Jumat, 02 Maret 2018

Kuasa Menguasai DPR

Kuasa Menguasai DPR
Mei Susanto  ;   Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad Bandung
                                                  DETIKNEWS, 28 Februari 2018



                                                           
Drama politik perebutan kekuasaan di DPR Periode 2014-2019 seperti tak pernah berhenti. Perebutan kekuasaan yang dimaksud adalah perebutan kursi pimpinan DPR yang sejak 2014 hingga awal 2018 ini setidaknya sudah empat kali terjadi pergantian Ketua DPR. Dari mulai Setya Novanto kemudian digantikan Ade Komarudin, kemudian kembali lagi ke Setya Novanto, dan terakhir Bambang Soesatyo. Pada awal Februari 2018 ini, DPR dan Pemerintah kembali menyepakati untuk melakukan revisi terbatas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) demi memberikan jalan agar partai yang memperoleh kursi terbanyak (baca PDIP) dapat memperoleh kursi pimpinan DPR.

Berbeda dengan perebutan pimpinan DPR sebelumnya yang penuh hiruk-pikuk, pemberian jatah pimpinan DPR bagi PDIP kali ini berjalan mulus karena terdapat juga penambahan tiga pimpinan MPR yang rencananya akan diberikan kepada PDIP, Partai Gerindra, dan PKB. Sementara, PPP dan Partai Nasdem tidak kebagian jatah, sehingga mengakibatkan walkout yang dapat diduga karena alasan tersebut.

Penambahan jumlah kursi pimpinan DPR dan MPR (serta DPD) dalam revisi UU MD3 tersebut sungguh ironis, karena hanya menunjukkan kompromi politik dan semangat bagi-bagi kue pimpinan parlemen yang dapat dilihat dari keberlakuan jumlah pimpinan DPR, MPR dan DPD tersebut sampai dengan 2019, sebab setelah 2019 maka akan kembali pada aturan sebelumnya. Apalagi ditambah arogansi DPR yang menambah pasal pidana bagi yang melakukan kritik pada DPR dan pasal keharusan adanya pertimbangan dari MKD dan persetujuan Presiden jika ada anggota DPR yang akan diproses hukum. Inilah ironi DPR periode ini, yang lebih mengedepankan semangat kuasa menguasai DPR dibandingkan pemenuhan tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat.

Merebut Kekuasaan

Perebutan kekuasaan bagi lembaga-lembaga politik adalah suatu hal yang biasa. Bahkan dalam sistem demokrasi yang baik, pelembagaan proses perebutan kekuasaan difasilitasi. Hal tersebut tidak lain untuk menjamin agar perebutan kekuasaan dilakukan dengan cara yang damai dan tidak berdasarkan kekerasan apalagi pertumpahan darah.

Pelembagaan perebutan kekuasaan tersebut biasanya dilakukan melalui pemilihan umum yang gradual dengan rentang waktu beberapa tahun sekali. Sebagai dampaknya, institusi-institusi negara yang merepresentasikan politik akan diisi oleh para politisi yang memenangkan kontestasi tersebut. Karena itu perebutan kekuasaan di DPR sebagai representasi perwakilan politik pun harus dipandang suatu hal yang biasa dan lumrah. Namun, bukan berarti perebutan kekuasaan tersebut dilakukan secara terus-menerus yang membuat terabaikannya tugas dan fungsi pokok dari DPR itu sendiri.

Perebutan kekuasaan di DPR Periode 2014-2019 ini memang dapat dikatakan sangat over. Bagaimana tidak? Setelah dilantik pada 1 Oktober 2014 lalu, DPR mengalami pembelahan. Hal yang menurut Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra tidak lazim, karena pembelahan pemerintahan (divided government) biasanya terjadi antara eksekutif dan legislatif, bukan di internal legislatif.

Dalam kasus di DPR, ternyata internalnya yang terbelah dan terbagi ke dalam kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai kelanjutan kontestasi Pemilu Presiden 2014. Ketika itu, kubu KMP berhasil menguasai hampir seluruh pimpinan mulai dari pimpinan DPR sampai dengan pimpinan alat kelengkapan dewan. Kisruh tersebut dimulai dari persoalan UU MD3 yang disahkan pada 2014 yang merupakan tahun politik, yang mengubah sistem pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan dari partai dengan perolehan suara terbanyak menjadi sistem paket terbuka.

Persoalan tersebut pun sampai dibawa ke MK. Sayangnya MK menyatakan persoalan tersebut sebagai open legal policy, bukan merupakan persoalan konstitusi. Akibatnya, setelah DPR mulai bersatu dan tidak terbelah lagi, keinginan untuk menampung partai yang memperoleh kursi terbanyak di dalam Pimpinan DPR maupun alat kelengkapan Dewan harus melalui jalan revisi UU MD3. Di sinilah kita dapat melihat hukum harus tunduk pada kemauan berkuasa. Hukum yang harusnya menjadi pembatas dan menjadi rel bagi politik perebutan kekuasaan, justru dibuat sedemikian rupa sehingga hukum terserah siapa yang berkuasa.

Pelajaran Penting

Lakon kuasa menguasai DPR tersebut seharusnya menjadi pelajaran penting, khususnya bagi penyelenggara pemerintahan. Akibat perebutan kekuasaan, energi DPR banyak terkuras, sehingga tugas dan fungsinya tidak dapat berjalan dengan optimal. Sebagai contoh dalam fungsi legislasi, di mana Prolegnas Prioritas tahun 2015 sebanyak 50 RUU hanya tercapai 17 UU, tahun 2016 dari 51 RUU prioritas hanya tercapai 22 UU, bahkan pada tahun 2017 dari 52 RUU prioritas hanya 6 UU yang dicapai.

Belum lagi kalau berbicara soal fungsi pengawasan dan fungsi anggaran yang belum optimal. Tidak salah jika kemudian kita dapat menyebut sepanjang 2014-2018 ini DPR masih sibuk dengan dirinya sendiri.

Pelajaran penting yang harus dipetik agar tidak diulangi kembali kuasa menguasi DPR secara berlebihan adalah menempatkan hukum sebagai pembatas kekuasaan. Kekuasaan politik harus patuh terhadap rel hukum yang mengaturnya. Karenanya hukum tidak hanya memenuhi kaidah kepastian melainkan juga memperhatikan betul kewajaran dan kebiasaan yang timbul sehingga akan melahirkan keadilan.

UU MD3 sebagai acuan DPR semestinya memberikan pembatasan dan pembagian yang adil bagi terselenggaranya perebutan kekuasaan di internal DPR. Harus menjadi fatsoen politik bahwa yang memiliki kursi terbanyak di DPR-lah yang menjadi pimpinan DPR. Hal tersebut tidak hanya harus menjadi konvensi ketatanegaraan, melainkan juga harus tercermin dalam UU MD3. Ini adalah bentuk penghormatan dan penghargaan atas proses kedaulatan rakyat yang tercermin dalam pemilihan umum. Dengan demikian, proses perebutan kekuasaan di DPR didasarkan atas pilihan rakyat, bukan melalui mekanisme pasar bebas sehingga akan merusak sendi-sendi kehidupan politik.

Hal lain yang tidak kalah penting, seharusnya pembahasan UU yang mengatur persoalan politik tidak dilakukan ketika musim politik tiba, mengingat akan banyak kepentingan sehingga mempengaruhi muatan UU yang lebih menguntungkan kelompok tertentu. Tentu kita berharap DPR yang hanya tinggal kurang dari 2 tahun ini dapat segera berbenah, dan fokus meningkatkan kinerja sehingga harapan dan keinginan rakyat dapat berdaulat dalam mengelola negara dapat terealisasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar