Kamis, 05 April 2018

Ghost Fleet, Iklan Zaman Now, dan Blunder Gerindra

Ghost Fleet, Iklan Zaman Now, dan Blunder Gerindra
Effnu Subiyanto  ;   Senior Advisor Cikalafa-umbrella;
Direktur Koridor; Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
                                              MEDIA INDONESIA, 05 April 2018



                                                           
MENCARI perhatian pada zaman now ini memang di luar framework pemikiran normal manusia. Beberapa waktu lalu seluruh media massa Indonesia dipenuhi iklan proyek properti sampai berbulan-bulan dan menyita mainstream yang mahal. Menggunakan iklan pada media sosial start-up semisal wall Facebook, Twitter, dan Instagram sudah tidak efektif lagi dan dengan cepat tampak menjadi kuno.

Namun, berbeda dengan strategi iklan buku fiksi Ghost Fleet (GF) yang menggelegar akhir-akhir ini. Pimpinan partai besar bahkan tertarik membahasnya dalam forum resmi partai, tokoh-tokoh dunia pun memberikan komentar dan kian ramai. Model penjualan buku fiksi GF ini tentu tidak biasa dan akhirnya justru memopulerkan buku GF menjadi buku yang laris.

Buku GF karya Peter Warren Singer dan August Cole yang memancing polemik itu justru menuai berkah karena diberikan 'sinopsis' gratis oleh Prabowo Subianto dan seluruh media massa Indonesia. Bahkan Darby Stratford, peneliti badan intelijen Amerika Serikat Central of Intelligent Agency (CIA), juga memberikan komentar atas novel tersebut. Komentar Stratford diunggah dalam laman resmi CIA.

Basis fiksi yang menjadi sentrum buku tersebut ialah konflik energi yang kemudian memicu perang dunia ketiga antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia. Prajurit cyber Tiongkok mampu meretas sistem militer berbasis satelit Amerika Serikat dan menjadikan Tiongkok dan Rusia unggul di medan perang teknologi.

Menarik isu energi dalam konstelasi politik global sebetulnya kini tidak populis jika melihat perkembangan harga minyak yang justru antitesis. Peneliti Stephen Leb PhD dalam bukunya, The Oil Factor (2004), dan disusul buku berikutnya, The Coming Economic Collapse (2006), memperkirakan harga minyak akan US$200 per barel pada 2010. Leb menggunakan asumsi bahwa tingkat produksi minyak beberapa negara terus berkurang. Misalnya produksi minyak AS pada 1970 mampu 9 juta bph, pada 2007 hanya mampu 5,5 juta bph. Cadangan minyak Saudi pada 1979 masih 110 miliar barel dan kini tinggal separuhnya, sementara permintaan minyak dunia per tahun naik 1,5%-2%.

Leb belum memperkirakan teknologi shale oil dan shale gas pada 2010-an dan akhirnya mengobrak-abrik harga minyak mentah pada titik terendah seperti saat ini. Riset Reuter (2007) malah benar karena meramalkan bahwa harga minyak pada 2010 hanya mencapai US$51,4 per barel akibat diversifikasi energi.

Namun, karena buku GF adalah hiburan, krisis energi yang ditarik tidak perlu dipersoalkan. Hanya perlu diketahui bahwa kedudukan Indonesia sebetulnya figuran dalam buku fiksi tersebut. Untuk menambah dramatisasi efek fiksi, Indonesia pada 2030 itu ditulis sebagai 'bekas negara Indonesia' yang maknanya negara Indonesia sudah menjadi korban terlebih dulu dari efek perang dunia maya yang sebetulnya sudah berlangsung sejak tahun-tahun ini.

Penulis Warren Singer dan August Cole tentu jeli memanfaatkan momentum GF dengan menarik 'bekas Indonesia' dalam buku fiksi karena mengetahui konstruksi psikis rakyat Indonesia yang mudah terpancing jika mendiskusikan kebangsaan. Jika saja pada buku tersebut Indonesia ditulis sebagai negara demokratis terbesar atau hal-hal yang positif dan menyenangkan, tentu buku GF tidak akan laku dibahas politisi Indonesia. Momentum waktunya juga sangat tepat karena berbarengan dengan tahun-tahun politik pendahuluan pada pilkada serentak 2018 dan agenda politik akbar 2019.

Dari sisi timing tentu penulis Warren Singer dan Cole unggul dan tentu saja sudah mempertimbangkan jumlah penduduk 250 juta sebagai pasar potensial buku tersebut. Hanya 1 juta saja penduduk Indonesia membeli atau mengunduh dalam format digital, Warren Singer dan Cole langsung seketika menjadi sangat populer.

Konspirasi intelektual

Sebuah produk fiksi yang terangkat dalam perbincangan nasional dan jagat maya memang buku GF. Semakin membuat konflik dan semakin ramai dibicarakan maka penjualannya akan semakin laris karena akan memancing psikologis seseorang untuk mengetahui duduk persoalan sebenarnya.

Beberapa tahun silam buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro juga laris manis karena keberaniannya membuka bisnis keluarga Presiden SBY ketika itu. Warren Singer dan Cole sebenarnya menggunakan metode yang tidak terlalu jauh berbeda dengan yang dilakukan George Junus dan seharusnya bukan hal yang aneh.

Yang membedakan kali ini karena bakal calon presiden 2019-2024 Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto menyitir buku itu yang jelas-jelas fiksi. Rakyat Indonesia pasti akan terjebak dalam kerangka pikir apakah Prabowo memiliki interest dengan buku tersebut ataupun atas tendensi politik semata. Sekelas politisi Gerindra, kajian politis yang dalam seharusnya dimiliki tidak serta-merta menyitir atau menyadur dari buku fiksi yang tujuan awalnya untuk hiburan.

Jika berdasarkan kajian, justru Indonesia tidak bubar pada 2030. Laporan lembaga riset internasional Pricewaterhousecoopers (PwC) September 2017 malah menyebutkan Indonesia ialah salah satu dari 21 negara dengan pertumbuhan sangat pesat. Negeri 'bekas Indonesia' pada buku GF tersebut malah berada di posisi 5 setelah Brasil, Rusia, Tiongkok, dan India.

Dari sisi PDB, Indonesia juga berada di urutan ke-5. PDB Indonesia mencapai US$5,42 triliun dengan pendapatan per kapita di atas US$18 ribu. PDB Indonesia itu di bawah Tiongkok dengan PDB US$38,01 triliun, PDB Amerika Serikat US$23,47 triliun, PDB India US$19,61 triliun, dan PDB Jepang US$5,61 triliun.

Tidak hanya PwC, Yayasan Indonesia Forum (YIF) pun memunculkan mimpi baru dengan Visi 2030. Lembaga MPR bahkan sudah menetapkan dalam Tap MPR VII/2001.

Perbedaan hasil penafsiran antara PwC dan Warren Singer yang juga peneliti politik dan perang itu tentu saja merefleksikan muatan dan kepentingan. Normal rakyat Indonesia mempertanyakan agenda buku GF yang mencerminkan interest penulisnya dan tentu saja kepentingan strategis di baliknya yang notabene pemerintah AS.

Tersirat kecemasan pemerintahan Donald Trump apabila Indonesia berbelok dari politik bebas aktif menuju ke arah poros tertentu. Warren dan Cole berlindung sebagai penulis melakukan counter-attack dengan mendiskreditkan poros tertentu dengan mendramatisasikan kapal-kapal dengan teknologi lama sebagai kapal hantu atau ghost fleet.

Warren menarik dasar psikologis bangsa Indonesia yang pernah berperang secara tradisional menggunakan bambu runcing melawan senjata api pada masa kolonial Belanda dan imperialis Jepang. Harapan Warren dan Cole tentu kasatmata, undangan menghadang ekspansi ekonomi Tiongkok yang nanti akan mengancam AS pada 2030.

Kini sebaiknya dihentikan polemik buku GF karena sangat membuang waktu. Jika Prabowo Subianto dan kandidat lainnya akan mencalonkan diri sebagai presiden alternatif, sebaiknya mengambil tema-tema baru yang orisinal dan cerdas. Memunculkan 'Indonesia Bubar' malah kontraproduktif dan blunder bagi Partai Gerindra. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar