Reformasi
Hukum Kedua Jokowi
Kemala Atmojo ; Peminat Masalah Regulasi dan HAM
|
TEMPO.CO, 26 Januari 2017
Saat
ini terdapat lebih dari 40 ribu peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Untuk peraturan daerah saja, sejak Reformasi hingga 2015 telah diproduksi
lebih dari 3.000 peraturan daerah provinsi dan lebih dari 25 ribu peraturan
daerah kabupaten/kota. Tapi banyak di antaranya yang tumpang-tindih, tidak
berdaya guna, dan sebagian justru menghambat pelaksanaan pembangunan. Sejak
otonomi daerah diberlakukan, muncul ribuan peraturan daerah yang justru
bermasalah.
Tak
mengherankan, pada Reformasi Hukum Tahap I (Juni 2016), pemerintah mengimbau
agar lebih dari 3.000 peraturan daerah dibatalkan. Penyebabnya, banyak
regulasi yang multitafsir, berpotensi menimbulkan konflik, tumpang-tindih,
tidak sesuai asas, lemah dalam implementasi, tidak ada dasar hukumnya, tidak
ada aturan pelaksanaannya, dan menambah beban, baik terhadap kelompok sasaran
maupun yang terkena dampak regulasi. Kualitas regulasi yang buruk bisa
berdampak ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran, kinerja penyelenggara
negara yang rendah, daya saing ekonomi rendah, minat investasi menurun, dan
menimbulkan beban baru bagi masyarakat dan pemerintah.
Dalam
poin pertama Nawa Cita dinyatakan bahwa pemerintah akan menghadirkan kembali
negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada
seluruh warga negara melalui politik luar negeri bebas-aktif, keamanan
nasional yang terpercaya, dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra
terpadu, serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Dalam poin
keempat disebutkan, pemerintah menolak negara lemah dan mereformasi sistem
serta penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Lalu,
bagaimana menerapkannya? Menurut saya, perlu upaya agar ada kepercayaan
publik terhadap keadilan dan kepastian hukum. Maka pemerintah perlu
menyelesaikan kasus-kasus yang tertinggal, penataan regulasi, pembenahan
manajemen perkara, penguatan sumber daya manusia, serta penguatan kelembagaan.
Dalam
hal penataan regulasi, pemerintah harus menginventarisasi dan mengevaluasi
semua peraturan perundangan-undangan. Sebab, banyak kebijakan yang justru
memberi dampak negatif bagi masyarakat, yang mengakibatkan inefisiensi
anggaran. Pemborosan biaya tidak hanya terjadi dalam proses penyusunan, tapi
juga akibat regulasi yang telah diterbitkan tidak bermanfaat.
Pemerintah
harus menjawab dua pertanyaan yang saling berkaitan ini: apakah untuk
mengurus salah satu bidang tertentu seorang presiden harus meminta izin DPR?
Jika jawabannya "tidak", undang-undang untuk hal tersebut
sebenarnya tidak perlu. Kemudian, jika tidak ada undang-undangnya, apakah
presiden tidak bisa mengeluarkan kebijakan untuk menanganinya? Jika
jawabannya "bisa", lagi-lagi undang-undang tidak perlu. Sebab,
masih ada instrumen lain yang bisa dipakai, seperti peraturan pemerintah atau
peraturan presiden. Menurut saya, sejauh tidak berkaitan langsung dengan
hak-hak dasar masyarakat, hak asasi manusia, cukuplah pengaturannya dilakukan
melalui instrumen lain.
Maka,
Reformasi Hukum Tahap II kita nantikan. Hal ini bertujuan agar regulasi yang
dihasilkan benar-benar memenuhi fungsi pokoknya, yakni menjadi pedoman bagi
terselenggaranya dinamika sosial, sebagai instrumen penggerak sumber daya
untuk mencapai suatu tujuan, serta mengintegrasikan wilayah maupun
kebijakan-kebijakan lain dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Jadi,
hukum harus dapat mencegah dan mengatasi konflik-konflik kepentingan di
masyarakat.
Hukum
sebagai "suatu alat atau proses rekayasa sosial" (Nathan Roscoe
Pound) selalu harus dirumuskan dan digunakan untuk merekonstruksi dan
mentransformasi suatu masyarakat. Hukum dibuat untuk mencapai tujuan
tertentu, mencegah, dan mengatasi penyakit masyarakat. Soal efektivitas
hukum, menurut Anthony Allott, dapat diukur dari level kepatuhan atau
cocok-tidaknya suatu hukum. Kepatuhan hukum adalah syarat utama agar hukum
berfungsi pencegahan terhadap perilaku yang tidak dibolehkan; berfungsi
penyembuhan terhadap sikap dan tindakan yang telah terjadi, seperti sengketa,
ketidakadilan, dan kegagalan agar dapat diralat dan dipulihkan; serta
berfungsi facilitative untuk menyediakan pengakuan, jaminan, dan perlindungan
dari lembaga hukum, seperti kontrak, perkawinan, hak cipta, dan lain-lain.
Dalam
tataran yang lebih praktis, untuk membahas, merevisi, atau membuat regulasi
baru, cukuplah diuji terlebih dulu melalui metode regulatory impact analysis
(RIA) yang sedang dikembangkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional. RIA pada dasarnya adalah metode penilaian secara sistematis
terhadap dampak tindakan pemerintah. Di dalam metode ini termasuk dianalisis
biaya dan keuntungan serta biaya keefektifan sebuah ran-cangan peraturan
perundang-undangan. Jika lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya, untuk apa
membuat regulasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar