Keadaban
Informasi
Amir Machmud NS ;
Direktur Pemberitaan Suara Merdeka
Network;
Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 20 Januari 2017
DARI
gelombang kegalauan dan pernyataan kelompok-kelompok antiberita bohong atau
hoax belakangan ini, sikap seperti apa yang bisa kita simpulkan? Ya, sebagian
dari kita digelisahkan oleh dominasi informasi hoax, dan khawatir gelombang
kebohongan akan mendera tanpa kendali, menciptakan kekacauan, ketidakpastian,
membentuk atmosfer kebohongan, lalu memunculkan ”budaya jangan-jangan”.
Kesenangan
berbohong akan susul menyusul, berkelindan sebagai kebiasaan untuk berani
tidak jujur dalam segala bentuk. Saat ini sebagian orang tengah tertawa- tawa
menikmati produk kebohongannya; tentu dengan orientasi yang disengaja: usaha
perisauan, membentuk ketidakjelasan, juga menebar kebencian.
Sebagian
dari kita menyimak tanpa kepedulian, sebagian lagi bersikap skeptik karena
paham tentang peta-peta kebohongan, dan sebagian yang peduli mencoba melawan
lewat peneguhan barisan anti-hoax. Media arus utama boleh jadi merasa
dirugikan dengan pemojokan kesan bahwa akhirnya jurnalistik sampai pada titik
seperti sekarang.
Ada
realitas ketika orang tak lagi sertamerta memercayai informasi-informasi yang
disampaikan; orang segera mengambil jarak dengan sikap ”jangan-jangan”:
menilai valid sebuah informasi, atau memosisikan sama dengan peluang
menyedihkan teperdaya oleh informasi hoax. Inilah pertanyaan stereotipe yang
banyak tersampaikan, ”Apa yang harus dilakukan oleh wartawan dan media untuk
menghadapi fenomena hoax seperti sekarang?”
Siapa Salah?
Ada
berita hoax, salahkah wartawan? Media kena getah berita bohong, salahkah
mereka? Wartawan seperti apa yang salah? Media semodel apa yang keliru? Media
sosial tidak bisa dimasukkan dalam kelompok media yang punya tanggung jawab
institusional ketika dari entitas ini muncul unggahan-unggahan sembarangan.
Portal-portal
yang bergerak seperti media profesional, dengan nama akun dan mengunggah
informasiinformasi tertentulah yang mestinya mempertanggungjawabkan isi
”berita”. Standar ”pekerjaan” akun-akun ini seharusnya sama dengan tuntutan
etika profesional wartawan dan media.
Juga
dalam hal legitimasi badan hukum perusahaan pers seperti yang dipersyaratkan
oleh UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Secara langsung atau tidak langsung,
betapa tujuan mulia jurnalistik untuk menyampaikan kebenaran dan
memperjuangkan rasa keadilan telah terkacaukan oleh tudingan bahwa informasi-informasi
dari media mainstream harus direspons dengan sikap setengah percaya:
”jangan-jangan bohong”, ”jangan-jangan tidak benar”.
Informasi
hoax yang terkadang dikemas persis seperti berita produk jurnalistik makin
menyesatkan respons pemfilteran oleh publik. Kekacauan secara
politik-ekonomi-sosial-budaya pun acap tak terelakkan. Di sinilah pedang
bermata dua itu terasa: di balik berkah kemajuan teknologi informasi, musibah
pun mengintai.
Otoritas
di Kementerian Komunikasi dan Informasi secara teknis telah menempuh
upaya-upaya melawan hoax, lalu bagaimana dengan sikap dan langkah para
profesional jurnalistik? Konsep barcode media-media yang dianggap telah
memenuhi standar positioning kompeten oleh Dewan Pers menggambarkan
pentingnya ”sertifikasi”. Ini adalah salah satu penanda verbal tentang maqam
kesejatian jurnalistik, walaupun sejatinya penanda nonverbal berupa ketaatan
pada etika jurnalistik lebih penting dari semua simbol.
Penanda
sikap nonverbal adalah penghayatan terhadap profesionalisme kewartawanan,
dengan memperkuat kecakapan teknis (skill)dan kemampuan mengeksplorasi hari
nurani sebagai ekspresi etis dalam setiap pemberitaan. Menjaga nilai-nilai
jurnalistik. Itulah tuntutan pekerjaan standar jurnalis dan media arus utama
sekarang.
Dikotomi
sikap baik-buruk, benar-salah, pedulitidak peduli, bertanggung jawab-tidak
bertanggung jawab dengan selalu menempuh prosedur etis dalam pekerjaan
jurnalistik akan meletakkan jurnalis dan medianya di maqam kesejatian
profesionalitas. Media online, portal-portal berita digital memang membawa
konsep ”jurnalistik yang bergegas”, dengan pola kerja yang cenderung
tergesa-gesa untuk memburu kecepatan penayangan sebuah informasi. Juga agar
bisa tampil beda dari media-media kompetitor.
Namun
mestinya, kebergegasan itu tidak meninggalkan disiplin verifikasi untuk menyampaikan
kebenaran. Pada sisi lain, pengunggahan informasi- informasi bohong yang
disajikan dengan seolah-olah telah menempuh standar verifikasi jurnalistik
akhirnya makin merangkapkan kebohongan. Selain substansi informasinya hoax,
seolah-olah prosedural dan seolah-olah konfirmasinya juga hoax.
Masyarakat
penerima informasi tidak bisa diajak secepatnya untuk menyadari telah menjadi
korban kebohongan. Inilah yang juga membahayakan perkembangan demokratisasi.
Sudah saatnya diselenggarakan pendidikan bermedia yang menyeluruh untuk
memperkuat respons dan kekritisan menyaring informasi.
Yang
tak kalah penting, jaring hukum bagi para pengunggah informasi bohong,
termasuk yang beriktikad buruk untuk melukai pihak lain, janganlah
dihadaphadapkan sebagai sikap mundur dalam memaknai kebebasan berekspresi.
Secara jernih perlu dipahami bahwa atas nama keadaban informasi, menjaga
kebebasan berekspresi adalah satu dan lain hal dengan kebebasan yang melukai
hak orang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar