Menyuarakan
Mayoritas yang Diam
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam
|
KOMPAS, 24 Januari 2017
Guru
besar hukum Islam dan Timur Tengah di Universitas California di Los Angeles,
AS, Khaled Abou el-Fadl, berpandangan bahwa kelompok radikal di dunia Islam
sejatinya adalah kelompok kecil. Sebaliknya, kelompok moderat merupakan
kelompok mayoritas. Namun, kelompok radikal yang kecil terasa besar di tengah
diamnya kelompok moderat yang ia sebut sebagai silent majority.
Beberapa
perkembangan mutakhir yang terjadi di republik ini menunjukkan bahwa
pandangan Khaled Abou el-Fadl di atas masih memiliki ruang relevansi yang
sangat luas di tengah kehidupan masyarakat. Betapa tidak, kelompok-kelompok
non-arus utama belakangan acap mewarnai ruang publik, khususnya melalui aksi
damai di semua jilidnya.
Padahal,
berapa pun jumlah umat yang turun ke jalan dalam aksi damai (ataupun
aksi-aksi tandingannya) tetaplah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan jumlah mereka yang memilih sikap diam di rumah masing-masing. Namun,
karena dalam hening, sikap dan suara mayoritas diam ini nyaris dianggap
nihil. Bahkan, pada beberapa bagian, suara dan sikap mayoritas diam ini
menjadi ajang perebutan klaim bagi mereka yang kerap bersuara lantang di
ruang publik; masing-masing pihak mengklaim mewakili aspirasi kelompok
mayoritas diam.
Terlepas
apakah pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) benar-benar mengandung unsur
penodaan agama atau tidak, terma penodaan agama telah menjadi denyut nadi
sebagian umat dalam beberapa waktu terakhir. Mereka telanjur meyakini bahwa
kemuliaan agama ataupun kitab sucinya telah dinodai. Hal ini bisa terlihat
jelas dari sikap dan kegelisahan masyarakat umum di tingkat akar rumput,
khususnya di kalangan basis-basis utama umat Islam. Sekali lagi, hal ini
terlepas apakah pernyataan Ahok memang mengandung unsur penodaan agama atau
tidak.
Oleh
karena itu, ketika diajak untuk turun ke jalan menyampaikan aspirasinya,
mereka acap tidak berdaya untuk menolak. Nyaris tak ada kekuasaan apa pun
untuk menghalanginya; apabila tidakada angkutan umum pun, mereka berjalan
kaki.
Dengan
kata lain, turun ke jalan tak ubahnya panggilan agama yang membuat mereka
rela meninggalkan rutinitasnya, rela mengeluarkan uang pribadinya. Bahkan,
sebagian pihak sampai pada tahap melupakan sakitnya demi untuk bisa
berpartisipasi dalam aksi yang diyakini demi kemuliaan agama ini.
Tentu
masing-masing pihak harus melakukan refleksi mendalam dan jujur: kenapa bisa
terbentuk denyut nadi umat seperti ini? Dari segi hukum sebab-akibat, tak
mungkin denyut nadi ini tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya atau jatuh dari
langit tanpa ada proses. Dengan kata lain, ada proses panjang dan kompleks
menuju terbentuknya denyut nadi ini.
Kegamangan kelompok
moderat
Ironisnya,
ketika denyut nadi umat sudah terbentuk seperti di atas, kelompok moderat
justru terjebak dalam sikap kegamangan yang akut. Di satu sisi turut
berkontribusi bagi terbentuknya denyut nadi tersebut, tetapi di sisi lain
mereka khawatir persoalan ini menjebol komitmen kebangsaan yang ada.
Kelompok
moderat juga gamang menempatkan diri di antara sikap pemerintah dan tuntutan
umat. Bahkan, kelompok moderat juga gamang antara mendukung atau melarang
aksi turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Singkat
kata, kegamangan yang ada telah membuat kelompok moderat enggan memberikan
saluran bagi umat untuk menyampaikan aspirasinya. Sementara kelompok non-arus
utama justru memberikan saluran sebesar-besarnya bagi umat yang hendak
menyampaikan aspirasi.
Itu
sebabnya, jangan heran jika kelompok-kelompok non-arus utama tampak seperti
penguasa umat. Hampir bisa dipastikan, sebagian dari mereka yang turun ke
jalan adalah umat dari ormas- ormas moderat. Namun, karena kelompok moderat
terjebak dalam kegamangan seperti di atas, kelompok non-arus utama berhasil
menjadi lidah dan bersuara atas nama mereka.
Menurut
hemat penulis, inilah yang membuat kelompok silent majority semakin asyik
dengan keheningan dan sikap diam mereka. Di satu sisi, kelompok ini merasakan
kekhawatiran mendalam terkait dengan dampak dari persoalan yang semakin liar
ini. Akan tetapi, di sisi lain, mereka tidak rela suaranya diatasnamakan oleh
kelompok yang selama ini cenderung bersikap radikal.
Bahkan,
mereka mungkin juga tidak rela suaranya dijadikan modal untuk kepentingan
kontestasi politik pilkada yang melebur dalam hiruk-pikuk persoalan ini.
Dalam kondisi seperti ini, sikap paling aman bagi mereka adalah diam. Suara
paling merdu adalah keheningan.
Suara perdamaian
Oleh
karena itu, tak ada pilihan lain, kelompok moderat harus keluar dari
kegamangan yang ada; memberikan saluran bagi denyut nadi umat sekaligus membuat
kelompok silent majority bersuara. Memberikan saluran bagi denyut nadi umat
artinya memahami bahwa sebagian masyarakat saat ini telanjur meyakini akan
terjadinya penodaan agama. Sejauh ini masyarakat sangat menghormati dan
menaruh harapan tinggi terhadap proses hukum yang berlangsung.
Di
satu sisi, kehadiran kelompok moderat dalam kondisi seperti ini sangat
penting untuk memastikan aspirasi masyarakat mendapatkan perhatian dari
pihak-pihak terkait, khususnya aparat penegak hukum. Di sisi lain, kelompok
moderat bisa menjadi wadah yang nyaman dan terkontrol bagi masyarakat,
khususnya pada saat-saat keluarnya vonis pengadilan sebagai kalimat terakhir
dari persoalan ini.
Lebih
jauh lagi, kehadiran kelompok moderat seperti ini bisa membuat kelompok silent
majority keluar dari ruang heningnya dan bersuara lantang. Akan tetapi, tentu
saja demi perdamaian dan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang bersifat majemuk.
Diakui
atau tidak, perdamaian adalah cita-cita tertinggi dari masyarakat luas. Para
pihak yang belakangan saling melakukan aksi pengerahan massa juga mengklaim
aksinya demi perdamaian, bahkan aksi super damai. Pun diakui atau tidak,
keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersifat majemuk masih
menjadi komitmen semua pihak, termasuk para pihak yang belakangan saling
melakukan aksi pengerahan massa.
Dengan
kata lain, sekompleks dan sepelik apa pun persoalan yang timbul akibat
persoalan dugaan penodaan agama yang dilakukan Ahok, masyarakat tidak
menghendaki masalah ini berkembang menjadi konflik yang sarat dengan
kekerasan, alih-alih menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
bersifat majemuk. Apabila ada pihak-pihak yang menghendaki demikian, mereka
adalah kelompok kecil yang dari dahulu memang tidak menerima Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan senantiasa menggunakan cara-cara kekerasan
dalam perjuangannya.
Dalam
konteks seperti ini, kehadiran dan peran kelompok moderat dapat menjadi
gembok kebangsaan bagi penyelesaian persoalan dugaan penodaan agama melalui
jalur hukum. Pada waktu yang bersamaan, peran dari kelompok moderat dapat
menutup pintu-pintu fitnah kebangsaan yang belakangan bermunculan dengan
memanfaatkan persoalan dugaan penodaan agama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar