Rakyat
dan Ulama Bersatu Melawan ABG Bermotor
Iqbal Aji Daryono ;
Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini
ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh
transportasi
|
DETIKNEWS, 24 Januari 2017
Pekan
lalu, linimasa medsos teman-teman Jogja sempat riuh oleh satu berita tragis.
Seorang anak SMP ngebut dengan sepeda motor sport barunya, menabrak mahasiswi
UGM hingga tewas di TKP, motor sportnya terbelah jadi dua, dan belakangan si
anak SMP juga menyusul meninggal dunia.
Getir
sekali hati kita mendengar tragedi rutin semacam itu. Tapi sampai kapan kita
cuma berasyik-masyuk dalam kegetiran? Maksimal kita cuma akan bilang "Ya
Allaah, kasihan sekali..."; "Omaigaaat, itu kenapa anak sekecil itu
dikasih motor sama ortunya?"; "Ya Allah Tuhan YME, kenapa negara
diam saja melihat kasus-kasus begini?"
Percayalah,
ratapan model demikian paling-paling hanya akan berakhir nasibnya menjadi
meme. Jadi mari berhenti mengeluh, dan mulai ikut memikirkan jalan keluarnya.
Kita
mulai dengan 'kenapa'-nya dulu. Kenapa ada anak-anak di bawah umur dibiarkan
membawa sepeda motor, padahal jelas-jelas itu merupakan pelanggaran hukum?
Faktor
penyebabnya lumayan kompleks. Pertama, minimnya transportasi publik yang
baik, aman, tepat waktu, dengan jalur yang lengkap. Karena transportasi
publik terbatas, orang tak punya pilihan selain membeli kendaraan sendiri.
Klir, semua juga sudah paham soal ini.
Masalahnya,
jika semata menunggu aspek transportasi dibenahi, terlalu lama. Sampai
Lebaran Kuda pun kita belum akan bisa mengakses kemewahan demikian sampai ke
desa-desa. Apalagi pemerintah dihabiskan waktunya buat mengurusi hoax.
Kedua,
kredit kendaraan bermotor yang terlalu murah dan gampang. Sebagai solusi atas
minimnya transportasi publik, ini memang positif untuk masyarakat. Tapi
akibatnya, beli motor jadi segampang beli sepatu. Satu keluarga dengan lima
anggota bisa punya lima motor. Karena orangtuanya sibuk bekerja, anak yang
masih kecil pun dibelikan motor biar bisa berangkat sendiri ke sekolah.
Ketiga,
minimnya jumlah polisi. Ini saya baca dari analisis pengusaha cum ekonom cum
pengamat sosial Kokok Herdhianto Dirgantoro. Ia memperkirakan, secara riil
saat ini tak kurang dari 100 juta sepeda motor berkeliaran di Indonesia,
berlandaskan data BPS yang mencatat angka 85 juta pada tahun 2013. Dengan 100
juta motor (belum aneka kendaraan lain), jumlah polisi hanya 500 ribu, itu
pun polantas hanya sebagian di antaranya. Walhasil, mekanisme pengawasan jadi
sangat sulit.
Saya
sepakat tentang minimnya jumlah polisi. Namun itu tidak sepenuhnya menjadi
kendala pengawasan anak-anak bermotor. Sebab, andaikan pengawasan bisa penuh
pun, polisi belum tentu bisa berbuat lebih jauh. Kenapa?
Nah,
itu jadi faktor keempat, yaitu korupsi dalam pengadaan SIM. Saya yakin,
sebagian besar dari pembaca tulisan ini adalah pelaku kriminalitas yang satu
itu hehehe. Benar, lulus ujian SIM tidak gampang jika melalui prosedur
formal, khususnya ujian praktik. Mau latihan dulu di jalan biar lancar ujian,
ya harus bawa SIM dulu biar nggak ketangkap polisi. Tapi gimana mau bawa SIM,
lha wong memang belum punya. Mau bikin SIM pun gimana caranya, kalau naik
motor saja belum lancar?
Dengan
kerumitan demikian, dipakailah jalan pintas, yaitu 'titip'. Bisa lewat calo,
bisa lewat 'orang dalam', bisa lewat pembuatan SIM massal yang pada
realitasnya bukan sejenis ujian SIM yang serius.
Saya
tahu, sudah ada perbaikan berarti dalam mengatasi korupsi SIM ini, minimal
dalam mematok biaya resmi yang jelas. Tapi celah selalu ada. Celah ini
dipakai oleh orang-orang yang sebenarnya tidak layak mengemudi, termasuk oleh
orangtua yang ingin mencarikan SIM untuk anaknya yang masih SMP, bahkan SD.
Caranya gampang: umurnya dituakan. Itu modus sangat lazim. Ya, kan? Sudahlah,
mengaku saja.
Nah,
polisi di jalanan akhirnya cuma bisa mrongos, saat menghentikan seorang anak
berseragam SMP yang naik motor, lalu si anak sambil tersenyum pede
mengeluarkan SIM yang masih mulus. Legal? Ya legal, lah. Proses
mendapatkannya yang abal-abal.
Faktor
kelima adalah hal mendasar yang mengeram di benak masyarakat kita, yakni
tentang status sosial. Bagi kita, kendaraan adalah simbol status sosial.
Orang punya uang akan beli motor, punya uang lagi akan beli mobil, punya uang
lebih banyak lagi akan beli mobil yang lebih mewah, dan seterusnya.
Di
kampung-kampung, tiap sore anak-anak muda nongkrong di pinggir jalan, duduk
di atas motor masing-masing, mengobrol, melihat orang-orang lewat, sambil
sesekali memainkan telepon genggam. Sepeda motor dan ponsel adalah parameter
keren-tidaknya mereka. Ketika ada anak SMP dibelikan motor, temannya akan
merengek ke orangtuanya agar dibelikan juga, dan orangtuanya akan gengsi sama
tetangganya jika tidak menuruti anaknya. Ya, sebab motor adalah simbol status
sosial.
Keenam,
pandangan bahwa gerak fisik adalah siksaan. Ini saya dengar dari almarhum
Profesor Suhardi, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM waktu itu, saat
membicarakan problem kemacetan. Bagi masyarakat kita, semakin orang bisa
bermalas-malasan, semakin dia berkelas. Semakin banyak mesin dimiliki,
sehingga energi badan kita semakin minim keluar, semakin kita bermartabat di
mata lingkungan. Maka orang jalan kaki sedikit ke garasi, masuk mobil, sampai
di kantor cari parkiran terdekat dengan lift, naik lift ke kantornya. Minim
sekali geraknya, sebab bergerak dianggap aktivitas kaum sudra.
Benar
sekali, bahwa orang-orang desa juga bergerak dan bergerak untuk bekerja. Tapi
jangan lupa, mereka terus memupuk cita-cita agar anak-anak mereka bisa
menjadi pegawai, bekerja kantoran, yang halus, yang mentereng dan minim gerak
fisik. Sebagai tahap awal, anak mereka yang masih SMP pun dimanjakan dengan
sepeda motor, biar tidak kepayahan bergerak jalan kaki atau naik sepeda.
Setidaknya,
enam faktor itulah yang membentuk kompleksitas musabab menjamurnya anak-anak
kecil bersepeda motor. Nah, dari pemahaman itu kita bisa urun rembuk mencari
solusi. Baik solusi yang bisa ditempuh oleh negara, maupun oleh masyarakat
sendiri.
Saya
mulai dari yang paling tidak menarik dulu (karena akan terlalu lama
terwujud), yakni solusi oleh negara.
Pertama,
persulit kredit motor. Biar kredit motor tidak segampang beli pecel, pajak
industri motor harus ditingkatkan. Alih-alih menetapkan kenaikan ongkos STNK
bagi pemakai motor, misalnya, jauh lebih baik memungut pajak sangat tinggi
kepada pabrik dan dealer-dealernya, alias kepada orang-orang kaya. Hasil
pungutan pajak itu bisa dipakai untuk menggenjot penambahan fasilitas
transportasi publik, jalur pedestrian, maupun jalur kendaraan tidak bermotor.
Dengan
pajak yang tinggi kepada industri, harga motor pasti naik, dan orang tak akan
terlalu gampang membelikan motor untuk anak-anaknya. Sudah pasti, ini akan
membawa persoalan baru lagi, selama transportasi publik belum tersedia dengan
baik. Tapi ya memang harus ada langkah struktural yang dijalankan, bukan?
Atau kita mau terus menonton kematian demi kematian konyol di jalanan?
Kedua,
beri kewajiban kepada industri dan dealer-dealer motor agar memajang gambar
dan slogan untuk mencegah penggunaan motor oleh anak-anak di bawah umur. Mereka
wajib memasang iklan, juga memajang poster di showroom-showroom mereka, yang
berisi pesan bahwa memberikan akses kepada anak-anak untuk mengemudi motor
adalah sebuah kejahatan.
Jangan
ketawa dulu dengan usul saya barusan. Pabrik rokok bisa disuruh menempelkan
peringatan akan bahaya produk mereka kok. Kenapa industri motor tidak? Enak
sekali mereka cuma merayakan penjualan yang mnelampaui target tiap tahunnya,
tapi nggak keluar biaya apa-apa untuk edukasi publik.
Ketiga,
bikin regulasi baru untuk menjatuhkan hukuman sangat berat bagi orang yang
mengemudi tanpa SIM, dan mencabut SIM-SIM yang mengandung pemalsuan umur.
Entah bagaimana caranya, silakan Pak Tito memikirkannya.
Soal
ini, saya memang mengambil referensi peraturan yang berlaku di Australia, tempat
saya sekarang berada. Di sini, pelanggaran aturan lalu lintas terkena denda
gede. Namun yang paling berat adalah mengemudi tanpa lisensi. Menyetir
kendaraan tanpa SIM adalah kejahatan serius, dan bisa-bisa orang yang
melakukannya terancam dipenjara.
Keempat,
Departemen Pendidikan juga harus turun tangan. Merekalah penanggung jawab
anak-anak itu, setelah orangtua. Alih-alih terlalu cemas melihat turunnya
prestasi akademis anak-anak didik, semestinya sekolah-sekolah lebih galau
lagi melihat murid-murid mereka gagal menjadi anggota masyarakat yang
beradab.
Mengendarai
motor bagi anak-anak di bawah 17 tahun sewajarnya diposisikan oleh sekolah
sebagai kenakalan yang tak kalah parahnya dibanding tawuran. Ini serius.
Tawuran bisa berakibat korban nyawa. Naik motor bagi yang belum berhak, sudah
sering terbukti, juga rentan memakan nyawa. Disetrap dengan disuruh berdiri
di depan kelas sangat tidak cukup jadi hukumannya.
Itu
tadi solusi-solusi top down dari negara. Tidak usah terburu mengharapnya
berjalan, kecuali Bu Sri Mulyani, Pak Tito Karnavian, dan Pak Muhajir Effendi
membaca tulisan ini dan menyepakati satu-dua usul saya. Sambil menunggu
mereka, warga masyarakat sendiri bisa mengambil langkah-langkah konkret.
Sebenarnya
saya ingin bicara tentang bagaimana membangun tren "Bersepeda dan Jalan
Kaki itu Keren". Tapi toh yang demikian sudah selalu diupayakan oleh
para aktivis lingkungan dan aktivis-aktivis lain. Tapi nyatanya, tren
begituan selama ini hanya menyebar di kalangan aktivis saja, bersama
segelintir kelas menengah.
Apalagi,
tren bersepeda akhirnya membentuk konsep status sosial yang baru lagi, karena
sepeda para aktivis itu mahal-mahal hahaha. Coba, mana ada anak muda gaul
posting foto di Instagram saat keliling kota pakai sepeda jengki? Jadi, kita lupakan
dulu yang satu itu. Bakalan lebih gampang kalau kita menggali solusi yang
lebih instan, namun bukan dari negara, melainkan dari anggota masyarakat yang
berpengaruh. Siapa mereka?
Jelas,
yang saya maksud adalah ulama. Ulama, guru ngaji di kampung-kampung, beserta
para pemuka agama lainnya, adalah ujung tombak yang paling menyentuh realitas
di bawah. Sebagai negeri yang konon berisi manusia-manusia beragama, tak ada
salahnya mengharapkan agama menjadi solusi atas persoalan anak-anak ingusan
bermotor ini.
Selama
ini, para pemuka agama terlalu disibukkan dengan soal-soal formal semacam
halal-haramnya makanan ini-itu, hukum memilih pemimpin yang berbeda agama,
hukum mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, dan sebagainya. Agaknya
mereka lupa, bahwa agama semestinya aktif mengampanyekan kemaslahatan dalam
bermasyarakat, tak terkecuali kemaslahatan saat bersama menggunakan jalanan.
Jadi
saya mengusulkan, bagaimana bila MUI membuat fatwa tegas haramnya anak-anak
di bawah umur naik motor? Masuk akal, kan? Kenapa tidak?
Naik
motor bagi yang belum berhak adalah pelanggaran peraturan. Itu sudah merusak
kemaslahatan. Naik motor bagi yang belum cukup umur juga merupakan bentuk
kezaliman, karena dengan kondisi psikologis yang masih labil, itu akan jadi
potensi bahaya yang besar bagi orang lain. Peristiwa di Jogja yang saya sebut
di awal tulisan ini adalah salah satu contoh nyata di antara ribuan kasus
serupa.
Dari
sisi orangtua, membelikan motor untuk anaknya yang belum 17 tahun tak kalah
haramnya. Selain menzalimi orang lain, orangtua juga menzalimi anak sendiri,
bahkan rentan membunuh anak sendiri.
Nah,
pedulikah ulama dengan masalah riil seperti ini? Jika ya, kita pasti akan
sangat berbahagia. Bayangkan saja, pada saatnya nanti para khatib Jumat akan
menyebarkan fatwa haram bagi anak di bawah 17 tahun untuk naik motor. Jamaah
masjid akan manggut-manggut, kompak menaatinya, tanpa harus termakan gengsi
status sosial yang selama ini menjerat mereka. Pada waktu-waktu selanjutnya,
para orangtua akan membelikan sepeda kayuh untuk anaknya dengan niat
beribadah, sembari terus mengajarkan kepada keluarga mereka bahwa membuat SIM
dengan 'menembak' adalah dosa.
Saya
yakin, jika para pemuka agama mau mengambil sikap dalam persoalan sosial yang
satu ini, jatuhnya korban-korban baru akan bisa kita cegah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar