Pancasila
dalam Musik
Yudi Latif ;
Anggota Asosiasi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS, 31 Januari 2017
Semua
kekusutan dan kekisruhan yang mewarnai kehidupan negeri boleh jadi karena
kita tidak cukup menerima olah batin. Demokrasi dirayakan dengan pesta
jorjoran, miskin substansi dan refleksi; budaya dipadati tontonan
ingar-bingar, kurang tuntunan etis dan estetis; agama diekspresikan dalam
kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan dan penghayatan.
Ruang
publik disesaki sampah ucapan dengan menyisakan sedikit kerendahan hati untuk
diam-mendengar. Untuk penjernihan, kita harus keluar dari kegaduhan menuju
kesunyian. Jalaluddin Rumi berkata, ”Hening adalah lautan. Ucapan adalah
sungai. Saat lautan mencarimu, jangan melangkah memasuki sungai. Dengarkanlah
lautan.”
Kalaupun
harus memasuki sungai, masukilah aliran sungai suara yang bening; tempat
orang menemukan air jernih yang bisa digunakan untuk membersihkan diri.
Bahasa musik yang sanggup menembus batas-batas ego-mental dengan kemampuannya
menyentuh kedalaman hati bisa digunakan sebagai sarana olah batin. Manakala
kita sulit dipertemukan dalam ucapan verbal, musik bisa digunakan sebagai
sarana sambung rasa.
Di
tengah krisis kebangsaan, kita patut mengapresiasi inisiatif sejumlah musisi
yang menawarkan cara pengucapan berbeda. Bukan ucapan verbal yang memancing
cekcok tafsir dan pertikaian, melainkan ucapan nada yang menyentuh perasaan
yang membawa segala perbedaan menuju persatuan Indonesia. Seruan persatuan
nasionalnya akan lebih kuat jika tagline-nya bukan ”Satu Indonesiaku”,
melainkan ”Satu Indonesia Kita”; seraya menyertakan musisi yang lebih
inklusif, termasuk penyanyi dengan busana bernuansa keagamaan yang khas
(semacam berhijab).
Sosialisasi
nilai Pancasila lewat musik bisa menjadi alternatif dari kecenderungan yang
terlalu menekankan dimensi kognitif-normatif dengan pendekatan
intelektualistis yang kering. Kekuatan suatu ideologi bukan hanya terletak
pada kebernasan dan relevansi ide-idenya, melainkan juga pada kapasitasnya untuk
memberikan inspirasi dan membangkitkan gairah (passion) untuk bertindak.
Kita
memerlukan proses pembudayaan Pancasila secara holistik. Pengajaran Pancasila
tidak sekadar menawarkan butir-butir kode moralitas untuk dihafalkan (logos),
tetapi juga harus disajikan kreatif agar bisa menyentuh penghayatan emotif
(pathos), yang mendorong tekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai moral itu
dalam kehidupan nyata (ethos). Kita memerlukan pendekatan interaktif antara
dimensi kognitif-saintifik, ekspresif-estetik, dan praktis-moral. Ketiga
dimensi itu bernilai setara sehingga kehilangan salah satunya berisiko
kesenjangan dalam praksis Pancasila, seperti ketidakbersambungan antara
pikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakan (konatif).
Musik
bisa didayagunakan sebagai medium ekspresif-estetik untuk mengembangkan
penghayatan emotif terhadap Pancasila. Musik bisa menumbuhkan suasana
kejiwaan untuk mengasah kepekaan afektif dalam menghayati nilai-nilai
Pancasila. Menurut riset neuro-science, jenis lirik dan musik tertentu dapat
merangsang perkembangan otak, khususnya otak kanan, yang memperkuat daya
kreativitas dan afinitas sosial untuk siap bergotong royong.
Arti
penting musik juga lebih terasa dalam konteks masyarakat demokratis yang
bersifat ekspresif. Dalam ruang kebebasan berekspresi dan apresiasi, musik
bisa menjadi pilihan atraktif untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan,
terlebih dalam kehadiran lapis besar generasi X-Y-Z yang lebih terpapar
dengan medium kreatif. Fakta mayoritas penduduk Indonesia berusia muda, dan
mayoritas mereka menyukai musik, menjadikan musik sebagai medium efektif
untuk sosialisasi. Perkembangan terakhir, musik Indonesia juga telah menjadi
”tuan rumah” di negeri sendiri, seperti diindikasikan makin meluasnya pangsa
pasar lagu-lagu domestik. Singkat kata, kita harus sungguh-sungguh
mempertimbangkan besarnya potensi musik bagi proses emansipasi dan
transformasi bangsa dengan melibatkan musisi dalam proses diseminasi
nilai-nilai Pancasila.
Upaya
sosialisasi Pancasila melalui gerakan kebudayaan penting untuk melakukan
koreksi terhadap kecenderungan menjadikan politik dan ekonomi sebagai
panglima. Padahal, transformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya
mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi
sosial-budaya. Dalam gerakan sosial-budaya, musik bisa dijadikan wahana
representasi habitus Indonesia berbasis Pancasila. Habitus dalam pengertian
Pierre Bourdieu (1977) adalah skemata pengalaman dan persepsi bersifat
kolektif yang mengandung ekspresi-subyektif identitas tertentu dan juga
sebagai sarana-sarana obyektif bagi proses naturalisasi dan afirmasi
identitas tertentu. Dengan kata lain, musik bisa mengekspresikan nilai-nilai
Pancasila yang tumbuh di bumi Indonesia, dan pada saat bersama berfungsi
sebagai prinsip penganjur dan penyemai nilai-nilai Pancasila bagi rakyat
Indonesia.
Ambil
contoh permainan angklung. Setiap orang pada dasarnya memainkan satu nada
(menjadi diri sendiri), tetapi dengan kesadaran penuh untuk memberikan
kesempatan berbunyi bagi nada lain. Dalam suatu ensambel di bawah
kepemimpinan seorang dirigen, satuan-satuan ekspresi pribadi itu bisa
dipertautkan menjadi harmoni kolektif. Permainan angklung dapat merefleksikan
sekaligus membentuk kepribadian Indonesia.
Dengan
melibatkan para musisi, penggiat, dan penikmat musik lintas etnis-keagamaan
dan mengambil jarak dari pertarungan politik praktis dalam masyarakat,
gerakan Pancasila dalam musik juga bertindak sebagai medan perjumpaan bagi
artikulasi kepentingan umum dari kemajemukan bangsa. Suatu kekuatan
artikulasi kepentingan secara estetik, tanpa jalur kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar