Rabu, 11 April 2018

Lupakan Zumi Zola!

Lupakan Zumi Zola!
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                         KOMPAS, 10 April 2018



                                                           
Lupakan Zumi Zola! Tadinya ia adalah harapan besar. Anak muda kelahiran tahun 1980. Baru berusia 38 tahun. Ketika mulai menjabat Gubernur Jambi pada Februari 2016, ia masih berusia 36 tahun.

Kalau mencermati jiwa zamannya, mengacu pada Neil Howe dan William Strauss (Millennials Rising: The Next Great Generation, 2000), ia bisa masuk kategori generasi Y atau generasi milenial. Definisi tentang generasi ini kira-kira berciri inspiratif, inovatif, energik, antusias, egaliter, dan sangat digital. Generasi ini berpikir strategis dan banyak yang percaya akan menjadi pemimpin tangguh.

Mereka begitu peduli pada problem masyarakat dan akan menjadi bagian utama yang memperkuat lembaga-lembaga sipil negara. Makanya Howe dan Strauss percaya generasi milenial akan menjadi pahlawan apabila mampu mengatasi krisis.

Namun, Senin (9/4/2018), Zumi Zola langsung mengenakan rompi oranye tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah diperiksa sekitar sembilan jam. Penahanan itu cuma persoalan waktu saja setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 2 Februari silam.

Kalau pejabat atau politikus sudah ditetapkan sebagai tersangka, fase berikutnya akan ditahan dan selanjutnya disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Zumi tersangkut kasus penyuapan terhadap pimpinan DPRD Jambi untuk memuluskan pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi.

Zumi terjerat setelah KPK menangkap anak buahnya, yakni Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah Pemprov Jambi Erwan Malik, Asisten Daerah III Pemprov Jambi Saifuddin, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Jambi Arfan; dan juga partner kerjanya, Ketua Fraksi PAN DPRD Jambi Supriyono. Zumi adalah Ketua DPW PAN Provinsi Jambi periode 2015-2020.

Karier politiknya termasuk bersinar. Pada periode 2011-2016, Zumi menjadi Bupati Tanjung Jabung Timur. Darah politik turun dari sang ayah, Zulkifli Nurdin. Zulkifli adalah orang kuat di Jambi yang menjadi Gubernur Jambi dua periode (1999-2004 dan 2005-2010).

Dengan modal politik dan jaringan dinasti politik yang kuat itu, jalan mulus Zumi rasanya tak ada yang merintangi. Apalagi dari sisi popularitas, tak diragukan pula. Zumi adalah pemain film dan membintangi banyak sinetron. Sampai sekarang popularitas menjadi variabel utama keterpilihan (elektabilitas) seseorang dalam perebutan arena politik.

Maka, ketika ia menduduki posisi gubernur, bukan hanya harapan untuk Provinsi Jambi, tetapi juga untuk negeri ini. Zumi tampil di tengah-tengah arena politik begitu suram. Banyak politikus dan pejabat tersangkut kasus-kasus korupsi, bermasalah dengan moralitas, praktik-praktik politik uang, transaksional dan kongkalikong yang terus subur.

Di politik, uang menjadi sesuatu yang paling berkuasa. Tak mengherankan, kemunculan Zumi seakan menjadi setitik cahaya di tengah kemuraman arena politik. Cahaya yang bakal menerangi segala penjuru ruang.

Apalagi banyak titik cahaya berpenderan di mana-mana. Ada Emil Elestianto Dardak yang terpilih menjadi Bupati Trenggalek tahun 2016 pada usia 32 tahun. Kini ia tengah mencoba peruntungan menjadi calon wakil gubernur Jawa Timur pada Pilkada 2018, mendampingi calon gubernur Khofifah Indar Parawansa.

Wakil Emil, Wakil Bupati Trenggalek M Nur Arifin, jauh lebih muda lagi. Pada tahun 2018, Nur baru berusia 28 tahun. Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan juga baru berusia 29 tahun. Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad baru berusia 31 pada tahun 2018. Kalau setingkat gubernur, ada Ridho Ficardo yang menjadi Gubernur Lampung periode 2014-2019. Ia terpilih saat berusia 33 tahun.

Pikiran awal mengenai anak-anak muda milenial yang terjun ke politik bahwa merekalah yang berpotensi mengubah lanskap politik tidak lagi dipenuhi awan-awan kelabu. Mereka diharapkan membuyarkan awan-awan kelabu itu dengan mengirimkan cahaya-cahaya yang menerangi semua bilik tersembunyi pun di panggung politik.

Anak muda milenial mengurusi politik merupakan ”sesuatu banget”. Sebab, beberapa tahun belakangan ada survei yang kurang sedap bahwa banyak anak muda itu apatis, alergi, dan tidak suka dengan politik. Bagi anak-anak muda, politik bukan hal yang menjanjikan.

Jadi, bukan hal berlebihan ketika para pemimpin generasi milenial tersebut benar-benar menjadi tumpuan yang dapat memperbaiki demokrasi yang busuk di tangan politikus tua. Itulah sebetulnya mission sacre kehadiran pemimpin generasi milenial di tengah kedaruratan kondisi politik saat ini.

Namun, inilah yang patut disesali, rupanya fondasi jiwa mereka tidak semuanya cukup kokoh. Mereka tidak begitu kuat menghadapi kultur politik yang diwariskan saat ini. Terlalu pekat dipenuhi jelaga hitam sehingga membuat atmosfer politik tampak selalu mendung.

Beberapa mungkin bisa larut dan hanyut digulung perilaku watak politik lama. Contohnya Zumi. Alih-alih menjadi pemimpin yang berdiri di garis terdepan untuk melawan korupsi, ia justru ikut menari dalam irama politik yang sudah tercemari watak korup.

Sebelumnya, Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi yang ditangkap karena kasus narkoba pada 13 Maret 2016. Ia ditangkap di rumah orangtuanya sekitar satu bulan setelah dilantik menjadi bupati pada 17 Februari 2016. Saat terpilih, ia baru berusia 27 tahun.

Sebagian tunas muda itu terpangkas. Layu lebih cepat. Memang masih ada yang menjanjikan. Harapannya, para pemimpin generasi milenial sekarang bukan hanya sekadar mampu melawan kanker korupsi atau watak-watak tercela lainnya, melainkan justru membersihkan dan menyembuhkannya dari aliran darah bangsa ini.

Kalau menjalankan tugas-tugas pemerintahan seperti biasa saja (business as usual), sulit menemukan perubahan. Perubahan itu bukan cuma dalam bentuk fisik, seperti penataan kota dan sejenisnya, tetapi lebih penting lagi memperbaiki jiwa-jiwa manusianya yang sakit.

Daya inspiratif dan inovatif generasi milenial harus diberdayakan untuk membuat lompatan besar. Perubahan yang lebih baik di sejumlah daerah akan menjadi energi dan komponen positif bagi negeri ini.

”Millennial rising”, bukan ”millennial missing”

Memang bukan persoalan mudah. Ibaratnya, gerbong negeri ini sudah begitu berkarat. Coba perhatikan, ketika banyak pejabat dan politikus berteriak ”antikorupsi”, tetapi saat yang sama ”di bawah meja” mereka ”bermain mata”. Awal 2018, Gubernur (nonaktif) Bengkulu Ridwan Mukti divonis 8 tahun penjara karena kasus proyek pembangunan jalan. Ridwan ditangkap KPK bersama istrinya, Lily Maddari, dan dua kontraktor lokal pada 20 Juni 2017.

Sungguh ironis karena Ridwan telah menabuh genderang perang terhadap korupsi pada 1 Maret 2016. Di depan 1.108 pejabat di Pemprov Bengkulu, dia memimpin penandatanganan Pakta Integritas, bahkan di depan Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso, juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta para pemimpin yang memiliki kekuasaan di tingkat Provinsi Bengkulu.

Senyampang dengan Pilkada 2018, membuka awal tahun seakan membuka kotak pandora. Satu per satu KPK menangkapi atau menahan para kepala daerah yang terjerat korupsi, seperti Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad, Bupati Jombang Nyono S Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan Bupati Lampung Tengah Mustafa.

Semunya praktik korupsi diduga terkait rebut kursi di pilkada. Lalu, siapa yang benar-benar dapat membersihkan karat-karat korupsi di negeri ini? Pemimpin generasi milenial tentu punya beban berat.

Tidak mudah menjadi lokomotif yang menggerakkan semua gerbong yang sudah berkarat itu. Lokomotif yang ikut berkarat, sudah lupakan saja. Kalau mereka berpikir terjun ke arena politik untuk kekuasaan, tentu tidak akan membawa perubahan, bahkan mungkin nasib negeri ini bisa lebih kotor karena korupsi.

Tetapi, apabila anak-anak muda milenial terjun ke politik untuk tujuan mulia, mengabdi pada bangsa dan negara, tentu selalu ada titik cahaya ke arah jalan keluar dari kegelapan lorong politik negeri ini. Kata Jill Stein, politikus Amerika Serikat, ”Jika ada energi memobilisasi, itu adalah generasi milenium. Kita punya kekuatan untuk berubah, bahkan memenangi perlombaan ini. Bukan untuk membagi suara, tetapi untuk membalikkan suara.”

Kita tak ingin millennial rising menjadi millennial missing. Caranya, prasyarat awal agar dapat berkontribusi positif bagi negeri ini, para pemimpin generasi milenial harus mampu membebaskan diri dari warisan politik masa silam yang kumuh, kelabu, dan busuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar