil akan makin sulit.
Karena itu, harus segera ada solusi fundamental terhadap pemicu terjadinya
konflik tersebut. Jika percikan-percikan kecil tersebut dibiarkan, dianggap
remeh, dan tidak direspons secara proporsional, potensinya mudah meluas. Potensi
konflik horizontal dapat terjadi dan tidak dapat dihindari. Padahal,
prasyarat utama menarik minat investor adalah terjaganya iklim investasi.
Investasi diperlukan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja, mengatasi
kemiskinan, dan kesenjangan. Bisa jadi, tiga masalah ini adalah sumber utama
terjadinya potensi konflik di dalam negeri.
Merujuk kondisi AS
Pidato
pertama presiden ke-45 Amerika Serikat, Donald Trump, bisa menjadi inspirasi
bagi Indonesia dalam menyelesaikan masalah tersebut. Trump berkomitmen
menempatkan kepentingan dalam negeri AS sebagai yang pertama (America first).
Tekadnya untuk membangun jembatan, terowongan, jalan, jembatan layang adalah
untuk memperluas kesempatan kerja dan memperkuat daya beli masyarakat.
Pemerintahnya berjanji akan membawa kesejahteraan dan mengembalikan kekuatan
AS.
Trump
akan menerapkan kebijakan ekonomi yang mendahulukan kepentingan nasional dan
kepentingan warga negara AS, termasuk kebijakan yang bersifat protektif. Hal
itu dimaksudkan agar masyarakat memilih dan membeli produk AS (buy American)
sehingga mampu mempekerjakan warga Amerika (hire American). Semangat
patriotisme dengan slogan ”Make America Great Again” tersebut menyihir publik
dan mengantarkan Trump mengungguli Hillary Clinton. Menjadikan ”Amerika Hebat
Kembali” dapat dipahami bahwa pemerintah berusaha mendengar suara dan problem
yang dihadapi masyarakat. Kebijakan ekonomi akan difokuskan untuk
mendahulukan kepentingan nasional dan kepentingan warga negara AS.
Padahal,
ekonomi AS memiliki derajat keterbukaan terhadap ekonomi global yang sangat
besar, baik dari sisi investasi maupun perdagangan internasional. Sementara
sumber pertumbuhan ekonomi terbesar Indonesia ada di dalam negeri, tecermin
dari kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 54 persen terhadap produk
domestik bruto. Belum lagi kekuatan investasi juga ada di dalam negeri karena
80 persen produksi masih berorientasi pasar dalam negeri.
Apalagi,
struktur usaha yang 99 persen ditempati usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) serta koperasi. Jadi jelas, jika pemerintah mampu memfasilitasi
potensi UMKM, produktivitas nasional bisa optimal. UMKM akan mampu menyuplai
kebutuhan dalam negeri dan berperan sebagai substitusi impor. UMKM sudah
pasti akan lebih banyak menyerap tenaga kerja lokal sehingga sekaligus
meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar