Lupakan
Zumi Zola!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
10 April
2018
Lupakan Zumi Zola! Tadinya ia
adalah harapan besar. Anak muda kelahiran tahun 1980. Baru berusia 38 tahun.
Ketika mulai menjabat Gubernur Jambi pada Februari 2016, ia masih berusia 36
tahun.
Kalau mencermati jiwa zamannya,
mengacu pada Neil Howe dan William Strauss (Millennials Rising: The Next
Great Generation, 2000), ia bisa masuk kategori generasi Y atau generasi
milenial. Definisi tentang generasi ini kira-kira berciri inspiratif,
inovatif, energik, antusias, egaliter, dan sangat digital. Generasi ini
berpikir strategis dan banyak yang percaya akan menjadi pemimpin tangguh.
Mereka begitu peduli pada problem
masyarakat dan akan menjadi bagian utama yang memperkuat lembaga-lembaga
sipil negara. Makanya Howe dan Strauss percaya generasi milenial akan menjadi
pahlawan apabila mampu mengatasi krisis.
Namun, Senin (9/4/2018), Zumi Zola
langsung mengenakan rompi oranye tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah
diperiksa sekitar sembilan jam. Penahanan itu cuma persoalan waktu saja
setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 2 Februari silam.
Kalau pejabat atau politikus sudah
ditetapkan sebagai tersangka, fase berikutnya akan ditahan dan selanjutnya
disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Zumi tersangkut kasus
penyuapan terhadap pimpinan DPRD Jambi untuk memuluskan pengesahan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi.
Zumi terjerat setelah KPK
menangkap anak buahnya, yakni Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah Pemprov
Jambi Erwan Malik, Asisten Daerah III Pemprov Jambi Saifuddin, Plt Kepala
Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Jambi Arfan; dan juga partner kerjanya, Ketua Fraksi
PAN DPRD Jambi Supriyono. Zumi adalah Ketua DPW PAN Provinsi Jambi periode
2015-2020.
Karier politiknya termasuk
bersinar. Pada periode 2011-2016, Zumi menjadi Bupati Tanjung Jabung Timur.
Darah politik turun dari sang ayah, Zulkifli Nurdin. Zulkifli adalah orang
kuat di Jambi yang menjadi Gubernur Jambi dua periode (1999-2004 dan
2005-2010).
Dengan modal politik dan jaringan
dinasti politik yang kuat itu, jalan mulus Zumi rasanya tak ada yang
merintangi. Apalagi dari sisi popularitas, tak diragukan pula. Zumi adalah
pemain film dan membintangi banyak sinetron. Sampai sekarang popularitas
menjadi variabel utama keterpilihan (elektabilitas) seseorang dalam perebutan
arena politik.
Maka, ketika ia menduduki posisi
gubernur, bukan hanya harapan untuk Provinsi Jambi, tetapi juga untuk negeri
ini. Zumi tampil di tengah-tengah arena politik begitu suram. Banyak
politikus dan pejabat tersangkut kasus-kasus korupsi, bermasalah dengan
moralitas, praktik-praktik politik uang, transaksional dan kongkalikong yang
terus subur.
Di politik, uang menjadi sesuatu
yang paling berkuasa. Tak mengherankan, kemunculan Zumi seakan menjadi
setitik cahaya di tengah kemuraman arena politik. Cahaya yang bakal menerangi
segala penjuru ruang.
Apalagi banyak titik cahaya berpenderan
di mana-mana. Ada Emil Elestianto Dardak yang terpilih menjadi Bupati
Trenggalek tahun 2016 pada usia 32 tahun. Kini ia tengah mencoba peruntungan
menjadi calon wakil gubernur Jawa Timur pada Pilkada 2018, mendampingi calon
gubernur Khofifah Indar Parawansa.
Wakil Emil, Wakil Bupati
Trenggalek M Nur Arifin, jauh lebih muda lagi. Pada tahun 2018, Nur baru
berusia 28 tahun. Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan juga baru
berusia 29 tahun. Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad baru berusia 31 pada tahun
2018. Kalau setingkat gubernur, ada Ridho Ficardo yang menjadi Gubernur
Lampung periode 2014-2019. Ia terpilih saat berusia 33 tahun.
Pikiran awal mengenai anak-anak
muda milenial yang terjun ke politik bahwa merekalah yang berpotensi mengubah
lanskap politik tidak lagi dipenuhi awan-awan kelabu. Mereka diharapkan
membuyarkan awan-awan kelabu itu dengan mengirimkan cahaya-cahaya yang
menerangi semua bilik tersembunyi pun di panggung politik.
Anak muda milenial mengurusi
politik merupakan ”sesuatu banget”. Sebab, beberapa tahun belakangan ada
survei yang kurang sedap bahwa banyak anak muda itu apatis, alergi, dan tidak
suka dengan politik. Bagi anak-anak muda, politik bukan hal yang menjanjikan.
Jadi, bukan hal berlebihan ketika
para pemimpin generasi milenial tersebut benar-benar menjadi tumpuan yang
dapat memperbaiki demokrasi yang busuk di tangan politikus tua. Itulah
sebetulnya mission sacre kehadiran pemimpin generasi milenial di tengah
kedaruratan kondisi politik saat ini.
Namun, inilah yang patut disesali,
rupanya fondasi jiwa mereka tidak semuanya cukup kokoh. Mereka tidak begitu
kuat menghadapi kultur politik yang diwariskan saat ini. Terlalu pekat
dipenuhi jelaga hitam sehingga membuat atmosfer politik tampak selalu
mendung.
Beberapa mungkin bisa larut dan
hanyut digulung perilaku watak politik lama. Contohnya Zumi. Alih-alih
menjadi pemimpin yang berdiri di garis terdepan untuk melawan korupsi, ia
justru ikut menari dalam irama politik yang sudah tercemari watak korup.
Sebelumnya, Bupati Ogan Ilir Ahmad
Wazir Nofiadi Mawardi yang ditangkap karena kasus narkoba pada 13 Maret 2016.
Ia ditangkap di rumah orangtuanya sekitar satu bulan setelah dilantik menjadi
bupati pada 17 Februari 2016. Saat terpilih, ia baru berusia 27 tahun.
Sebagian tunas muda itu
terpangkas. Layu lebih cepat. Memang masih ada yang menjanjikan. Harapannya,
para pemimpin generasi milenial sekarang bukan hanya sekadar mampu melawan
kanker korupsi atau watak-watak tercela lainnya, melainkan justru
membersihkan dan menyembuhkannya dari aliran darah bangsa ini.
Kalau menjalankan tugas-tugas
pemerintahan seperti biasa saja (business as usual), sulit menemukan
perubahan. Perubahan itu bukan cuma dalam bentuk fisik, seperti penataan kota
dan sejenisnya, tetapi lebih penting lagi memperbaiki jiwa-jiwa manusianya
yang sakit.
Daya inspiratif dan inovatif
generasi milenial harus diberdayakan untuk membuat lompatan besar. Perubahan
yang lebih baik di sejumlah daerah akan menjadi energi dan komponen positif
bagi negeri ini.
”Millennial rising”, bukan
”millennial missing”
Memang bukan persoalan mudah.
Ibaratnya, gerbong negeri ini sudah begitu berkarat. Coba perhatikan, ketika
banyak pejabat dan politikus berteriak ”antikorupsi”, tetapi saat yang sama
”di bawah meja” mereka ”bermain mata”. Awal 2018, Gubernur (nonaktif)
Bengkulu Ridwan Mukti divonis 8 tahun penjara karena kasus proyek pembangunan
jalan. Ridwan ditangkap KPK bersama istrinya, Lily Maddari, dan dua
kontraktor lokal pada 20 Juni 2017.
Sungguh ironis karena Ridwan telah
menabuh genderang perang terhadap korupsi pada 1 Maret 2016. Di depan 1.108
pejabat di Pemprov Bengkulu, dia memimpin penandatanganan Pakta Integritas,
bahkan di depan Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai,
Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso, juga mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta para pemimpin yang memiliki
kekuasaan di tingkat Provinsi Bengkulu.
Senyampang dengan Pilkada 2018,
membuka awal tahun seakan membuka kotak pandora. Satu per satu KPK menangkapi
atau menahan para kepala daerah yang terjerat korupsi, seperti Bupati Hulu
Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Kebumen
Mohammad Yahya Fuad, Bupati Jombang Nyono S Wihandoko, Bupati Ngada Marianus
Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan Bupati Lampung Tengah Mustafa.
Semunya praktik korupsi diduga
terkait rebut kursi di pilkada. Lalu, siapa yang benar-benar dapat
membersihkan karat-karat korupsi di negeri ini? Pemimpin generasi milenial
tentu punya beban berat.
Tidak mudah menjadi lokomotif yang
menggerakkan semua gerbong yang sudah berkarat itu. Lokomotif yang ikut
berkarat, sudah lupakan saja. Kalau mereka berpikir terjun ke arena politik
untuk kekuasaan, tentu tidak akan membawa perubahan, bahkan mungkin nasib
negeri ini bisa lebih kotor karena korupsi.
Tetapi, apabila anak-anak muda
milenial terjun ke politik untuk tujuan mulia, mengabdi pada bangsa dan
negara, tentu selalu ada titik cahaya ke arah jalan keluar dari kegelapan
lorong politik negeri ini. Kata Jill Stein, politikus Amerika Serikat, ”Jika
ada energi memobilisasi, itu adalah generasi milenium. Kita punya kekuatan
untuk berubah, bahkan memenangi perlombaan ini. Bukan untuk membagi suara,
tetapi untuk membalikkan suara.”
Kita tak ingin millennial rising
menjadi millennial missing. Caranya, prasyarat awal agar dapat berkontribusi
positif bagi negeri ini, para pemimpin generasi milenial harus mampu
membebaskan diri dari warisan politik masa silam yang kumuh, kelabu, dan
busuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar