Minggu, 18 September 2022

 

Catatan Pinggir

Belajar Keberagaman dan Kekuatan dari Pohon Hyperion

Goenawan Mohamad  :  Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

POHON redwood itu kini mungkin berumur 800 tahun—tak kenal apa arti “tua”. Juga tak peduli apa itu “tinggi”. Ia diberi nama “Hyperion”, menjulang hampir 116 meter, jauh melebihi puncak Statue of Liberty. Terlindung di wilayah hutan pantai California ia tak tersaingi: ia pokok Sequoia sempervirens paling jangkung di muka bumi. Orang dilarang mendekat.

 

“Pohon—wujud vertikal yang paling angkuh di alam yang hidup,” tulis Emmanuel Levinas dalam Carnets de captivité.

 

Siapa saja bisa keliru, juga Emmanuel Levinas, filosof Prancis ternama itu, tentang pohon-pohon. Dan tentang Hyperion. Mungkin karena Levinas merenungkannya dari selnya yang keras di rumah tahanan militer Stalag XI-B di dekat Bergen-Belsten, Jerman, ketika ia, sebagai tentara Prancis, tertangkap di tengah Perang Dunia II.

 

Kalimat di atas ditemukan di antara corat-coret dari tahun 1937 sampai 1950, di buku catatannya yang diterbitkan orang setelah ia meninggal.

 

Saya tak tahu apakah Levinas tak suka pepohonan. Yang saya tahu ia—penganjur sikap ethis yang memuliakan liyan—tak menyukai manusia yang hanya merawat “aku-dan-aku-dan-aku…”.

 

Bagi saya, filsafatnya menggugah, tapi kiasannya meleset. Ia melihat analogi pohon dengan manusia, atau individu, yang egosentris. Dalam sebuah tulisan ia pernah bertanya: “Apa sebenarnya seorang individu, seorang individu yang bersendiri, kalau bukan sebatang pohon yang tumbuh, tanpa memandang semua yang ditekan dan dipatahkannya, [seraya] merebut semua makanan, udara dan matahari…?”

 

Levinas merumuskannya lebih tajam: “Apa arti seorang individu kalau bukan perampas? Qu’est-ce qu’un individu sinon un usurpateur?”

 

Tapi pohon, juga Hyperion yang tinggi dan tua, tak merampas. Ia memang butuh energi dari matahari, carbon dioxide, dan nutrisi dari tanah. Ia butuh air dari bumi di bawah bongkotnya, yang dihirup akarnya ke atas—melawan gravitasi—merasuki dan melalui batang.

 

Memang, ilmu tumbuh-tumbuhan mengenal interaksi antartanaman yang disebut “alelopati”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, allilon- (αλλήλων) dan pathy (πάθη)—“saling melukai”, “saling menderita”—istilah yang pertama kali diperkenalkan pada 1937 buat menggambarkan interaksi biokimiawi yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman lain.

 

Seorang botanolog menunjukkan kepada saya, juga di zaman dahulu, di Tiongkok, di awal tarikh Masehi, ada sebuah buku, Shennong Ben Cao Jing, yang menggambarkan 267 tumbuh-tumbuhan yang berdaya pestisida, termasuk yang punya dampak alelopatis.

 

Mereka mengeluarkan senyawa yang disebut “alelokimia”. Saya pernah ikut membantu ramai-ramai mengubah sebuah hutan di sekitar Gunung Gede agar lebih bisa ditumbuhi tanaman yang beragam—dengan hasil kopi Sarongge yang nikmat—setelah bertahun-tahun jadi hutan industri yang dipadati pohon-pohon ekaliptus, sejenis tetumbuhan alelopati yang akhirnya seakan-akan memonopoli lahan.

 

Tapi tak semua tanaman bersifat alelopatis. Di dunia, monopoli pada akhirnya sebuah kuasa yang tak lengkap. Ia semacam pemaksaan, ia kekerasan yang akan mengucilkan diri sendiri. Izinkan saya mengutip Levinas lagi: “Kekerasan adalah sebuah kedaulatan (une souveraineté) tapi juga kesendirian.”

 

Dalam pengalaman, terutama pengalaman dengan hutan tropis, pohon-pohon hidup dalam gerombolan. Juga Hyperion. Ia bukan wujud vertikal yang angkuh, bukan kejangkungan yang tumbuh dengan menekan dan mematahkan. Ia tak cocok untuk jadi perumpamaan Levinas, yang digubahnya di sebuah sel penjara di masa perang di negeri dingin. Hyperion tak hidup dalam sebuah lingkungan tempat makhluk hanya ada karena saling mengalahkan. Sejarahnya yang tua bukan mengurung atau dikurung orang lain.

 

Orang lain: kapitalisme yang melembagakan rasa iri dan melecut jorjoran, demikian juga politik identitas yang meramaikan paranoia, telah membuat pengertian “orang lain” bukan lagi liyan, melainkan obyek yang akan ditangkap dan ditaklukkan subyek. Padahal liyan dalam bahasa Jawa berarti “yang bukan-aku” tetapi ia bagaimanapun juga “sesama”, bagian dari “kami” dan “kita”.

 

Seorang theoritikus fisika kuantum yang terkenal, Carlo Rovelli, mengemukakan sesuatu yang selama ini dilupakan, ketika orang berdebat apakah dalam ilmu fisika baru itu benar ada “realitas” yang obyektif di luar kita. Padahal “realitas”, kata Rovelli, “bukanlah satu koleksi benda dan hal ihwal, melainkan satu jaringan proses”.

 

Misalkan sebuah cangkir teh warna biru. “Biru” bukanlah milik asal si cangkir. Warna—biru atau merah—terjadi dalam otak kita sebagai akibat struktur penerima di retina mata kita dan sebagai hasil interaksi antara cahaya siang dan permukaan cangkir itu. Bahkan atom-atom yang membentuk cangkir itu bukan elemen yang saling terlepas dan mandiri.

 

Theori kuantum menunjukkan, kata Rovelli, atom-atom itu didefinisikan oleh interaksi fisik mereka dengan isi dunia selebihnya. Kita memahami realitas secara lebih baik, kata Rovelli pula, dalam pengertian sebagai interaksi, bukan sebagai individu-individu.

 

Artinya, Hyperion, pohon paling tinggi di muka bumi, tak sendiri. Keangkuhan adalah buah khayalan. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166961/belajar-keberagaman-dan-kekuatan-dari-pohon-hyperion

 

 

Wawancara Suciwati Soal Penanganan Pembunuhan Munir Said Thalib

Abdul Manan :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

KASUS pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib memasuki tahun ke-18 pada September ini. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu meninggal karena diracun dengan arsenik dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-947 dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004.

 

Pegawai dan petinggi Garuda serta pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) dituduh terlibat dalam pembunuhan itu dan kemudian diadili. Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, divonis bersalah sebagai pelaku peracunan dan diganjar hukuman 14 tahun penjara. Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan juga dihukum 1 tahun penjara karena membantu menjadikan Pollycarpus penumpang dalam pesawat tersebut.

 

Satu-satunya petinggi BIN yang diadili dalam kasus ini adalah Deputi V Bidang Penggalangan Muchdi Purwopranjono. Bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini diduga sebagai pemberi perintah kepada Pollycarpus. Dalam sidang pada 31 Desember 2008, hakim Suharto membebaskan Muchdi karena menilainya tidak terbukti terlibat.

 

Suciwati, istri Munir, mengaku kecewa atas proses hukum kasus ini. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) lalu dibentuk guna mengadvokasi kasus Munir. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, ada sejumlah petinggi BIN yang disebut terlibat tapi tidak diproses hukum. Kejaksaan Agung juga tak mengajukan permintaan kasasi atas putusan bebas Muchdi, meskipun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan pengadilan diulang.

 

Advokasi kasus kematian Munir ini sangat panjang dan melelahkan. Suciwati menuangkan kisah kehidupannya bersama Munir dan ancaman yang ia hadapi dalam buku Mencintai Munir yang diselesaikan dalam 10 bulan. "Namanya migrain dan muntah-muntah adalah bagian dari proses (penulisan) itu," katanya dalam peluncuran buku itu di Kemang, Jakarta, pada Rabu, 14 September lalu.

 

Pembunuhan Munir terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Proses hukumnya dijalankan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah Muchdi divonis bebas, kasus Munir berhenti. Tak ada perkembangan berarti dalam pemerintahan sesudahnya meski Jokowi pernah mengatakan ingin menyelesaikan kasus ini.

 

Dalam orasi di depan Aksi Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 15 September lalu, Suciwati menyampaikan kegelisahannya. Ia menilai saat ini tidak ada partai oposisi yang berani mempertanyakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, termasuk penyelesaian lewat jalur non-yudisial yang dipilih pemerintah. "Partai-partai lebih sibuk untuk tetap berkuasa. Isu hak asasi manusia hanya menjadi batu loncatan untuk berkuasa, termasuk Jokowi dengan Nawa Cita-nya," tuturnya.

 

Selama 18 tahun mengadvokasi kasus Munir, Suciwati dan Kasum menghadapi banyak hal. Ancaman dan teror datang silih berganti untuk membuatnya berhenti mengangkat kasus ini. Namun semangatnya tak kendur. "Aku sejak awal sama almarhum itu sudah bilang bahwa mati-hidup kita bukan urusan manusia," ujarnya dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Tara Resya, pada Sabtu, 10 September lalu.

 

Dalam wawancara sekitar satu jam, Suciwati menuturkan perjuangannya dalam mengangkat kasus Munir. Ia juga mengisahkan berbagai tekanan yang dihadapinya dan menilai bagaimana komitmen tiga presiden untuk menuntaskan kasus ini.

 

Perjalanan kasus Munir sudah memasuki tahun ke-18. Bagaimana Anda melihatnya?

 

Sebagai korban, selama keadilan tidak aku peroleh, aku akan bilang ini kasus pelanggaran HAM berat. Fakta-fakta (yang terungkap) di pengadilan sudah jelas bahwa ini permufakatan jahat yang melibatkan empat pelaku, yakni pelaku lapangan, pelaku pembantu, pemberi akses, dan inisiator, yang merencanakan. Di pengadilan bisa kita lihat bandar udara internasional yang tiba-tiba CCTV-nya tidak bekerja. Itu kelihatan sekali konspirasinya. Memakai penerbangan milik negara GA-974. Ada telepon antara pelaku lapangan, pemberi akses, ke lembaga negara BIN. Apalagi yang dipakai itu arsenik, yang tidak gampang didapatkan orang. Jelas ini orang yang melakukannya memakai lembaga negara. Ini pembunuhan yang melibatkan aktor negara. Ini konspirasi dan kejahatannya struktural.

Pollycarpus, Indra Setiawan, dan Muchdi sudah diadili.

 

Komnas HAM sudah pernah melakukan eksaminasi. Eksaminasi itu memberikan rekomendasi pengadilan harus diulang karena hakimnya tidak kredibel. Banyak kejanggalan ditemukan oleh Komnas terhadap hakimnya.

 

Apakah penyelidikan kasus ini sudah berada di jalur yang benar?

 

Bolak-balik ganti tim dan bagaimana mereka diancam juga. Soal on the track masih tidak 100 persen, mungkin 50 persen belum. Sebab, waktu itu tak menjangkau (BIN) sama sekali. Awalnya (penyelidikan) cuma mau berhenti di orang-orang Garuda, tidak sampai ke BIN. Ketika didorong semua, ada banyak dari luar negeri yang mempertanyakan—Uni Eropa, negara-negara Barat, tokoh penerima penghargaan—menulis surat ke SBY, Kongres Amerika Serikat tanda tangan mempertanyakan itu. Belum lagi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Itu yang kemudian membuat Kepolisian RI bergerak.

 

Apakah semua orang yang terlibat sudah diadili?

 

Bagaimana dengan pengangkatan Pollycarpus? Surat (perintah) itu kan ditandatangani Wakil kepala BIN As'ad Said Ali. Lewat kesaksian Indra Setiawan di pengadilan kasus Muchdi, dia minta Poly, "Siapa nih yang ngangkat kamu?" Itu kan kemudian dia (Indra) ketemu As'ad dan ada Muchdi di situ. Itu menunjukkan ada sesuatu. Kami mendengar orang dari Deputi II mengatakan pernah disuruh atasannya di BIN untuk membunuh Munir. Terus ada petugas dari Deputi VII tiba-tiba minta ketemu sama Munir sebelum berangkat ke Belanda. Kalau Pollycarpus itu (melalui) Deputi V. Antardeputi kan kerjanya kompartemental. Antara satu dan yang lain kerjanya tidak saling tahu. Kalau mereka bekerja sama untuk melakukan sesuatu dan akhirnya terjadi pembunuhan ini, berarti ada yang tahu di atasnya. Waktu itu Kepala BIN Hendropriyono.

 

Ini kerja personal atau lembaga?

 

Sistematik menurutku dan karena itu terpenuhi unsur kasus pelanggaran HAM-nya. Kalau orang yang terlibat seperti itu, ada deputi, ada wakil kepala, bagaimana mau tidak kita bilang sistematis.

 

Para petinggi BIN membantah terlibat kasus ini.

 

Pasti, lah. Pilihan racunnya saja pakai arsenik. Itu dilakukan oleh orang pengecut. Kau berharap apa dari mereka? Untuk mengaku?

 

Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Megawati. Bagaimana sikap pemerintah saat itu?

 

Dia tak ngomong apa pun soal kasus Munir. Memang harus digarisbawahi bahwa pembunuhan Munir itu di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

 

Apa perbedaan penanganan oleh presiden-presiden berikutnya?

 

Buat aku, mending Susilo Bambang Yudhoyono, meski tidak berani total. Paling tidak ada action-nya. Kalau (presiden) saat ini, tidak ada. Yang dia (Jokowi) tunjukin dengan gagah malah mengangkat terduga pelaku pelanggaran HAM (sebagai menteri).

 

Pernah bertemu dengan Yudhoyono?

 

Ketemu. Pertama, sebelum pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir. Kedua, diajak ketemu bersama keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Aksi Kamisan, tapi saya tidak mau.

 

Janji pembentukan TPF akhirnya dipenuhi.

 

Tapi mengapa setengah hati? Bekerja itu harus total.

 

Penyidikan kasus Munir kan akhirnya jalan.

 

Itu setelah didorong-dorong. Kalau mereka profesional, tak perlu didorong-dorong.

 

Apakah pernah bertemu dengan Presiden Jokowi?

 

Beberapa kali ada kesempatan. Pada 2014, Komnas HAM memberi penghargaan kepada Munir. Komnas HAM kepada saya mengatakan bahwa penghargaan akan diberikan oleh Jokowi di Yogyakarta. Buat aku, lebih penting menuntaskan kasusnya dan membawa penjahatnya ke pengadilan. Enggak penting ketemu presiden kalau tidak bisa berbuat apa-apa.

 

Bagaimana dengan komitmen Jokowi untuk menyelesaikan kasus ini?

 

Pada 2016, Presiden bicara ke publik. Dia mengatakan sudah memerintahkan Jaksa Agung, "Hei, Jaksa Agung, selesaikan, ya, tuntaskan, ya, kasus Munir." Kemudian enggak ada apa-apa.

 

Apakah masih ada harapan Presiden Jokowi akan menyelesaikan kasus ini?

 

Mengapa berharap sama orang yang pembohong? Yang mengkhianati kita? Bagi aku, harapan itu, ya, buat anak muda dan orang-orang yang nanti memimpin republik ini supaya benar-benar orang yang bersih, yang mengerti hak asasi manusia dan sebagainya.

 

Advokasi kasus ini sudah lama. Ada intimidasi?

 

Intimidasi terjadi sejak awal. Saya pernah dikirimi paket berisi kepala ayam dan kotorannya (pada 2004). Terus ada sayembara yang isinya memberi hadiah bagi yang bisa mencungkil mata saya, hadiahnya sekian juta (pada 2008). Itu lewat surat. Pernah anakku tiba-tiba didatangi polisi. Katanya mau mengamankan anakku. Aku pernah juga ditelepon oleh Pollycarpus pada 2013, padahal dia ngomong sedang dipenjara di Sukamiskin. Mengapa dia bisa telepon? Dan ketika dicek sama Usman Hamid lewat temannya yang ahli teknologi informasi, dia dilacak sedang ada di Menteng, Jakarta. Berarti sedang jalan-jalan, dong. Padahal dia baru keluar dari penjara (karena pembebasan bersyarat) pada 2014.

 

Apa yang disampaikan Pollycarpus saat itu?

 

Dia mau ngeledek aku. Mau menunjukkan bahwa kamu enggak bisa memenjarakan aku. Dalam telepon dia mengatakan, "Lupa, ya, sama aku? Aku kan temannya, Mbak." Aku langsung tahu itu dia karena aku hafal suaranya. Jadi langsung aku matiin aja. Ada juga beberapa surat ke rumah di Malang. Intinya menyatakan Pollycarpus enggak bersalah. Aku mah enggak respons. Terus rumahku pernah dijebol pada 2013. Aku merinding banget saat itu. Anakku untungnya dibawa sama budenya saat itu.

 

Bagaimana memastikan pelakunya bukan maling?

 

Kami mau bilang maling, tapi dia ngambil data. Yang hilang laptop dan kamera. Ada sepeda motor dengan kunci yang nempel plus STNK, enggak diambil.

 

Anda tidak takut terhadap intimidasi?

 

Aku sejak awal sama almarhum itu sudah bilang bahwa mati-hidup kita bukan urusan manusia. Kami punya keyakinan bahwa Tuhan yang membuat itu. Jadi nothing to lose aja. Kalau enggak ngapa-ngapain kita mati, ngapa-ngapain kita mati. Kan, mending ngapa-ngapain dan berjuang, kita mati. Sama-sama matinya, gitu lho. Itu ada dalam obrolanku sama almarhum di buku Mencintai Munir. Aku kan bekerja berbasis mencintai kebenaran, mencintai keadilan. Jadi, ya, kenapa kita harus tunduk kepada para penjahat? Bahwa ketakutan itu bisa kita tata. Bahwa ketakutan itu membuat kita jadi lemah. Jadi kalau kita bekerja karena berbasis ketakutan, ya kita enggak akan ngapa-ngapain, enggak akan pernah menghasilkan apa pun.

 

Apakah Anda pernah merasa putus asa?

 

Ya, pasti, lah. Dulu di awal-awal, ya. Tahun 2004 itu aku sedang di rumah kontrakan di Jakamulya, Bekasi, Jawa Barat. Itu kan ruang di mana semuanya mengingatkan aku sama dia (Munir). Satu hari, aku mau siap-siap pindahan. Aku kan dibeliin ponakanku kardus-kardus kosong untuk packing. Nah, aku ini mau liburan. Itu kesedihannya luar biasa sampai aku angkat kardus kosong itu aja enggak kuat. Jatuh terus berkali-kali. Akhirnya aku berhenti. Keluar jalan-jalan. Akhirnya aku jalan. Tapi apa yang terjadi? Sepanjang jalan aku hanya menangis.

 

Komnas HAM membentuk tim ad hoc kasus Munir dan presiden menerbitkan peraturan presiden untuk membentuk tim non-yudisial untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Apa komentar Anda?

 

Kalau Komnas HAM, masih sedikit percaya, ya. Tetap akan kami dorong meskipun mereka lelet dan mungkin agak lama untuk memahami bahwa ini penting segera dibikin tim ad hoc. Itu memang lama dan tetep harus kami dorong untuk diputuskan bahwa ini memang kasus pelanggaran HAM berat. Soal yang dibentuk oleh peraturan presiden, buat aku, ini cara-cara Jokowi yang mau membuat impunitas makin kuat.

 

Anda masih punya harapan?

 

Aku tetap punya harapan. Doronglah Komnas HAM, ayo kerja bener. Kalau kamu gagal, apa lagi nih yang bisa kami lakukan? Selalu harus ada strategi untuk itu. Dan itu kan membangun harapan buat ke depan bahwa kami enggak menyerah. Kami akan terus, apa pun yang terjadi, sampai aku mati mungkin, ya. Terus ke Jaksa Agung mungkin kami akan melakukan gugatan atau apa. Kenapa Jaksa Agung tidak melakukan peninjauan kembali, misalnya, terhadap kasus Muchdi? Kami tanya juga kenapa waktu itu tidak dikeluarkan rekaman komunikasi antara Pollycarpus dan Muchdi di persidangan. Itu kan pertanyaan yang tidak pernah dijawab. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/wawancara/166964/wawancara-suciwati-soal-penanganan-pembunuhan-munir-said-thalib

 

 

Kesalahan Pemakaian Tanda Hubung

Kasijanto Sastrodinomo :  Pekolom independen, pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (1988-2018)

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

DALAM suatu rapat penyuntingan naskah buku di sebuah instansi, muncul diskusi kecil tentang bagaimana menggunakan tiga tanda baca berbentuk sama, berupa garis datar dalam posisi sejajar, tapi berukuran beda. Yang terpendek disebut hyphen atau sempang alias tanda hubung (-); yang kedua berukuran agak panjang disebut en dash atau tanda rentang (–); dan yang terpanjang ialah em dash (atau dash saja) alias tanda pisah (—). Sangat teknis memang, tapi terasa mengusik: mungkin cukup banyak di antara kita sebagai pengguna bahasa tak terlalu hirau terhadap soal pemakaian tanda-tanda itu secara tepat. Mungkin pula banyak yang merasa tak perlu-perlu amat mengetahui sebutannya; biasanya cukup dikatakan “strip” saja.

 

Dari ketiga tanda baca tersebut, hanya dua tanda, yaitu tanda hubung dan tanda pisah, yang dijelaskan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) V. Begitu pula dalam kamus-kamus linguistik, hanya dua tanda itu yang dicatat sebagai entri. Arkais, hanya tanda hubung yang tertera pada tuts mesin tik manual dan jika diketuk dobel (--) terjelma tanda pisah, dianggap setara dengan dash pada sistem komputer. Sementara itu, tanda rentang luput dijelaskan dalam pedoman ejaan. Mungkin pula telat dikenali karena tanda itu baru muncul dalam sistem komputer melalui menu insert/symbol.

 

Diskusi meletik lantaran ditemukan cara penulisan angka tahun periodisasi yang berbeda pada naskah yang disunting. Cara pertama memakai tanda hubung seperti terbaca pada angka tahun 1942-1945 (periode pendudukan tentara Jepang di Indonesia). Cara kedua menggunakan tanda pisah; contohnya dikutip dari kalimat Paku Buwana IX (1861—1893) menulis tentang seorang Bupati yang dapat disogok ..., dan seterusnya. Kedua kelompok angka tahun itu menunjuk hal sama, yakni kronologi waktu atau periode yang lazim tersua dalam tulisan sejarah. Dalam contoh itu, yang pertama merujuk pada suatu masa penjajahan; sedangkan yang kedua merujuk pada zaman pemerintahan seorang raja.

 

Penulisan versi manakah yang paling pas? Jawaban pertama condong pada pemakaian tanda hubung (-) dengan alasan praktis bahwa tanda itu telah tersedia di keyboard komputer dan siap pakai. Sebaliknya, jawaban kedua memilih menggunakan perintang atau tanda pisah (―) sesuai dengan resèp EYD V. Ada pula jawaban ketiga yang pragmatis bahwa kedua cara penulisan angka periodisasi, dengan tanda hubung ataupun tanda pisah, sami mawon. Argumennya, pembaca umumnya tahu bahwa jika terdapat dua kelompok angka tahun yang disisipi oleh tanda “strip” di antaranya (seberapa pun ukurannya) berarti merujuk pada periode atau penggal waktu tertentu. Artinya, fungsi tanda hubung jadi rancu dengan tanda pisah karena dianggap sama-sama menyatakan “sampai”, “sampai dengan”, “sampai ke”, atau “hingga”.

 

Jika taat asas pada fungsi formal tanda-tanda tersebut, ketiga jawaban itu kurang tepat, bila bukan salah. Mengacu pada fungsi tanda hubung sebagai penyambung atau perangkai (lihat EYD V), penulisan periode 1942-1945 bisa-bisa dianggap identik dengan 19421945. Bandingkan dengan gabungan angka kode negara, kode area, dan nomor telepon yang biasa disurat 62-21-5360409 (pinjam nomor Tempo), juga bisa ditulis bablas menjadi 62215360409 (kebetulan tanda hubung tidak tersedia pada tombol pesawat telepon). Begitu pula non-pribumi, analogi lain, bisa langsung ditulis nonpribumi. Jadi tanda sempang bisa melesap atau dilesapkan.

 

Adapun tanda pisah dipakai untuk, pertama, membatasi atau merintangi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat. Ini contoh tepat: Ia dipenjara―dan dalam tahanan mengalami trauma melihat banyak perempuan tak bersalah disiksa―karena dituduh ikut dalam peristiwa di Lubang Buaya (Laporan Khusus, “Umi Sardjono dan Tuduhan terhadap Gerwani”, Tempo, 10 Oktober 2021). Kedua, tanda pisah berfungsi menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan lain, misalnya Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat Sumpah Pemuda—harus terus digelorakan (contoh dalam EYD V). Ketiga, menyatakan “sampai dengan” atau “sampai ke” seperti 2010—2013; Jakarta—Bandung (EYD V).

 

Tapi pemakaian tanda pisah pada contoh terakhir (ketiga) tersebut bisa bermasalah. Fungsinya sebagai pemisah menjadi tidak klop untuk menyatakan “sampai dengan” atau “sampai ke” yang bermakna menautkan. Pada contoh penulisan periode 2010—2013 bisa disalahpahami bahwa tahun 2010 dijauhkan dari 2013. Padahal kedua tahun itu sebenarnya justru ditautkan sebagai suatu kesatuan jangka waktu (bayangkan seperti tali jemuran yang direntangkan dari satu tiang ke tiang yang lain). Maka di sini tanda rentang (–) menawarkan cara tepat penulisan tahun periodik: 2010–2013. Begitu pula Jakarta—Bandung semestinya ditulis Jakarta-Bandung jika dimaksudkan “[dari] Jakarta sampai Bandung”.

 

Mungkin ada pendapat bahwa ketidaktepatan dalam penggunaan tanda hubung (-), (–), dan (—) hanyalah soal kecil yang masih bisa dimengerti maksud sebenarnya; atau sebagai wujud asas “manasuka” (arbitrary) yang memungkinkan suatu pilihan bebas. Bolah-boleh saja begitu. Namun yang juga hendak ditekankan di sini ialah “keyakinan” bahwa sekecil apa pun suatu tanda [baca] pastilah diciptakan untuk menyandang fungsi khas tertentu. Juga bisa menjadi semacam batu uji seberapa kita taat, cermat, dan tepat, tanpa meninggalkan kiat, dalam berbahasa. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166943/kesalahan-pemakaian-tanda-hubung

 

 

Dampak Kenaikan Suku Bunga The Fed pada Indonesia

Yopie Hidayat :   Reporter Majalah Tempo, Kontributor Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

PERHATIAN pasar finansial global kembali terpusat pada kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve pekan ini. Keputusan bank sentral mengenai suku bunga sebetulnya perkara rutin belaka. Tapi, kali ini, pasar memang jauh lebih tegang. Mungkin saja The Fed akan bertindak agresif dalam menentukan suku bunga.

 

Sebab utamanya apa lagi kalau bukan inflasi. Tadinya pasar berharap inflasi di Amerika Serikat mulai reda pada Agustus lalu. Menurunnya harga minyak dunia sepanjang bulan lalu memunculkan harapan itu. Jika demikian halnya, semestinya kebijakan bunga The Fed akan lebih lunak pula.

 

Harapan itu menguap ketika data inflasi terbit pekan lalu. Inflasi bulanan selama Agustus ternyata 0,1 persen lebih tinggi ketimbang pada Juli. Kenaikan tingkat inflasi inti, yang tidak mencakup harga makanan dan energi, lebih mengagetkan. Inflasi inti di Amerika per Agustus meningkat 0,6 persen dibanding pada Juli. Secara tahunan, angka lonjakannya bahkan mencapai 6,3 persen. Ini sungguh di luar dugaan pasar.

 

Adapun dalam berbagai kesempatan sebelumnya, The Fed sudah mengirim sinyal keras: tak akan ragu bertindak demi menjinakkan inflasi, apa pun konsekuensinya dan berapa pun ongkosnya. Dan arsenal yang tersedia di tangan The Fed adalah kenaikan suku bunga. Kalau toh akibatnya pertumbuhan ekonomi melemah, The Fed melihat hal itu hanya sebagai ongkos yang mesti dibayar untuk meredakan inflasi. Ini masih lebih baik ketimbang cekikan inflasi yang makin kuat.

 

Walhasil, pasar kini mengantisipasi serangkaian kenaikan bunga The Fed yang lebih cepat, lebih tinggi, dan besar kemungkinan akan bertahan lebih lama. Inflasi di Amerika terbukti bandel dan liar sehingga membutuhkan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif untuk menjinakkannya.

 

Masalahnya, bukan hanya ekonomi Amerika yang akan melambat jika bunga The Fed melonjak tinggi dan bertahan lama. Bank Dunia sudah memperingatkan, penetapan bunga tinggi The Fed, yang pasti akan disusul kebijakan serupa dari bank-bank sentral lain, sangat berpotensi memicu resesi global tahun depan. Hal ini bisa merusak ekonomi banyak negara.

 

Selain itu, beberapa negara harus menghadapi persoalan yang lebih berat daripada sekadar melambatnya pertumbuhan ekonomi. Muncul tekanan besar yang menggerus nilai mata uang karena terjadi pelarian modal secara masif di mana-mana. Bunga tinggi dalam dolar Amerika membuat alokasi dana investasi di seluruh dunia berbalik arah, mengalir ke berbagai aset dalam dolar. Itulah langkah mencari aman sekaligus menggali imbal hasil yang lebih tinggi.

 

Dalam konteks ini, sekali lagi Indonesia sungguh amat beruntung. Ekonomi kita masih menikmati surplus neraca perdagangan sehingga rupiah aman dari gejolak pasar. Kurs rupiah relatif stabil meski mata uang negara-negara lain tertekan berat dan kehilangan nilai cukup besar.

 

Di Korea Selatan, misalnya, pemerintah dan bank sentral mulai kelabakan karena nilai won terhadap dolar Amerika merosot hingga 16,8 persen sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu. Yen Jepang merosot lebih dalam, 24,29 persen pada periode yang sama. Sebagai pembanding, rupiah hanya merosot 4,7 persen.

 

Pada Agustus, meski harga berbagai komoditas ekspor Indonesia mulai turun, nilai ekspor Indonesia justru masih tumbuh dengan pesat, yaitu 9,17 persen dibanding pada Juli 2022. Hal itu terjadi karena ada lonjakan volume ekspor yang amat besar pada minyak sawit dan besi baja, terutama ke Cina.

 

Pertumbuhan sebesar ini, hanya dalam sebulan, adalah rezeki nomplok yang amat signifikan. Jika dihitung sejak awal tahun hingga akhir Agustus 2022, angka surplus perdagangan Indonesia sudah mencapai US$ 34,92 miliar. Angka ini tumbuh 68,6 persen jika dibanding pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 20,71 miliar. Surplus super-gendut ini yang menyelamatkan ekonomi Indonesia untuk sementara waktu.

 

Namun jangan terlena, surplus gendut bisa datang dan pergi dengan cepat ketika pasar global bergejolak selepas kenaikan suku bunga. Jika betul tahun depan resesi global akan melanda, ekspor Indonesia besar kemungkinan bakal melambat. Tanpa bantalan surplus gendut, ekonomi Indonesia akan menghadapi cobaan yang sebenarnya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/sinyal-pasar/166933/dampak-kenaikan-suku-bunga-the-fed-pada-indonesia

 

 

Alasan Warga Pulau Sangihe Menolak Tambang Emas

Dini Pramita :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

DUA prahoto yang mengangkut mata bor dan alat berat berjalan beriringan dari Pelabuhan Pananaru, Kecamatan Tamako, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada hari perayaan kemerdekaan Indonesia, Rabu, 17 Agustus lalu. Laju iring-iringan truk tronton yang menuju lokasi eksplorasi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe di Desa Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, itu tersendat di Desa Kaluwatu, Kecamatan Manganitu Selatan, lantaran menabrak gapura yang sudah dibangun oleh warga kampung untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.

 

Bendera Merah Putih yang dipasang pada gapura itu tercebur di got. Alih-alih berhenti untuk membersihkan dan memasang kembali Sang Merah Putih, rombongan terus berlalu melanjutkan perjalanan. Tak hanya merusak gapura, kabel listrik putus akibat diterjang truk tronton. “Kami sangat menyesali mobilisasi alat berat ini. Apalagi sampai membuat kesiapan desa menghadapi 17 Agustus berantakan,” kata Polohindang, warga Kaluwatu, Kamis, 15 September lalu.

 

Upaya mobilisasi alat perlengkapan tambang ke lokasi penambangan kerap batal. Beberapa kali warga Desa Bowone menolak kedatangan alat berat yang diperlukan untuk kegiatan penambangan emas. Masyarakat menganggap aktivitas tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) dapat mengancam kehidupan masyarakat di Pulau Sangihe.

 

Mendengar kabar konvoi dua tronton menuju kampungnya, warga Bowone lantas berkumpul untuk menghadang bersama sejumlah pegiat Save Sangihe Island. Pada malam itu, penghadangan berhasil. Sopir truk kabur meninggalkan truk, muatan, dan kondektur. Kesepakatan pun terjadi. “Mereka meminta waktu sampai pukul 2 siang untuk menarik kembali tronton ke Pelabuhan Pananaru,” ucap Jull Takaliuang, Koordinator Save Sangihe Island (SSI).

 

Masyarakat Bowone membubarkan diri setelah terjadi kesepakatan. Tersiar kabar adanya perusakan terhadap salah satu truk tronton. Walhasil, sebanyak 14 warga Bowone mendapat surat panggilan dari Kepolisian Resor Kepulauan Sangihe pada 29 Agustus lalu. Mereka dituduh oleh PT TMS melakukan kekerasan terhadap barang perusahaan secara bersama-sama.

 

Menurut Alfred Pontolondo, aktivis SSI, tak ada satu pun warga Bowone terlibat dalam perusakan truk tronton yang terjadi pada 18 Agustus pagi hari itu. “Sebelumnya sempat ada berita hoaks yang disebarkan oleh media lokal yang menyebut ada 30 warga Bowone merusak truk tronton,” katanya.

 

Menurut Alfred, aksi penolakan tambang emas ini berakar dari pelanggaran perusahaan atas putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Manado. Pada Kamis, 2 Juni lalu, 56 perempuan Bowone memenangi gugatan terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Izin lingkungan itu menegaskan kegiatan penambangan yang dibolehkan dalam jangka pendek hanya 65,48 hektare.

 

Memang, setelah itu PT TMS mengajukan permohonan memori banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar yang memenangkan PT TMS. Namun, menurut Jull, ada proses yang kurang tepat dalam upaya banding itu. “Pemerintah Provinsi sebagai tergugat pertama menyatakan tak akan melakukan banding, tapi PT TMS sebagai tergugat intervensi justru yang banding,” tuturnya. Selain itu, kontramemori banding yang disampaikan penggugat secara langsung kepada ketua panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar tidak dijadikan pertimbangan putusan.

 

Di lapangan, pada Senin, 13 Juni lalu, beberapa pekan setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Manado keluar, PT TMS nekat membawa dua truk tronton yang memuat perlengkapan pengeboran. Konvoi itu dihadang ratusan warga Bowone dan berhasil membuat rencana mobilisasi alat berat batal dilakukan. Buntut penghadangan ini, seorang warga Bowone bernama Robinson Saul, 48 tahun, dijadikan tersangka. “Sampai saat ini dia masih ditahan,” kata Muhammad Jamil, anggota tim hukum Save Sangihe Islands dari Jaringan Advokasi Tambang.

 

Selain aksi penghadangan truk, kata Jull, warga Sangihe kerap berdemonstrasi menolak tambang. Ia mengingat aksi-aksi penolakan makin rutin digelar masyarakat sejak 10 Desember 2021. Saat itu ratusan warga dari berbagai desa melakukan unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulawesi Utara menuntut pencabutan izin lingkungan PT TMS. Jalur hukum pun ditempuh dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado.

 

Warga Sangihe juga mengajukan gugatan terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memberi persetujuan peningkatan operasi kontrak karya kepada PT TMS. Setelah menjalani 20 kali persidangan dan menggelar sidang lapangan pada Senin, 7 Maret lalu, gugatan tersebut dimentalkan oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Saat itu, hakim menyatakan kasus ini adalah persoalan keperdataan.

 

Tidak puas atas pernyataan hakim itu, warga Sangihe lantas mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Dalam putusan pada Rabu, 31 Agustus lalu, itu, majelis hakim yang terdiri atas hakim ketua Eddy Nurjono serta dua hakim anggota, Budhi Hasrul dan Husein Rozarius, memutuskan menerima seluruhnya tuntutan warga dan memerintahkan Kementerian ESDM mencabut izin operasi tersebut.

 

Meski pada 31 Agustus sudah ada putusan yang meminta Kementerian ESDM mencabut izin operasi, Polres Sangihe tetap memproses laporan terhadap 14 warga Bonowe pada Jumat, 2 September lalu. “Hingga saat ini proses masih berjalan dan belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka karena memang warga Bowone sama sekali tidak tahu mengenai perusakan alat berat PT TMS tersebut,” ujar Alfred.

 

Selain melaporkan 14 warga, Jull dilaporkan oleh PT TMS dengan tuduhan merusak dan menyandera kunci truk beserta kondektur. Padahal, menurut Jull, dua hari setelah kejadian, ia mendatangi Polres Kepulauan Sangihe dan duduk bersama camat, wakil Kepala Kepolisian Resor, dan beberapa pejabat terkait. “Wakapolres mempersilakan SSI membawa kembali tronton ke Pananaru. Tapi, untuk menghindari tuduhan, kami mencari kondektur,” katanya.

 

Sementara itu, PT TMS melakukan manuver lain dengan menggugat sejumlah pejabat negara, dari Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Ombudsman Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hingga Bupati Kepulauan Sangihe. Gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 23 Agustus lalu. PT TMS menuntut ganti rugi sebesar US$ 37 juta dan Rp 31,9 miliar karena para tergugat menyebabkan PT TMS mengalami kerugian materiil.

 

Kini dua tuntutan warga Sangihe menolak tambang emas bermuara di Mahkamah Agung. “Kami akan berjuang di arena kasasi,” ujar Jull. Selain itu, mereka disibukkan pula dengan pemanggilan 14 warga Bowone, termasuk pelaporan terhadap Jull Takaliuang. “Kami akan melaporkan balik PT TMS karena telah membuat laporan palsu,” katanya.

 

Menurut Legal Senior PT TMS Rico Pandeirot, upaya banding yang dilakukan perusahaan merupakan hak para pihak yang terlibat. "Buktinya terbit putusan yang membatalkan putusan PTUN Manado," tuturnya.

 

Ia menolak perusahaannya disebut melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Dalam kutipan pasal 35 undang-undang itu, menurut dia, terdapat beberapa hal yang harus dicatat. "Pertama kita perlu memahami bahwa kegiatan pertambangan tidak dilarang, namun yang dilarang adalah kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab," ucapnya. Ia menunjuk pertambangan tanpa izin yang telah dilakukan di Sangihe sebagai contoh.

 

Adapun kutipan dari pasal 35 yang dimaksud adalah: "Setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: (k) melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya." ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/166940/alasan-warga-pulau-sangihe-menolak-tambang-emas