Fenomena
Disrupsi dan Kelangkaan Keadilan
Sudjito Atmoredjo ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada
|
KORAN
SINDO, 15 Januari 2018
TAJUK KORAN SINDO pada
Rabu (3/1) mengulas soal kekhawatiran yang muncul di kalangan dunia usaha
atas adanya disrupsi. Seraya mengutip pendapat Rheinald Kasali, KORAN SINDO
menjelaskan disrupsi sebagai fenomena terjadinya perubahan fundamental akibat
evolusi teknologi (terutama informasi) yang telah merambah ke semua tatanan
kehidupan.
Disrupsi disebut menjadi
ancaman, tetapi bisa pula menjadi peluang. Segalanya tergantung bagaimana
pelaku usaha menyikapinya. Agar disrupsi menjadi peluang kemajuan, ditawarkan
tiga strategi. Intinya, jangan nyaman menjadi “pemenang”, jangan takut
menganibalisasi produk sendiri, dan jangan lupa melakukan inovasi.
Pendapat Rheinald Kasali
di bidang usaha tersebut perlu direntang ke ranah kehidupan bernegara hukum
Indonesia. Hal demikian penting dilakukan karena sejumlah alasan. Pertama,
Indonesia adalah negara hukum. Perilaku pelaku usaha maupun konsumen tidak
boleh dibiarkan berkembang hanya berdasarkan hukum ekonomi semata, melainkan
perlu pula dikendalikan berdasarkan hukum negara.
Kedua, aspek moralitas
merupakan roh hukum. Karenanya, hukum bisnis perlu dikontrol terus-menerus
agar senantiasa sarat nilai moralitas sosial kebangsaan. Ketiga, di samping
kebutuhan-kebutuhan material, keadilan merupakan kebutuhan spiritual setiap
komponen bangsa.
Keadilan ini wajib dijamin
pemenuhannya oleh negara. Justiciable perlu difasilitasi agar keadilan dapat
diperoleh secara mudah, murah, dan cepat. Serupa dengan disrupsi, di dalam
ranah hukum (khususnya aliran pospositivisme) dikenal nomenklatur chaotic
situation, lawless society, governmentless society, yakni situasi baru yang
berkembang karena hadirnya pola pikir (mindset), paradigma, atau wawasan baru
sehubungan teori-teori hukum “lama” tidak tajam lagi, tidak ampuh digunakan sebagai
pisau analisis terhadap kompleksitas perkembangan hukum zaman milenial.
Ian Steward (dalam
Predicting the Future, 1993) menyatakan bahwa chaos adalah perilaku ireguler,
random, kompleks dalam sebuah sistem yang deterministis. Tak seorang pun
dalam situasi chaos dapat memprediksi arah dan muara setiap kejadian atau
perilaku.
Disrupsi atau chaotic
situation di bidang hukum telah lama terjadi di negeri ini. Sejak kapan?
Sejak hukum kehilangan kedaulatannya, ketika hukum gagal menjadi panglima,
ketika hukum dipermainkan politik, dan ketika hukum lahir sebagai resultante
transaksi bisnis.
Masuk tahun politik 2018,
kedaulatan hukum berada di tepi jurang kekacauan. Dikhawatirkan, demi dan
dengan dalih politik, demokrasi, pilkada, segala perilaku politik (termasuk
perilaku bisnis) dibolehkan walaupun ditengarai melanggar moralitas
kebangsaan dan mencederai rasa keadilan sosial. Fenomena-fenomena itu sudah
kasatmata terlihat, antara lain sebagai berikut.
Pertama, kecenderungan
mengubah-ubah hukum yang dipandang kurang fasilitatif terhadap kepentingan
politik dan bisnis. Misal, melegalkan tambahan dana untuk pilkada melalui
perubahan anggaran daerah maupun pusat. Pada situasi sama, pebisnis
mendesakkan kepentingannya agar investasi dipermudah melalui perubahan hukum
pengadaan tanah, penguasaan pulau-pulau kecil dan sumber daya laut, tata
ruang, reklamasi, penghentian penenggelaman kapal asing pencuri ikan, dan
sebagainya.
Perubahan-perubahan hukum
dan kebijakan berpihak kepada elite-elite politik, pebisnis, agen-agen asing
dan serta-merta zalim terhadap komponen bangsa lapisan grass root. Kedua,
kriminalisasi tokoh-tokoh berkategori “lawan politik” penguasa. Dengan dalih
“pencemaran nama baik” atau terlibat kasus “ecek-ecek”, mereka dilaporkan ke
aparat berwenang.
Aparat pun sigap
menidaklanjutinya. Ketika seluruh potensi tercurah untuk menolak
tuduhan-tuduhan “konyol” tersebut, kesempatan beraktivitas politik pasti
terganggu. Itulah strategi politik licik, yakni memasukkan permainan politik
ke dalam tindak pidana.
Ketiga, kolusi antara
oknum-oknum politikus, pebisnis, dan penegak hukum. Ambil contoh, kasus
e-KTP. Di sana ada drama konyol, kalahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam praperadilan melawan Setya Novanto. Lalu berlanjut dengan mangkirnya
Novanto menghadiri panggilan KPK dan gugatan praperadilan kedua kalinya
sehubungan dengan ditetapkannya kembali Novanto sebagai tersangka.
Muncul “dagelan” tabrak
tiang listrik, kue bakpao, pura-pura mencret, dan sebagainya. Tak berhenti
sampai di situ, kuasa hukum Novanto tiba-tiba mengundurkan diri.
Dipertanyakan pula, mengapa tiga nama yang diduga terlibat korupsi dari
partai politik tertentu tiba-tiba hilang.
Substansi korupsi e-KTP
dikaburkan, digeser dengan isu pinggiran. Perdebatan seru antara kubu
pengacara berhadapan dengan kubu jaksa ataupun saksi dan ahli dari kubu
masing-masing dipastikan berlangsung seru, vulgar, dan kasar. Begitulah
kekacauan hukum manifes.
Ketika lawless
society berlangsung tak terkendali,
dipastikan perolehan keadilan semakin sulit. Vonis pengadilan berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde), isinya hanya keadilan formal,
prosedural, dan bukan keadilan substansial. Hakim memenangkan dan mengalahkan
sekaligus pihak-pihak beperkara. Pengadilan bukan house of justice, tetapi
identik dengan medan perang.
Berhadapan dengan
langkanya keadilan substansial, langkah-langkah progresif perlu dilakukan
agar bangsa ini dapat bernegara hukum dengan nyaman. Langkah tersebut, pertama,
memperbaiki budaya hukum melalui peningkatan intensitas, kualitas, dan
kuantitas proses interaksi dialogis antarbudaya (ras, agama, suku, daerah,
elite politik, pebisnis, dan aparat hukum), berdasarkan prinsip: pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan hak-hak asasi masing-masing.
Kedua, penataan ulang
sistem hukum secara utuh dan menyeluruh (holistis), bukan sekadar
tambal-sulam (inkrementalistis). Karakter egois pada pribadi, institusi, atau
golongan perlu didekonstruksi menjadi karakter komunalistis-religius. Perlu
komitmen agar setiap insan menjadi manusia adil dan beradab dalam naungan
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketiga, akhiri segala
bentuk kriminalisasi, permainan hukum, dan penafsiran hukum subjektif
tendensius. Tingkatkan kesadaran kolektif dan kearifan-kearifan lokal sebagai
spirit mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar