Pelindung
Bangsa
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ilmu Politik,
Ohio State University, Columbus,
Ohio, AS
|
KOMPAS,
28 Februari
2018
Perilaku politik seseorang
tak pernah mungkin diramalkan dengan penuh keyakinan. Alasan paling dasarnya: manusia memiliki consciousness, kesadaran, free will,
kemauan bebas, dan reason, rasio,
yang memungkinkan ia memilih sesuatu di luar perkiraan pengamat atau ilmuwan.
Saya sering teringat pada
kenyataan itu, termasuk ketika Donald Trump memenangi pilpres AS dua tahun
lalu dengan jumlah suara sekitar 46% dari semua pemilih. Ia berkampanye secara terbuka sebagai
seorang rasis putih, antiorang Amerika-Afrika, Hispanik, dan minoritas
lain. Ia juga terang-terangan bersikap
seksis, meremehkan martabat perempuan yang layak diperlakukan sama dengan
laki-laki.
Dalam politik Amerika
modern, dua sikap itu merupakan pantangan keras bagi semua calon presiden dua
partai besar yang menguasai panggung politik kami. Pantangan keras dalam pengertian dianggap
umum prasangka buruk yang berlawanan dengan hati nurani bangsa. Kiranya tak mungkin diterima, baik oleh
puluhan juta pemilih dalam pilpres maupun oleh elite politik, termasuk
kepemimpinan partai, para legislator, dan pejabat tinggi di
pemerintahan. Makanya, kemenangan
Trump mencengangkan pemain dan pengamat.
Namun, dalam satu hal,
hubungan kampanye dengan pemerintah Rusia, juga suatu pantangan keras, Trump
memberi kesan kuat bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Daftar bukti hubungannya amat panjang,
mulai dengan pengangkatan Paul Manafort sebagai manajer pertama
kampanyenya. Manafort, aktivis kawakan
Republik, punya hubungan lama dengan para oligark Rusia melalui kegiatannya
selaku konsultan politik di Ukraina.
Kini ia didakwa Jaksa Khusus Robert Mueller perihal pencucian uang.
Selain itu, anaknya,
Donald Trump Jr, menantunya, Jared Kushner, dan Manafort mengadakan pertemuan
pada tengah 2016 dengan pengacara Rusia yang punya hubungan lama dengan
Kremlin, pusat pemerintahan Rusia.
Tujuan pertemuan itu, mencari informasi bagi kampanye hitam terhadap
Hillary Clinton, capres Partai Demokrat waktu itu. Trump senior lalu dilaporkan The Washington
Post mendikte pernyataan palsu tentang pertemuan itu. Lagi pula, perbuatan
banyak anggota tim sukses Trump mencurigakan, terutama Michael Flynn, yang
jadi Penasihat Keamanan Nasional pertamanya, mengaku berbohong kepada FBI,
dan kini bekerja sama dengan Jaksa Khusus Mueller.
Trump sendiri belum pernah
bersikap kritis terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin. Ketika Putin membantah intervensi Rusia
dalam pilpres AS, Trump mengatakan percaya pada keikhlasan Putin! Pengakuan itu diucapkan pada konferensi
pers Trump di Danang, Vietnam, terkait KTT APEC November 2017.
Dalam suasana serba
menggelisahkan ini, masihkah ada lembaga atau tokoh tepercaya yang mampu dan
bersedia melindungi bangsa saya dari rongrongan Rusia? Kelihatannya ada tiga, semua kalangan
pejabat.
Pertama, Direktur
Intelijen Nasional Daniel Coats, pemimpin 17 badan intelijen. Dalam kesaksiannya di Senat 13 Februari
lalu, ia menegaskan, “keberhasilan pemerintah Rusia dalam usahanya menganggu
kampanye presidensial 2016 mengisyaratkan bahwa Rusia akan mengulangi
kegiatan itu pada pemilu paruh waktu 2018.”
Kesimpulan Coats disetujui
lima kepala badan yang hadir hari itu, termasuk Direktur CIA Mike Pompeo,
yang pernah dikhawatirkan terlalu dekat pada Trump. Trump sendiri diam.
Kedua, tiga hari kemudian
Jaksa Khusus Mueller mendakwa 13 orang Rusia yang dituduh terlibat “suatu
jaringan canggih untuk menyabot pilpres 2016 dan mendukung kampanye
Trump.” Para pelaku itu “mencuri
identitas warga-negara Amerika, berpose sebagai aktivis, dan menunggangi
isu-isu hangat seperti imigrasi, agama, dan ras untuk mendistorsi kampanye
pilpres”. Balasan Trump: “Kampanye
Trump tidak bersalah—no collusion, tidak bersekongkol!”
Tak
terbantahkan
Tudingan terakhir dari
dalam pemerintahan diluncurkan 17 Februari di Konferensi Keamanan Munich,
Jerman, oleh Jenderal HR McMaster, Penasihat Keamanan Nasional pengganti
Flynn. Membicarakan dakwaan Jaksa
Khusus, McMaster bersitegas, “Keterlibatan pemerintahan Rusia dalam pilpres
AS tak terbantahkan.”
Namun, Trump membantah
penasihatnya sendiri dengan kicauan khasnya: “Satu-satunya persekongkolan
adalah antara Rusia dan Sang Penjahat Hillary serta Partai Demokrat!”
Berita ini tentu
menggembirakan setiap patriot yang mencintai demokrasi. Ternyata sejumlah pejabat pemerintahan tak
tergoyahkan oleh rayuan dan gertakan Trump.
Ini perlu digarisbawahi mengingat betapa Trump mengabaikan banyak
pantangan dan norma demokrasi yang berlaku ratusan tahun.
Bagaimana dengan Partai
Republik, yang mencalonkan Trump dan kini menguasai Senat dan Dewan
Perwakilan? Sayangnya, mereka tetap
main selaku tokoh partisan belaka.
Seandainya sejarah memanggil untuk menyelamatkan demokrasi, belum ada
tanda bahwa mereka akan menerima panggilan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar