Sabtu, 30 Desember 2017

Mendamba Pilkada Serentak dengan Kesantunan Politik

Mendamba Pilkada Serentak
dengan Kesantunan Politik
Adi Prinantyo ;  Wartawan Kompas
                                                    KOMPAS, 22 Desember 2017



                                                           
Deru Pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 menyisakan serpihan luka di sebagian warga Ibu Kota. Konflik horizontal tak menajam karena ada tersisa kedewasaan politik di masyarakat. Kedewasaan itu bersumber dari kesadaran bahwa Republik Indonesia adalah bangsa majemuk sehingga keberagaman menjadi keniscayaan.

Tahun 2018 menjadi tahun politik. Ada pilkada serentak di 171 daerah. Polri menilai, ada lima provinsi dengan kerawanan tinggi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Penilaian itu antara lain dengan mempertimbangkan populasi daerah dan dinamika partai politik.

Adapun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018 yang disusun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan, kerawanan pemilihan gubernur di tiga provinsi tergolong tinggi, yakni di Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat. Terkait dengan pilkada di 154 kabupaten/kota, ada enam daerah yang termasuk rawan, yaitu Kabupaten Mimika, Paniai, Jayawijaya, dan Puncak (Papua), Kabupaten Konawe (Sulawesi Tenggara), serta Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur (Kompas, 8/12).

Jika energi publik Jakarta ibarat terkuras dengan Pilkada DKI 2017, bagaimana dengan pilkada di 171 daerah? Seiring definisi, politik adalah kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu, wajar jika politisi berusaha memengaruhi publik agar memilih mereka.

Yang menjadi masalah, bagaimana kampanye atau proses memengaruhi publik itu dilakukan. Pengalaman menunjukkan, kampanye bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memicu konflik horizontal masyarakat, apalagi jika materinya tidak disuarakan dengan santun dan saling hormat satu sama lain.

Harus diakui, sebagian pilkada kita tidak diwarnai politik santun. Ironis, politisi yang figur publik mengabaikan kesantunan politik demi tujuan politik pribadi dan juga golongan.

Dengan pilkada serentak 2018 yang bakal meningkatkan tensi politik di Tanah Air, sangat relevan disuarakan imbauan agar kontestan pilkada, baik pasangan calon, partai politik, maupun tim pemenangan calon, mengedepankan politik santun tanpa cara-cara provokatif.

Tidak provokatif

Imbauan itu disampaikan beberapa pihak, seperti dikutip Kompas, Jumat (1/12). Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Rapat Kerja Nasional III MUI di Bogor, mengimbau kontestan pilkada mengutamakan cara yang baik, santun, dan tak provokatif. Para ulama berpandangan, tensi politik saat Pilkada 2018, jika tak dikelola dengan baik, dapat memicu konflik horizontal.

Menurut Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi, juga penting bagi para kontestan untuk mengedepankan kepentingan umum. Kontestan diharapkan tidak menggunakan segala cara tanpa menghiraukan dampak buruk bagi masyarakat.

Imbauan senada dilontarkan Pemuda Muhammadiyah. Salah satu rekomendasi Tanwir III Pemuda Muhammadiyah adalah mendorong pelaksanaan akhlak politik. “Akhlak politik itu, politik yang menjaga spiritualitas serta merawat hak kemanusiaan,” kata Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Praktik politik yang dijalankan harus mencerminkan budi pekerti baik, bukan praktik politik rente dan politik uang hanya demi kekuasaan.

Politisi yang bersaing dalam pilkada sepatutnya memahami kepentingan publik yang harus diutamakan. Kekuasaan yang diraih dalam pilkada mesti dikembalikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Imbauan politik santun dan mengembalikan hakikat kekuasaan untuk rakyat menjadi kian penting demi perwujudan esensi pilkada sebagai pesta demokrasi. Pesta itu mutlak terwujud utuh: berlangsung damai dan melahirkan pemimpin yang memakmurkan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar