Kuasa
Menguasai DPR
Mei Susanto ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad Bandung
|
DETIKNEWS,
28 Februari
2018
Drama politik perebutan
kekuasaan di DPR Periode 2014-2019 seperti tak pernah berhenti. Perebutan
kekuasaan yang dimaksud adalah perebutan kursi pimpinan DPR yang sejak 2014
hingga awal 2018 ini setidaknya sudah empat kali terjadi pergantian Ketua
DPR. Dari mulai Setya Novanto kemudian digantikan Ade Komarudin, kemudian
kembali lagi ke Setya Novanto, dan terakhir Bambang Soesatyo. Pada awal
Februari 2018 ini, DPR dan Pemerintah kembali menyepakati untuk melakukan
revisi terbatas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
demi memberikan jalan agar partai yang memperoleh kursi terbanyak (baca PDIP)
dapat memperoleh kursi pimpinan DPR.
Berbeda dengan perebutan
pimpinan DPR sebelumnya yang penuh hiruk-pikuk, pemberian jatah pimpinan DPR
bagi PDIP kali ini berjalan mulus karena terdapat juga penambahan tiga
pimpinan MPR yang rencananya akan diberikan kepada PDIP, Partai Gerindra, dan
PKB. Sementara, PPP dan Partai Nasdem tidak kebagian jatah, sehingga
mengakibatkan walkout yang dapat diduga karena alasan tersebut.
Penambahan jumlah kursi
pimpinan DPR dan MPR (serta DPD) dalam revisi UU MD3 tersebut sungguh ironis,
karena hanya menunjukkan kompromi politik dan semangat bagi-bagi kue pimpinan
parlemen yang dapat dilihat dari keberlakuan jumlah pimpinan DPR, MPR dan DPD
tersebut sampai dengan 2019, sebab setelah 2019 maka akan kembali pada aturan
sebelumnya. Apalagi ditambah arogansi DPR yang menambah pasal pidana bagi
yang melakukan kritik pada DPR dan pasal keharusan adanya pertimbangan dari MKD
dan persetujuan Presiden jika ada anggota DPR yang akan diproses hukum.
Inilah ironi DPR periode ini, yang lebih mengedepankan semangat kuasa
menguasai DPR dibandingkan pemenuhan tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat.
Merebut
Kekuasaan
Perebutan kekuasaan bagi
lembaga-lembaga politik adalah suatu hal yang biasa. Bahkan dalam sistem
demokrasi yang baik, pelembagaan proses perebutan kekuasaan difasilitasi. Hal
tersebut tidak lain untuk menjamin agar perebutan kekuasaan dilakukan dengan
cara yang damai dan tidak berdasarkan kekerasan apalagi pertumpahan darah.
Pelembagaan perebutan
kekuasaan tersebut biasanya dilakukan melalui pemilihan umum yang gradual
dengan rentang waktu beberapa tahun sekali. Sebagai dampaknya,
institusi-institusi negara yang merepresentasikan politik akan diisi oleh
para politisi yang memenangkan kontestasi tersebut. Karena itu perebutan
kekuasaan di DPR sebagai representasi perwakilan politik pun harus dipandang
suatu hal yang biasa dan lumrah. Namun, bukan berarti perebutan kekuasaan
tersebut dilakukan secara terus-menerus yang membuat terabaikannya tugas dan
fungsi pokok dari DPR itu sendiri.
Perebutan kekuasaan di DPR
Periode 2014-2019 ini memang dapat dikatakan sangat over. Bagaimana tidak?
Setelah dilantik pada 1 Oktober 2014 lalu, DPR mengalami pembelahan. Hal yang
menurut Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra tidak lazim, karena
pembelahan pemerintahan (divided government) biasanya terjadi antara
eksekutif dan legislatif, bukan di internal legislatif.
Dalam kasus di DPR,
ternyata internalnya yang terbelah dan terbagi ke dalam kubu Koalisi Merah
Putih (KMP) dan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai kelanjutan
kontestasi Pemilu Presiden 2014. Ketika itu, kubu KMP berhasil menguasai
hampir seluruh pimpinan mulai dari pimpinan DPR sampai dengan pimpinan alat
kelengkapan dewan. Kisruh tersebut dimulai dari persoalan UU MD3 yang
disahkan pada 2014 yang merupakan tahun politik, yang mengubah sistem
pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan dari partai dengan perolehan
suara terbanyak menjadi sistem paket terbuka.
Persoalan tersebut pun
sampai dibawa ke MK. Sayangnya MK menyatakan persoalan tersebut sebagai open
legal policy, bukan merupakan persoalan konstitusi. Akibatnya, setelah DPR
mulai bersatu dan tidak terbelah lagi, keinginan untuk menampung partai yang
memperoleh kursi terbanyak di dalam Pimpinan DPR maupun alat kelengkapan
Dewan harus melalui jalan revisi UU MD3. Di sinilah kita dapat melihat hukum
harus tunduk pada kemauan berkuasa. Hukum yang harusnya menjadi pembatas dan
menjadi rel bagi politik perebutan kekuasaan, justru dibuat sedemikian rupa
sehingga hukum terserah siapa yang berkuasa.
Pelajaran
Penting
Lakon kuasa menguasai DPR
tersebut seharusnya menjadi pelajaran penting, khususnya bagi penyelenggara
pemerintahan. Akibat perebutan kekuasaan, energi DPR banyak terkuras,
sehingga tugas dan fungsinya tidak dapat berjalan dengan optimal. Sebagai
contoh dalam fungsi legislasi, di mana Prolegnas Prioritas tahun 2015
sebanyak 50 RUU hanya tercapai 17 UU, tahun 2016 dari 51 RUU prioritas hanya
tercapai 22 UU, bahkan pada tahun 2017 dari 52 RUU prioritas hanya 6 UU yang
dicapai.
Belum lagi kalau berbicara
soal fungsi pengawasan dan fungsi anggaran yang belum optimal. Tidak salah
jika kemudian kita dapat menyebut sepanjang 2014-2018 ini DPR masih sibuk
dengan dirinya sendiri.
Pelajaran penting yang
harus dipetik agar tidak diulangi kembali kuasa menguasi DPR secara
berlebihan adalah menempatkan hukum sebagai pembatas kekuasaan. Kekuasaan
politik harus patuh terhadap rel hukum yang mengaturnya. Karenanya hukum
tidak hanya memenuhi kaidah kepastian melainkan juga memperhatikan betul
kewajaran dan kebiasaan yang timbul sehingga akan melahirkan keadilan.
UU MD3 sebagai acuan DPR
semestinya memberikan pembatasan dan pembagian yang adil bagi
terselenggaranya perebutan kekuasaan di internal DPR. Harus menjadi fatsoen
politik bahwa yang memiliki kursi terbanyak di DPR-lah yang menjadi pimpinan
DPR. Hal tersebut tidak hanya harus menjadi konvensi ketatanegaraan,
melainkan juga harus tercermin dalam UU MD3. Ini adalah bentuk penghormatan
dan penghargaan atas proses kedaulatan rakyat yang tercermin dalam pemilihan
umum. Dengan demikian, proses perebutan kekuasaan di DPR didasarkan atas
pilihan rakyat, bukan melalui mekanisme pasar bebas sehingga akan merusak
sendi-sendi kehidupan politik.
Hal lain yang tidak kalah
penting, seharusnya pembahasan UU yang mengatur persoalan politik tidak
dilakukan ketika musim politik tiba, mengingat akan banyak kepentingan sehingga
mempengaruhi muatan UU yang lebih menguntungkan kelompok tertentu. Tentu kita
berharap DPR yang hanya tinggal kurang dari 2 tahun ini dapat segera
berbenah, dan fokus meningkatkan kinerja sehingga harapan dan keinginan
rakyat dapat berdaulat dalam mengelola negara dapat terealisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar