Umat
yang (Tidak) Konfrontatif
Abdul Mu'ti ; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 27
Januari 2017
Dalam
satu semester terakhir ruang publik dipenuhi berbagai isu dan aksi
konfrontatif yang melibatkan umat Islam. Isu reinkarnasi komunisme, ancaman
terorisme, kesenjangan sosial, dan kebinekaan menghadapkan umat head to head
dengan berbagai elemen bangsa. Energi dan sumber daya umat tersedot dalam
aksi-aksi reaktif, sporadis, simbolis, dan formalistis dalam menyikapi
berbagai isu. Konfrontasi seolah menjadi heroisme baru di bawah panglima
aktor konfrontatif. Kegaduhan demi kegaduhan terus terjadi.
Sebagian
pihak menilai kegaduhan adalah hal yang wajar dan masih dalam batas
kewajaran. Kegaduhan (noisy) adalah
bagian dari dinamika berekspresi dan salah satu ciri demokrasi. Di pihak lain
ada yang menilai kegaduhan itu sudah menjadi polusi keagamaan yang mengganggu,
menjemukan, dan memekakkan telinga. Polusi keagamaan itu sudah mencemarkan
umat dan mencemari Islam sebagai agama yang damai, santun, dan berkeadaban.
Miskin Strategi
Kegaduhan
dan konfrontasi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ekspresi akumulasi
dan eskalasi kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai tidak aspiratif
terhadap umat Islam. Ada prasangka pemerintah lebih berpihak kepada kelompok
minoritas yang semakin merajalela dan seakan memiliki kekebalan hukum.
Suasana psikologis sebagai pecundang membuat umat mudah meradang. Kedua,
aparatur keamanan yang represif.
Adrenalin
umat memuncak tatkala aparatur keamanan mengedepankan pendekatan penindakan.
Kekerasan dan bentrokan tidak terhindarkan. Di lapangan berlaku hukum aksi
sama dengan reaksi: umat akan konfrontatif jika aparatur keamanan represif.
Ibarat pepatah Betawi: ente jual gue beli. Paradigma dan pendekatan yang
militeristik membuat umat terus terusik.
Ketiga,
partai politik, khususnya partai berbasis massa muslim, kurang aspiratif.
Umat harus berjuang sendiri dengan turun ke jalan. Di tengah kecenderungan
populisme umat hanya dijadikan vehicle untuk mendulang suara dan simpati
partai politik. Keempat, umat diperalat oleh elite yang tarik-menarik jabatan
politik. Umat laksana bidak yang dikorbankan di percaturan politik kekuasaan.
Para aktor tak ubahnya wayang yang disetir para dalang. Jika hal ini benar,
umat hanya akan (kembali) menelan pil pahit: keluar mulut singa, masuk mulut
buaya.
Umat
diadu domba, dipecah belah dengan sesama muslim dan umat beragama lain.
Terakhir, umat tidak memiliki kekayaan strategi dakwah dan politik. Umat
bergerak dengan emosi tinggi, tetapi miskin strategi. Akibat itu, umat
menjadi paranoid. Mereka yang menempuh jalan perjuangan berbeda dan tidak
mengikuti arus massa dianggap berseberangan, berkhianat, penjilat, dan
sebutan pejoratif lain.
Strategis dan Substantif
Umat
perlu berjuang dengan lebih strategis dan substantif. Berbagai isu datang dan
pergi, silih berganti. Tidak semua isu harus ditanggapi. Ada isu yang asasi
ada pula yang alternasi. Diperlukan kecerdasan dan kearifan melihat setiap
persoalan dengan perspektif luas dan sikap yang luwes. Umat bergerak di jalan
lempang dan lapang, bukan ditarik ke lorong gang. Konfrontasi bukan tidak
berarti. Aksi bisa membuat “lawan” tidak bernyali. Ideologi dan panji-panji
harus dibela, jika perlu, sampai mati.
Tetapi,
umat harus semakin piawai membuat kalkulasi, menimbang maslahat dan mudarat.
Islam mengajarkan agar umat berbuat yang manfaat dan meninggalkan yang
mafsadat. Di dalam Alquran disebutkan alasan khamr diharamkan karena dosanya
lebih besar dari faedahnya. Tampaknya, dakwah megaphone dengan retorika
lantang perlu ditinjau ulang. Selain menimbulkan kegaduhan, bisa juga
pertanda “air beriak tanda tak dalam”.
Masyarakat
merindukan dakwah yang teduh, tidak gaduh. Dalam benak mereka mengemuka
pertanyaan bagaimana para ustaz yang selama ini identik dengan dakwah
sufistik, bahkan altruistik, berubah garang. Diperlukan komunikasi yang lebih
intensif dan saling memahami di antara pemimpin umat. Gerakan longitudinal di
bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan harus tetap
diprioritaskan.
Stamina
umat harus tetap prima untuk lari maraton mengejar ketertinggalan dan
keterbelakangan dengan koordinasi dan kerja sama yang terjalin kuat. Umat
tidak boleh setengah hati berjuang di kursi parlemen dan meja birokrasi.
Substansialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam dalam konstitusi sangat penting
untuk memastikan Indonesia tidak menyimpang dari tuntutan Ilahi.
Umat
mendambakan tampilnya birokrat yang merakyat, bersih dari korupsi, dan
berbudi mulia. Umat Islam adalah komponen terbesar bangsa Indonesia. Wajah
umat, wajah bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar