Diplomasi
Membumi
Darmansjah Djumala ; Diplomat
|
KOMPAS, 25 Januari 2017
Diplomasi,
sebagai pelaksanaan politik luar negeri dalam tataran praksis, dapat
dilakukan dalam kerangka bilateral dan multilateral. Diplomasi bilateral
diselenggarakan dalam hubungan dua negara, diplomasi multilateral dengan
banyak negara dalam forum internasional.
Dalam
menilai kinerja kedua jenis diplomasi ini, publik—bahkan kalangan
diplomat—terjebak dalam dikotomi: hasil diplomasi bilateral itu konkret,
diplomasi multilateral tidak konkret.
Diplomasi
bilateral itu membumi: hasilnya dapat dinikmati rakyat karena mampu
meningkatkan perdagangan, investasi dan, pariwisata. Sebaliknya, diplomasi
multilateral mengawang-awang: hasilnya hanya kesepakatan umum terkait kebijakan
(policy) dan peraturan (norm/rule).
Terlepas
dari dikotomi ini, muncul pertanyaan terkait kinerja diplomasi: apakah
diplomasi RI selama dua tahun terakhir ini membumi dalam arti memberi manfaat
bagi rakyat?
Pertanyaan
ini penting jika dikaitkan dengan pernyataan Menteri Luar NegeriRetno Marsudi
di awal masa jabatannya: bahwa diplomasi RI harus berorientasi rakyat dan
tidak berjarak dengan rakyat. Singkat kata, diplomasi harus membumi.
Meneteskan berkah
Apabila
ukurannya adalah”manfaat bagi rakyat”, diplomasi ekonomidipersepsikan mampu
meneteskan berkah dan dampak positifbagi rakyat. Pilihan diplomasi ekonomi
sejalan dengan kebijakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang pro rakyat.
Dengan
demikian, diplomasi dan politik luar negeri Indonesia semestinya berorientasi
rakyat. Untuk mengukurnya, kembali pada dua aras diplomasi: bilateral dan
multilateral.
Dalam
tataran bilateral, diplomasi biasanya dilaksanakan di tiga bidang utama:
perdagangan, pariwisata, dan investasi (trade, tourism, investment/TTI).
Selama 2016 diplomasi ekonomi mampu menggalang partisipasi 125 negara di
Trade Expo Indonesia, membukukan transaksi dagang 974,76 juta dollar AS dan
31 kontrak dagang bernilai 200 juta dollar AS.
Pencapaian
itu dapat digolongkan sebagai diplomasi membumi, manfaatnya bisa dirasakan
langsung oleh rakyat. Diplomat Indonesia juga berperan sebagai matchmaker
dalam bidang TTI dengan mempertemukan pengusaha setempat dengan pengusaha
Indonesia dan menjawab inquiry peluang usaha dan kerja sama bisnis di kedua
negara.
Terkait
peran matchmaker, selama 2016 Kelompok Kerja (Pokja) Diplomasi Ekonomi
Kementerian Luar Negeri dan perwakilan Indonesia di luar negeri memfasilitasi
lebih dari 35.000 pengusaha untuk kerja sama bisnis dengan potensi transaksi
30 miliar dollar AS. Jika kerja sama bisnis jalan, tercipta investasi dan
lapangan kerja di Indonesia. Jadilah diplomasi membumi.
Sebagai
ujung tombak diplomasi, perwakilan Indonesia di luar negeri tidak saja aktif
menarik investasi asing, tetapi juga mendorong produk Indonesia menembus
pasar internasional. Misalnya, keberhasilan PT INKA mengekspor 150 gerbong
kereta api senilai 72,3 juta dollar AS, ekspor pesawat CN 235 produksi PT
Dirgantara Indonesia ke Senegal dan Thailand, pembangunan pabrik mi instan di
Serbia untuk konsumsi Eropa senilai 11 juta euro.
Sesungguhnya
itulah diplomasi membumi. Pencapaian diplomasi ekonomi di kehutanan terjadi
pada akhir 2016 ketika Indonesia menjadi negara pertama yang memperoleh
sertifikasi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) dari Uni
Eropa untuk produk kayu Indonesia.
Sertifikasi
meningkatkan daya saing dan ekspor produk kayu Indonesia ke Uni Eropa.
Terjadi ekspansi korporasi yangdapat menambah lapangan kerja. Manfaatnya bagi
rakyat kasatmata.
Diplomasi
membumi juga menyentuh aspek sosial-kemanusiaan. Kemlu dengan jajaran mesin
diplomasinya membebaskan 29 WNI dari penyanderaan dan 71 dari hukuman mati,
menyelesaikan 11.065 kasus hukum dan menyelamatkan 399 orang korban
perdagangan manusia. Tahun lalu Kemlu juga memfasilitasi pemulangan 41.569
WNI, membantu 512 anak buah kapal (ABK), serta mengembalikan dana dari diyat,
asuransi, dan gaji yang tak dibayarkan kepada WNI dengan nilai lebih dari Rp
92 miliar.
Dengan
takaran manfaat bagi rakyat, perlindungan WNI yang digerakkan oleh mesin
diplomasi ini dapat digolongkan sebagai diplomasi membumi.
Multilateral membumi
Dalam
tataran multilateral, diplomasi membumi pun dapat diwujudkan. Untuk itu,
Indonesia harus cerdas memilih: di forum multilateral mana diplomasi
Indonesiadigenjot agar memberi manfaat langsung bagi rakyat dan pembangunan
nasional.
Umum
mempersepsikan forum multilateral, seperti PBB, tak lebih sebagai ajang
debat. Padahal, sejatinya diplomasi multilateral tak melulu perdebatan konsep
kebijakan. Dalam banyak hal, forum multilateral menyediakan skema bantuan
capacity building yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Misal, lembaga
pembangunan PBB seperti Program Pembangunan PBB (UNDP), banyak menyalurkan
bantuan untuk mengentaskan orang miskin dan penguatan kapasitas kelembagaan
yang berbasis masyarakat.
Contoh
lain adalah Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), lembaga multilateral yang
menangani isu nuklir dunia, terutama untuk tujuan damai. Dengan mandat
seperti itu, awam sering mengasosiasikan IAEA dengan isu nuklir Iran atau
Korea Utara yang dinilai tak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Padahal, IAEAbisa bermanfaat langsung bagi rakyat melalui program pemanfaatan
nuklir di bidang kesehatan, pertanian, energi dan industri.
Di
bidang pertanian, misalnya, Indonesia memanfaatkan kerja sama dengan badan
atom ini untuk merekayasa bibit unggul yang tahan hama. Tatkala program
lembaga multilateral dapat memberi manfaat langsung bagi petani, pada titik
itulah diplomasi multilateral menunjukkan karakter membuminya.
Jika
diukur, diplomasi multilateral mengindikasikan manfaat signifikan. Dengan
membandingkan nilai kontribusi pada IAEA tahun 2015 (180.000 dollar AS) dan
bantuan yang diperoleh dari program badan tersebut (848.818 dollar AS),
Indonesia menerima manfaat empat kali lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan.
Dengan
demikian, diplomasi membumi pada hakikatnya bisa dilakukan dalam tataran
bilateral maupun multilateral. Diplomasi membumi aras bilateral efektif
diterapkan dalam bidang ekonomi dan sosial-kemanusiaan. Dalam forum
multilateral, prioritas pada pemanfaatan program capacity building dan
pembangunan bidang sosial, kesehatan, dan pertanian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar