Uang
Kuliah Mahal dan McDonald’s-isasi PTN
Rahma Sugihartati; Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Informasi dan
Perpustakaan
FISIP Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 26
Januari 2017
BISA
melanjutkan kuliah dan menjadi sarjana memang menawarkan peluang kehidupan
yang lebih baik. Tetapi, ketika uang kuliah makin mahal dan tidak lagi
berbeda antara perguruan tinggi (PT) negeri dan PT swasta, siswa dari
keluarga menengah ke bawah mau tidak mau harus berpikir seribu kali sebelum
memastikan untuk melanjutkan pendidikan selepas lulus SMA.
Bagi
siswa dari keluarga yang mapan, di mana pun mereka kuliah, mungkin tidak akan
menjadi masalah. Bahkan, sudah lazim anak-anak dari keluarga mampu lebih
memilih kuliah di PT ternama di luar negeri daripada kuliah di dalam negeri.
Namun, untuk anak-anak yang secara ekonomi kurang mampu, tetapi ingin kuliah
dan berharap memperoleh beasiswa dari program bidikmisi atau sumber yang
lain, mereka pastilah akan mengalkulasi lebih dahulu kekuatan ekonomi orang
tuanya sebelum memutuskan untuk melanjutkan kuliah di PT yang diminati.
Dengan
besaran UKT (uang kuliah tunggal) seperti tahun lalu saja, mungkin siswa dari
keluarga tidak mampu sangat terbatas untuk bisa melanjutkan kuliah. Lantas,
apa yang terjadi ketika sejumlah PT negeri yang terkenal kini sudah
berancang-ancang menaikkan UKT?
Saat
ini setidaknya uang kuliah yang mesti dibayar setiap mahasiswa yang
melanjutkan ke PTN sudah mencapai jutaan rupiah. Bahkan sudah ada yang Rp 10
juta–Rp 20 juta per semester (Jawa Pos, 13/1).
McDonald’s-isasi PTN
Walaupun
belum sepenuhnya menjadi bagian dari industri pendidikan yang kapitalistis,
kecenderungan uang kuliah yang makin mahal di sejumlah PTN membuktikan bahwa
di Indonesia kini telah terjadi komersialisasi dan komodifikasi pendidikan
tinggi.
Dikatakan
telah terjadi komersialisasi karena pendidikan di PTN kini tidak lagi menjadi
bagian dari proses pelayanan sosial yang dikembangkan negara untuk warga
masyarakatnya, melainkan lebih sebagai lembaga profit yang diperbolehkan
mencari keuntungan, terutama bagi PT yang berstatus PTNBH (perguruan tinggi
negeri badan hukum).
Selanjutnya,
disebut telah mengalami komodifikasi karena jasa layanan pendidikan yang
ditawarkan PTN kini tidak ubahnya komoditas kapitalis yang dijual, dikemas,
dan ditawarkan untuk tujuan komersial kepada pasar.
Meminjam
istilah George Ritzer (1993), yang tengah terjadi di dunia pendidikan tinggi
di Indonesia adalah McDonald’s-isasi Pendidikan. Artinya, pendidikan kini
sudah tidak berbeda dengan komoditas fast food yang diproduksi dan dipasarkan
restoran cepat saji McDonald’s. Sebab, di dunia PT sekarang, pendidikan juga
telah mengalami metamorfosis menjadi jasa layanan pendidikan yang dikemas
sedemikian rupa untuk kemudian ditawarkan kepada pasar.
Penyelenggaraan
belajar-mengajar yang dikemas dalam bentuk paket-paket mata kuliah yang
ditawarkan di PT tidak lagi mementingkan kedalaman. Yang lebih diutamakan
adalah bagaimana mahasiswa bisa lebih efisien dalam menempuh perkuliahan.
Gelar sarjana lebih penting daripada pemahaman terhadap materi kuliah yang
mendalam. Pada tingkat yang ekstrem, bahkan bisa saja seseorang tidak pernah
hadir dalam kuliah, tetapi bisa lulus dan menjalani wisuda untuk memperoleh
gelar sarjana, asalkan mau membayar mahal.
Di
berbagai PT, bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar kualitas mahasiswa
menurun. Antusiasme mahasiswa untuk mengikuti kuliah dan menulis skripsi
mengalami degradasi karena yang mereka buru umumnya adalah sekadar lulus.
Yang
terjadi dalam dunia PT sekarang ini tidaklah berlebihan jika disebut ironi.
Sebab, semakin mahalnya biaya pendidikan yang harus dibayar mahasiswa
ternyata tidak diikuti meningkatnya kualitas pembelajaran yang memampukan
lulusan. Bahkan, ada indikasi, sebagian besar mahasiswa bersikap makin
pragmatis karena mereka merasa yang penting sudah tertib membayar uang kuliah
yang mahal.
Neoliberalisme Pendidikan
Jika
dibandingkan dengan PT ternama di luar negeri, nominal UKT yang ditetapkan
PTN maupun PTS di dalam negeri yang per semester Rp 10 juta–Rp 20 juta sebetulnya
masih jauh lebih rendah. Di luar negeri, rata-rata biaya kuliah per semester
Rp 100 juta–Rp 200 juta. Di Monash University Australia, misalnya, per
semester setiap mahasiswa diwajibkan membayar uang kuliah hingga Rp 150 juta.
Jumlah itu sepuluh kali lipat UKT yang mesti dibayar mahasiswa yang kuliah di
PTN ternama di Indonesia.
Yang
membedakan PT di dalam negeri dan PT ternama di luar negeri adalah kualitas
pembelajaran, fasilitas yang disediakan, serta akses mahasiswa. Di negara
seperti Amerika Serikat yang dikenal sangat kapitalististis sekalipun, walau
biaya pendidikan sangat mahal, akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi
masih sangat terbuka lebar. Di AS, tingginya biaya pendidikan, pada saat yang
sama, masih diimbangi adanya sistem penunjang yang memungkinkan mahasiswa
dari berbagai lapisan atau kelas ekonomi mengakses pendidikan sampai jenjang
tertinggi.
Di
berbagai negara maju, umumnya sangat banyak program beasiswa dengan berbagai
kategori yang disediakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Bahkan, bagi
mahasiswa yang tidak berhasil mendapat beasiswa, masih ada program alternatif
berupa pemberian pinjaman lunak dan tanpa bunga yang bisa dicicil setelah
mereka lulus dan bekerja.
Di
Indonesia, meski sudah ada tawaran beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu,
kesempatan dan peluang yang tersedia masih bersifat meritokratis. Kesempatan
untuk memperoleh beasiswa masih sangat terbatas dan dikompetisikan di antara
sesama mahasiswa yang kurang mampu. Akibatnya, kemungkinan terjadinya kesenjangan
kesempatan sangatlah besar.
Fenomena
kenaikan biaya pendidikan yang semakin mahal sesungguhnya merupakan bagian
dari proses neoliberalisme pendidikan. Jika fenomena itu dibiarkan terus
berkembang, niscaya yang terjadi adalah makin tersingkirnya peluang
pihak-pihak yang kurang mampu dalam melanjutkan mimpi dan masa depan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar