LGBT
Konspirasi Global, Acaman Keluarga Indonesia
Husain Yatmono ; Pengamat Sosial; Komunitas “Peduli Generasi”
|
REPUBLIKA,
23 Desember
2017
Diskursus seputar Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), mencuat kembali paska munculnya
perbedaan pendapat (dissenting opinion )di kalangan hakim Mahkamah Konstitusi
(MK) tentang LGBT. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi pasal
kitab undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama jenis,
Kamis (14/12). Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan ketentuan tersebut
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (www.cnnindonesia.com,
14/12/2017).
Terlepas dari pro dan
kontra di kalangan Hakim MK, ada bahaya serius yang mengancam sosial budaya
dan eksistensi keluarga. Hal ini perlu dipahami oleh seluruh masyarakat
Indonesia, bukan sekedar persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Bahaya yang ditimbulkan oleh kaum LGBT ini
antara lain: Pertama, bahaya dari segi kesehatan, Kedua, bahaya dari segi
perilaku, dan Ketiga, bahaya konspirasi global/serangan budaya.
1. Bahaya kesehatan
Data dari CDC (Centers for
Disease Control and Prevention) AS pada tahun 2010 menunjukkan dari 50 ribu
infeksi HIV baru, dua pertiganya adalah gay-MSM (male sex male/laki-laki
berhubungan sek dengan laki). Data pada tahun 2010 ini, jika dibandingkan
dengan data tahun 2008 menunjukkan peningkatan 20 persen. Sementara itu,
wanita transgender risiko terinfeksi HIV 34 kali lebih tinggi dibanding
wanita biasa. (Republika, 12/02/2016). Lebih lanjut data CDC, pada tahun 2013
di Amerika Serikat, dari screening gay (pemeriksaan terhadap kaum Gay), yang
berusia 13 tahun ke atas, 81 persen diantaranya telah terinfeksi HIV dan 55
persen di antaranya terdiagnosis AIDS.
Bagaimana dengan
Indonesia? Penularan HIV di kalangan LGBT di Indonesia juga meningkat secara
signifikan. Jumlah penderita HIV di Indonesia di kalangan gay terus meningkat
dari 6 persen pada tahun 2008, naik menjadi 8 persen di 2010, kemudian
menjadi 12 persen di tahun 2014. Sedang jumlah penderita HIV di kalangan PSK
(pekerja seks komersial) cenderung stabil antara 8 persen sampai dengan
9 persen. (Republika, 12/02/2016).
2.Bahaya Perilaku
LGBT bukan karena faktor
genetik/bawaan lahir, akan tetapi LGBT disebabkan pengaruh lingkungan, faktor
kejiwaan seseorang dan kondisi sosial masyarakat. Perilaku menyimpang mereka,
yang oleh para psikolog dan psikiatris, disebut dengan gangguan kejiwaan,
sebenarnya bisa disembuhkan. Dengan syarat mereka mau diterapi agar bisa
meninggalkan perilaku mereka yang menyimpang tersebut.
Perilaku komunitas LGBT
yang menyimpang ini, jika mereka dibiarkan mempromosikan perilakunya di
hadapan publik dengan berbagai macam kegiatan, akan mempengaruhi opini umum
bahwa mereka bisa hidup dengan normal dan bisa diterima masyarakat.
Karenanya, bentuk perilaku menyimpang ini bisa menular atau mempengaruhi
orang lain untuk mengikuti gaya hidup mereka. Apalagi jika perilaku LGBT ini
tidak bisa dipidana.
Sebenarnya, jika kita
perhatikan secara jeli dan dalam pandangan yang normal, LGBT merupakan perilaku
kotor dan menjijikkan. LGBT merupakan penyakit gangguang kejiwaan yang bisa
disembuhkan, asal pelakunya bersedia berobat dan diterapi. LGBT bukanlah gaya
hidup modern, tapi sebuah penyimpangan seksual. Komunitas LGBT ini telah ada
sejak jamannya Nabi Luth, ribuan tahun yang lalu yang dikenal dengan kaum
Sodom, makanya perilaku mereka disebut dengan sodomi, dan mereka telah
dibinasakan oleh ahzab Allah. Namun kini, perilaku ini dianggap modern dan
legal, paling tidak di beberapa negara yang menganut paham liberal, seperti
Amerika Serikat, Belanda, Inggris, dan lain-lain.
Penyimpangan orientasi
seksual ini jelas merupakan ancaman bagi eksistensi sebuah keluarga.
Perkwainan yang awalnya merupakan hal yang sakral dan legal dengan maksud
untuk melestarikan keturunan, dimana lahirnya seorang anak dari sebuah
perkwaninan menjadi dambaan bagi pasangan pengantin, akan berubah sekedar
pemuas nafsu birahi saja. Adanya anak
yang lahir dari pasangan pengantin bukan lagi menjadi harapan bagi kaum LGBT,
karena tujuan mereka hanya sekedar pelampiasan nafsu saja.
3. Bahaya konspirasi gobal
WHO telah menghapus LGBT
dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of Mental
Disorders). Menurut mereka, LGBT adalah perilaku normal bukan kelainan
mental. Bahkan sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi kaum LGBT, kini
telah ditetapkan hari Gay Sedunia dan ada 14 negara yang membolehkan
pernikahan sejenis, dan hanya 3 negara yang menganggap LGBT sebagai kriminal.
(Republika, 12/02/2016).
LGBT saat ini bukan lagi
perilaku individu melainkan sudah menjadi sebuah gerakan global yang
terorganisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penyebaran dan kampanye
kegiatan komunitas LGBT di Indonesia banyak dipengaruhi oleh serangan budaya
asing dan disokong dana oleh lembaga-lembaga asing. Ditemukan di halaman 64
laporan “Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia), yang
merupakan hasil dialog dan dokumentasi Komunitas LGBT Nasional Indonesia pada
tanggal 13-14 Juni 2013 di Bali sebagai bagian dari prakarsa “Being LGBT in
Asia” oleh UNDP dan USAID.
Dalam data tersebut
diungkap bahwa sebagian besar organisasi LGBT mendapatkan pendanaan dari
lembaga donor internasional seperti USAID. Pendanaan juga diperoleh dari
AusAID, UNAIDS, dan UNFPA. Ada sejumlah negara Eropa yang pernah mendanai
program jangka pendek, terutama dalam kaitan dengan HAM LGBT. Pendanaan
paling luas dan sistematis disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda,
kadang-kadang bersumber dari pemerintah negeri Belanda. Kemudian Ford
Foundation bergabung dengan Hivos dalam menyediakan sumber pendanaan bagi
organisasi-organisasi LGBT.
UNDP dan USAID meluncurkan
prakarsa “Being LGBT in Asia” pada tanggal 10 Desember 2012. Diantara negara
yang menjadi fokus program ini adalah Cina, Indonesia, Philipina dan Thailand
(https//www.usaid.gov/asia-regional/being-lgbt-asia).
Berdasarkan dokumen UNDP,
program “Being LGBT in Asia” fase 2 dijalankan dari Desember 2014 hingga
September 2017 dengan anggaran US$ 8 juta
(http//www.asia-pacific.undp.org/content/rbap/en/home/operation/projects/overview/being-lgbt-in-asia.html)
Pada Oktober 2015, Sekjen
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon mengaku akan menggencarkan
perjuangan persamaan hak-hak LGBT. LGBT juga menjadi salah satu agenda
penting Amerika Serikat (lihat:Dokumen USAID: “Being LGBT in Asia’ Report
Build Understanding)
Mereka memasarkan dan
mengkampanyekan program-programnya melaui berbagai sarana dan prasana,
diantaranya sebagai berikut:
1. Jalur Akademik
(Intelektual)
Mereka memanfaatkan perguruan
tinggi sebagai sarana untuk mempromosikan gerakannya. Misalnya dibuat ”Prinsip-Prinsip Yogyakarta” (The
Yogyakarta Principles) yang mendukung keberadaan kaum LGBT. Muncul
lembaga-lembaga pro LGBT di Universitas Indonesia (UI), yang bernama SGRC
(Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) Januari 2016 lalu.
2. Jalur Sosial Budaya
Kampanye keberadaan LGBT
dipropagandakan lewat berbagai media seperti: advokasi, konsultasi, film,
aksi lapangan, seni, media massa, dan sebagainya, tujuannya agar terjadi
pemahaman umum sehingga masyarakat menerima keberadaan LGBT.
3. Jalur Jaringan /
Komunitas
Tahun 2016, di Indonesia
ada 2 jaringan nasional pendukung LGBT, dan ada 119 kelompok LGBT di 28
propinsi (dari 34 propinsi) di Indonesia dengan jutaan pengikut. Atas sponsor
UNDP dan USAID, pada 13-14 Juni 2013, mereka berhasil mengelar Dialog
Komunitas LGBT Nasional Indonesia di Nusa Dua Bali. Pesertanya 71 orang dari
49 lembaga pro LGBT di Indonesia. (Sumber: docplayer.info, diakses 15/2/2016)
4. Jalur Bisnis
Keberadaan kaum LGBT
mendapatkan dukungan opini dan juga dana dari dunia bisnis. Beberapa merek
dagang dunia telah terang-terangan berkampanye mendukung atau pro LGBT.
Misalnya : Facebook, Whatsapp, LINE, dll
yang mempunyai simbol atau emoticon yang pro LGBT.
5. Jalur Politik
Di koran Republika
(12/2/2016) halaman 9 pada judul “Dubes AS Dukung LGBT” terdapat berita:
“Pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia menegaskan dukungannya
terhadap pernikahan sejenis di kalangan lesbian, gay, biseksual, dan
transgender (LGBT).
Dubes AS untuk Indonesia
Robert O Blake, bahkan mendesak Pemerintah Indonesia mengambil sikap serupa.”
“Saya tahu ini isu sensitif, tapi Indonesia sebagai negara demokrasi harus
bisa memberikan contoh bagi negara-negara lain,” kata Blake saat mengunjungi
kantor Harian Republika, Kamis (11/2). Ia mendorong Pemerintah Indonesia
memberikan contoh soal pemberian kesetaraan terhadap kaum LGBT karena selama
ini berhasil memimpin demokratisasi regional melalui Bali Democracy Forum.
Jelas sekali bahwa
propaganda LGBT merupakan sebuah konspirasi global yang akan membawa bahaya
besar bagi negeri ini dan penduduknya. Penyebaran LGBT di Indonesia,
merupakan upaya sistematis yang banyak dipengaruhi oleh serangan budaya
barat. Hal ini dimaksud untuk menjauhkan masyarakat Indonesia meninggalkan
ajaran agamanya, alias sekulerisme.
Karenanya harus ditolak dan dilawan oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia. Perlawanan dari segi hukum harus disiapkan sanksi bagi para
pelakunya. Jika tidak ada sanksi apa gunanya hukum? Bukankah hukum dibuat
sebagai sarana mencegah dan membuat jera pelaku kriminal. Jika tidak ada
sanksi, sama saja bohong. ●
|
jual viagra
BalasHapuspil biru
obat kuat viagra
viagra aslia
obat kuat jakart
viagra asli
obat kuat viagra
toko viagra jakarta
kios viagra bandung
jual viagra depok
penjual viagra tangerang
viagra bekasi
viagra karawang
viagra purwakarta