Jumat, 02 Maret 2018

Mendesain Insentif Investasi

Mendesain Insentif Investasi
Haryo Kuncoro  ;   Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta;
Doktor Ilmu Ekonomi lulusan PPs-UGM Jogjakarta
                                                    JAWA POS, 28 Februari 2018



                                                           
KINERJA perekonomian sepanjang 2017 tidak menyurutkan optimisme pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi pada 2018. Dengan target 5,4%, pemerintah mengandalkan ekspor dan investasi.

Harapan tersebut masuk akal. Pemulihan perekonomian global, kendati masih tersendat, terus memperlihatkan kemajuan positif. Indikatornya, harga beberapa komoditas andalan ekspor di pasar dunia memperlihatkan perbaikan. Perbaikan rating dari lembaga pemeringkat internasional mempertebal keyakinan investasi akan menjadi lokomotif pertumbuhan. Hal ini memerlukan kerja keras lantaran memerlukan kenaikan investasi setidaknya 7%.

Dalam perspektif teoretis, pertumbuhan ekonomi yang disokong oleh investasi menawarkan banyak benefit. Selain lebih berkelanjutan (sustainable), investasi diikuti dengan transfer teknologi, penciptaan kesempatan kerja, dan perbaikan distribusi pendapatan. Dengan alur logika ini, pemerintah serius membangun infrastruktur untuk mengundang investasi lain di berbagai bidang.

Dalam konteks ini, pemerintah tengah menggodok insentif investasi berupa tax allowance, tax holiday bagi perusahaan ventura, insentif pajak bagi pelaku UKM, serta bagi kegiatan penelitian, pengembangan, dan pelatihan vokasi.

Dalam ranah empiris, efektivitas keempat skema insentif fiskal di atas masih menjadi perdebatan. Kebijakan tax allowance yang sudah diperkenalkan sejak 10 tahun lalu terbukti tidak menarik banyak peminat.
Situasi yang sama juga terjadi pada 16 paket deregulasi ekonomi. 
Kemudahan berusaha di berbagai sektor produksi tampaknya belum mampu membangkitkan hasrat pengusaha segera menanamkan modalnya.

Wacana tax holiday dalam bentuk dispensasi pembayaran PPh dan/ atau membayar PPh dengan tarif reduksi juga menyisakan pertanyaan. Penelitian IMF (2012) menunjukkan pengurangan pajak untuk menarik investasi hanya manjur untuk negara maju daripada negara berkembang.
Sehimpun fakta di atas menyarankan perlunya reorientasi dalam merancang insentif fiskal. Analisis komprehensif atas manfaat dan biaya terhadap pemberlakuan skema insentif perlu dicermati kembali.

Sebagai contoh, insentif fiskal niscaya memunculkan potensi kehilangan penerimaan negara seandainya insentif tidak diberikan. Sementara potensi penerimaan negara hilang, pemerintah harus mengeluarkan berbagai biaya administrasi dan ongkos pengelolaan insentif.

Apa pun bentuknya, insentif pajak akan memangkas biaya penggunaan modal sehingga mendorong kenai- kan permintaan barang modal. Sayangnya, pasokan barang modal inelastis. Konsekuensinya, insentif pajak bisa salah sasaran yang menguntungkan pemasok barang modal alih-alih investor.

Agar tidak salah sasaran, investor perlu diberi panduan secara detail sektor tertentu yang berhak mendapatkan insentif. Hal ini penting mengingat investasi yang berorientasi ekspor, terutama yang mudah berpindah (mobile), lebih sensitif terhadap insentif pajak.

Lebih spesifik lagi, insentif perlu diberikan pada level perusahaan. Insentif pajak tidak bekerja pada perusahaan yang menghadapi kendala keuangan. Pengalaman di Thailand, misalnya, perusahaan yang mendapat keuntungan dari insentif justru memiliki rasio keuangan yang lebih lemah daripada yang tidak.

Dalam skala internasional, pemberian insentif fiskal bisa menyeret masuk pada isu persaingan fiskal lintas negara. Artinya, insentif fiskal bisa mandul tatkala negara lain, terutama yang berada di satu kawasan, juga menawarkan insentif yang sama.

Insentif fiskal juga bisa ditafsirkan sebagai bagian dari politik dumping, terutama oleh negara lain yang tidak memberlakukan insentif sejenis. Dalam logika mereka, insentif membuat harga produk lebih murah sehingga menggerus pangsa pasar negara pesaing.

Per definisi, insentif bersifat temporer. Pada suatu saat, insentif fiskal bakal dicabut. Yang perlu dipikirkan adalah pencabutan insentif tidak otomatis melepas perusahaan penerima insentif layaknya perusahaan yang tidak menerima insentif.

Alhasil, insentif yang bersifat sementara memiliki dampak jangka pendek yang lebih besar daripada insentif yang permanen. Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah yang merupakan faktor lain di luar keputusan untuk memberikan insentif berfungsi sebagai subsidi investasi yang baik.

Harus diakui, insentif sejatinya adalah intervensi pasar. Eksistensi insentif fiskal terjustifikasi jika mampu mengoreksi inefisiensi pasar. Ketidakmampuan mengemban misi koreksi membuat insentif berubah menjadi kegagalan pemerintah, bahkan kegagalan policy.

Aspek penting lain adalah indikator baku untuk evaluasi. Untuk sektor industri dan perusahaan dengan produk fisik, evaluasi kuantitatif atas program pemberian relatif mudah dilakukan. Komparasi outcome antara sebelum dan sesudah insentif mengarahkan pada simpulan yang utuh.

Persoalan agak berbeda ketika menilai insentif di sektor jasa, khususnya kegiatan penelitian dan pengembangan serta perusahaan yang melakukan pelatihan vokasi. Kriteria kualitatif perlu ditetapkan secara kukuh untuk menghindari ambiguitas simpulan akhir.

Dengan konfigurasi problematika di atas, efektivitas insentif fiskal sangat bergantung pada ekosistem usaha di Indonesia. Tanpa mengalkulasi semua karakteristiknya, insentif fiskal niscaya memiliki efek yang sangat terbatas.

Alhasil, insentif fiskal menjadi syarat perlu untuk mencapai tujuan kebijakan industri, seperti diversifikasi investasi, peningkatan nilai tambah, promosi ekspor, dan substitusi impor. Syarat cukupnya adalah iklim investasi. Jelasnya, pemerintah harus mendedikasikan kebijakannya untuk memperbaiki iklim investasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar