Memikir
Ulang Pendidikan
Daoed JOESOEF ; Alumnus Université Pluridisciplinaires
Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS, 25 Januari 2017
Memasuki
2017, demi menciptakan prospek ekonomi, Menteri Koordinator Perekonomian
Darmin Nasution menerbitkan paket kebijakan untuk mendorong investasi di
sektor-sektor tertentu. Terlepas dari
penilaian tepat-tidaknya relevansi tindakan tersebut, kebijakan ini adalah
tindakan antisipatif pemerintahan yang terpuji sebab gouverner c’est prevoir, ”memerintah adalah memprediksi”. Dalam
hal ini pemerintah menyatakan bahwa ke depan ada masalah nasional dan sanggup
mengatakan kepada rakyat apa-apa yang tidak mereka sadari.
Kebijakan
serupa sebenarnya pantas diharapkan datang dari Menko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (PMK) mengingat di salah satu bidang yang menjadi tanggung
jawabnya, yaitu pendidikan, terdapat segudang masalah yang perlu direspons
secara relevan. Ujian nasional (UN), misalnya, jangan dianggap enteng. Ia
adalah pucuk gunung es yang mengancam, tetapi tidak kasatmata.
Menko
PMK bersama Mendikbud perlu dibiarkan melaksanakan kewenangannya, tanpa
direcoki pejabat lain, untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan nasional
karena bermuara pada masa depan negara-bangsa. Berbagai paket kebijakan
pendidikan perlu segera diterbitkan untuk menghentikan karut-marut pendidikan
nasional. Kekacauan pendidikan ini sudah lama, sudah melembaga. Pencarian
solusi kemelut pendidikan ini nyaris seluruhnya berada dalam yurisdiksi
nasional. Pembangunan pendidikan manusia Indonesia perlu direhabilitasi.
Pelumpuhan negara
Ada
dua cara yang membuat negara-bangsa semakin lama semakin lumpuh. Pertama,
melibatkannya dalam peperangan atau konflik berkepanjangan. Kedua, apabila
pendidikan anak-anak bangsa diabaikan. Kedua aksi tersebut, walau tanpa
disadari, sedang terjadi di NKRI.
Secara
formal Indonesia memang tidak berperang. Tetapi, secara faktual, ia sudah
dikacau oleh aneka disguised proxy wars berupa radikalisme antaragama, aksi
teror, perang hibrida, peredaran narkoba, penisbian moral kebangsaan, serta
pencemaran nilai-nilai kepancasilaan dan kebineka-tunggal-ikaan.
Secara
formal proses pendidikan tetap berjalan, tetapi secara faktual ia bagai
kerokot tumbuh di batu hidup segan mati tak mau. Perjalanannya kacau karena
sudah dibebani aneka tindakan yang irelevan dan irasional seperti gonta-ganti
kurikulum pembelajaran yang diikuti dengan berubahnya buku teks pelajaran dan
format rapor; hilangnya bahasa pengantar bahasa Indonesia (yang merupakan
bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda) di sebagian sekolah; sekolah dan dinas
pendidikan hanya berlomba mencari ranking tinggi dengan mengabaikan fungsi
utama pendidikan, yaitu pendidikan karakter; pendapat umum memasuki perguruan
tinggi (PT) melalui jalur undangan diutamakan bagi siswa lulusan sekolah
negeri; belum jalannya kebijakan sekolah inklusi walau sudah acap kali
dicanangkan; pejabat kepala dinas di daerah kadang bukan berasal dan mengerti
pendidikan.
Ada
beberapa hal penting yang harus diperhatikan seperti penyampaian materi yang
bersifat kearifan lokal seperti cara menghadapi bencana tsunami, erupsi
gunung, banjir, gempa, tanah longsor tidak hanya dipelajari sekadarnya,
tetapi harus disampaikan secara menarik dan menyenangkan; pengamalan
keseharian dan praktis dari Pancasila dan nilai keindonesiaan di
sekolah-sekolah karena materi ini bukan hanya untuk dihafalkan saja;
pembuatan kisi-kisi UN dan USBN di sekolah menengah yang perlu lebih
diperjelas dan difokuskan dengan materi ujian sehingga siswa dan gurunya
tidak menjadi bingung karena terlalu luas.
Pembangunan
manusia Indonesia yang pancasilais harus diserahkan pelaksanaannya kepada
mereka yang tahu pendidikan dan paham nilai-nilai kepancasilaan. Pendidikan
memang masalah setiap orang, tetapi tidak semua orang tahu pendidikan walaupun
berprofesi guru.
Makna pendidikan
Misteri
terbesar bukanlah bahwa kita terlempar secara acak di antara limpahan materi
dan bintang, tetapi bahwa di dalam perangkap ini kita menciptakan citra yang
cukup kuat untuk mengatasi ketidakberdayaan kita, to deny our nothingness.
Bantahan ini diwujudkan melalui dan oleh proses pendidikan yang relevan.
Hidup
manusia memang bertabur masalah. Tidak jarang jawaban terhadap sesuatu
masalah malah menjadi masalah baru. Walaupun begitu, ada satu kebenaran:
jawaban mengenai masalah nasional kita mengerucut ke satu perkataan (baca:
perbuatan), yaitu pendidikan.
Progres
kita selaku suatu negara-bangsa tidak akan bisa lebih cepat daripada
perkembangan pendidikan nasional kita. Kemajuan pendidikan bergantung pada
penegasan bahwa kemerdekaan nasional tidak nominal terus-menerus, tetapi
menjadi satu realitas yang tak terbantah.
Pendidikan
bertujuan mengetahui bukan fakta, melainkan nilai. Adalah satu keniscayaan,
menurut Einstein, bahwa siswa/mahasiswa mendapat pemahaman dan perasaan
tentang nilai. Dia perlu memperoleh makna yang jernih mengenai keindahan dan
kebaikan moral. Jika tidak, dengan pengetahuannya yang spesialistis, dia akan
lebih mirip dengan a well trained dog than a harmoniously developed person,
orang yang berilmu pengetahuan, tetapi tanpa karakter yang baik.
Terkait
keniscayaan tersebut, pendidikan sejatinya adalah membelajarkan kita
bagaimana berpikir (how to think), bukan memikirkan apa (what to think), yang
memungkinkan kita berpikir untuk diri sendiri dan lalu mengisi ingatan dengan
memikirkan orang lain. Moralitas bukan doktrin bagaimana kita membuat diri
sendiri bahagia, melainkan bagaimana kita membuat diri pantas berbahagia.
Berarti,
pikiran manusia adalah sumber mendasar kita dan karena itu pembelajaran dan
pikiran terpaut bagai lepat dengan daun. Belajar tanpa pikiran adalah
membuang tenaga; pikiran tanpa belajar adalah sia-sia belaka.
Berhubung
setiap makhluk bernyawa akan menjalani sisa hidupnya di masa depan, kita
wajar memprediksi bahwa pendidikan tentang masa depan berupa pembentukan
pikiran inventif. Hal ini bakal menimbulkan kepercayaan pada nilai-nilai
luhur dari spirit inventif atau kreatif hingga kepercayaan itu akan
mengembangkan sendiri spirit tersebut. Ada simbiosis mutualisme antara nilai
dan spirit inventif begitu rupa hingga spirit inventif mampu menjabarkan
pembaruan interogatif.
Praksis pendidikan
Mengingat
pendidikan bertujuan mengetahui nilai, bukan fakta, maka pendidikan adalah
suatu proses yang membiasakan anak didik sedini mungkin menggali,
mempelajari, menguasai nilai, dan menerapkannya demi kecerahan pribadi,
keluarga, dan masyarakat karena sama-sama mengakui kebajikannya.
Nilai
memang sesuatu yang dianggap berharga. Berhubung nilai per definisi tergolong
budaya, maka pendidikan adalah bagian konstitutif dari kebudayaan. Apabila
sekolah dimaksudkan betul-betul menjadi organ fungsional negara-bangsa,
kinerjanya tergantung lebih banyak pada atmosfer kebudayaan nasional ke
lingkungan mana sekolah diposisikan ketimbang atmosfer pedagogis yang
diciptakan dalam lingkungan sekolah. Budaya bisa berbentuk (tangible) dan
nirbentuk (intangible). Bagian terbesar yang ditangani pendidikan adalah
nilai intangible, di antaranya nalar dan ilmu pengetahuan, yang langsung
terpaut pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Nilai
adalah genus aneka spesies mata pelajaran. Maka tugas penyusun kurikulum
adalah menjabarkan silabus yang mengandung ide-ide didaktis. Pendidikan
dengan ide-ide yang hampa nilai ibarat pepesan kosong. Ia tidak hanya tak berguna,
bahkan merusak karakter. Adapun tujuan pendidikan meliputi pembentukan
karakter. Di antara ide-ide bernilai itu, UNESCO, misalnya, menyebut belajar
(i) untuk membangun jati diri (to be), (ii) untuk tahu (to know), (iii) untuk
berani menerapkan pengetahuan yang diperoleh pada kehidupan (to do), dan (iv)
untuk membentuk sikap kebersamaan yang serasi (to live together).
Sejauh
mengenai pembentukan karakter khas keindonesiaan, ide-ide bernilai tadi jelas
dikandung oleh semua sila dari Pancasila. Bertakwa (sila pertama),
berkepribadian matang (sila kedua), rasa kebangsaan (sila ketiga), berwawasan
global, demokratis dan toleran (sila keempat), dan manusia yang manusiawi
(sila kelima).
Pendidikan
nasional harus berupa suatu kesetaraan kans (equality of chances) bagi
rakyat, tetapi bukan yang mengacu pada kemampuan bersendikan bakat luar
biasa, seperti berbiola ala Idris Sardi atau menari ala Didik Nini Thowok.
Kemampuan seperti itu adalah anugerah ilahiah, sejenis takdir. Kesetaraan
kans berada di bidang-bidang perbaikan kehidupan rakyat sehari-hari yang
bersahaja: akses ke pendidikan normal, ke perumahan sederhana yang layak
huni, ke lingkungan hidup yang tidak kumuh, ke zona pemukiman yang higienis.
Kartu
pintar yang dibagi gratis kepada warga boleh saja secara formal dianggap
kunci pembuka kesempatan, tetapi secara faktual tidak akan mengajarkan apa
pun selama dia sendiri tidak bergairah belajar. Maka sistem wajib belajar
tidak terelakkan. Orangtua yang memaksa anaknya membantu mencari nafkah
keluarga, bukan bersekolah, perlu ditindak. Namun, pemerintah harus
mencarikan jalan agar keluarga tidak semakin miskin tanpa bekerjanya sang
anak. Orangtua wajib memberikan kesempatan kepada keturunannya untuk belajar,
termasuk anak perempuan. Kita mendidik anak laki-laki kita mendidik satu
orang, tetapi mendidik anak perempuan kita mendidik satu keluarga.
Pembelajaran
dalam rangka pendidikan formal bukan bermaksud mencakup semua yang mungkin
diketahui dari aneka materi yang diajarkan, tetapi betul-betul mempelajari
setiap materi tentang apa-apa yang tidak boleh diabaikan oleh
siswa/mahasiswa.
Maka
penting bagi penyusun kurikulum dan penjabar silabus menyadari perbedaan
antara mata pelajaran yang bersifat final dan yang berfungsi instrumental.
Biologi, misalnya, bisa bersifat mata pelajaran final, pengetahuan tersendiri
yang perlu diketahui. Matematika bisa bersifat final, bisa pula berfungsi
instrumental.
Ujian
merupakan bagian konstitutif dari pembelajaran. Sebab, selain untuk
mengetahui tingkat penguasaan materi oleh anak didik mengenai materi yang
sudah diajarkan, setiap pembelajaran formal mengenal akhir (graduation), jadi
butuh tanda (ijazah).
Berhubung
tidak semua lulusan SMA berniat melanjutkan ke perguruan tinggi, maka ujian
yang menjurus ke perolehan ijazah tidak perlu mengikuti tuntutan mutu
pembelajaran keilmuan di tingkat universiter. Jadi, ujian masuk ke PT tetap
diniscayakan, harus dibedakan antara evaluasi (ujian akhir sekolah) dan
seleksi (ujian masuk ke jenjang di atasnya). Berarti perlu ujian bertaraf
nasional demi kemudahan mobilitas pencari kerja.
Dunia
usaha tidak pantas menolak mereka dengan kilah para lulusan ”tidak siap
pakai”. Perusahaan-perusahaan itu sendiri yang membuat buruh menjadi siap
pakai melalui rangkaian training.
Harus
diakui bahwa pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi kemelut besar.
Masalah perlu-tidaknya UN hanya merupakan pucuk dari gunung es yang tidak
kelihatan. Untuk menyelesaikannya perlu serangkaian tindakan drastis dan
serentak.
Pertama,
kembalikan sentralisasi pelaksanaan pendidikan. Kedua, demi efektivitas
kinerjanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan punya kantor wilayah di
setiap provinsi, seperti yang pernah berlaku hingga era Orde Baru. Hal ini
demi tercapainya landasan yang idiil dari tingkat pusat ke daerah.
Ketiga,
semua jenjang pendidikan dari TK hingga PT dikembalikan ke bawah satu atap,
di bawah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar