Meredupnya
Pamor Arab Saudi
Ibnu Burdah ;
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam
|
TEMPO.CO, 20 Januari 2017
Beberapa
upaya proses perdamaian di Suriah dan perang terhadap kelompok Negara Islam
Irak dan Suriah (ISIS) di Irak akhir-akhir ini menunjukkan terkikisnya peran
besar Arab Saudi. Kini Iran dan Turki memainkan peran yang sangat menonjol.
Padahal, postur Arab Saudi sebagai salah satu pemimpin Timur Tengah, bahkan
dunia Islam, selama ini cukup meyakinkan. Jarang negara itu ditinggal dalam
isu-isu Timur Tengah dan dunia Islam yang strategis.
Sejak
1970-an, Arab Saudi memang mempunyai modal sangat besar untuk mewujudkan
mimpinya sebagai pemimpin dunia Islam. Negara itu menguasai Mekah dan
Madinah, dua kota suci umat Islam. Negeri itu juga menjadi negara produsen
minyak terbesar di dunia. Ditambah lagi dengan hasil bumi yang lain seperti
gas plus hasil dari kegiatan haji-umrah, pemerintah Saudi mampu menyulap
negeri padang pasir itu menjadi sangat megah.
Rakyat
Saudi seperti dimanjakan. Mereka hidup makmur tanpa bekerja terlalu keras.
Bahkan, hingga 2010-an, tak ada warga negara Saudi yang menjalankan pekerjaan
"kasar," seperti menyapu jalan, pelayan rumah tangga, dan
seterusnya.
Dengan
sentralitas sebagai pelayan dua kota suci dan kemampuan ekonomi yang luar
biasa, ekspansi pengaruh Arab Saudi ke dunia Islam terus digencarkan sejak
1980-an. Organ-organ penyebaran pengaruh Arab Saudi terpusat pada penyebaran
paham Wahabi (Salafi) serta lembaga-lembaga filantropinya, semacam Rabithah
al-Alam al-Islamiy, Hai’ah al-Ighatsah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah, dan
al-Nadawaat al-Islamiyyah li al-Syabab al-Islammy.
Tak
hanya itu, mereka telah berhasil menggalang negara-negara di dunia Islam
melalui organisasi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Maqar (markas besar)
organisasi itu hingga sekarang berada di Arab. Karena itu, masuk akal jika
sentralitas Arab Saudi itu begitu kokoh di dunia Islam.
Namun,
"Arab Springs" atau tepatnya "Arab Tragedies" menciptakan
lingkungan baru yang benar-benar belum pernah dihadapi monarki itu
sebelumnya. Arab Saudi terlibat dalam perang di mana-mana.
Untuk
membiayai perang-perang yang sangat mahal, terutama di Yaman, anggaran Arab
Saudi jebol. Pada 2015–2016, anggarannya mengalami defisit signifikan.
Bahkan, negara yang superkaya dan selama empat dekade menebar bantuan
keuangan ke mana-mana itu harus berutang ke lembaga keuangan internasional.
Implikasi
lain adalah pengurangan subsidi dan program-program sosial bagi rakyatnya,
yang sudah sangat terbiasa dan bahkan bergantung pada bantuan itu. Jumlah
besar para pekerja asing dikurangi untuk mengatasi pengangguran di kalangan
warga negaranya sendiri.
Di
sisi lain, rezim Arab Saudi juga harus menghadapi tekanan dari rakyatnya yang
sudah sangat melek Internet dan media sosial. Para sarjana yang menganggur
menjadi ancaman yang sangat nyata bagi rezim karena kesadaran kritis mereka
jauh lebih kuat dibanding rakyat kebanyakan.
Bagaimanapun,
apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya berpengaruh besar
terhadap para sarjana penganggur itu, kendati propaganda pemerintah Saudi
yang menyudutkan gerakan rakyat di negara-negara itu sangat kuat. Kesadaran
demokratisasi yang menjalar dari media-media baru itu sungguh tak bisa
diremehkan. Apalagi suara oposisi di pengasingan luar biasa keras dan intens.
Sejauh
ini, penulis belum memperoleh informasi valid mengenai pengaruh hal ini
terhadap jumlah bantuan Saudi untuk dunia Islam. Tapi pemerintah Arab Saudi
tentu merasa dilematis. Di satu sisi, mereka harus mempertahankan pengaruh dan
eksistensinya di Timur Tengah dan dunia Islam. Di sisi lain, kemampuan mereka
semakin berkurang.
Pengaruh
Iran, pesaingnya, saat ini semakin kuat. Selepas perjanjian nuklir tahun
lalu, posisi Iran dalam pergaulan internasional kian kokoh. Pihak-pihak yang
didukung Iran di Timur Tengah kini memperoleh kemenangan signifikan. Di
Suriah, perkembangan semakin menunjukkan kemenangan Presiden Bashar al-Assad
dan para pendukungnya. Di Yaman, Arab Saudi sudah habis-habisan untuk merebut
kembali Sana’a tetapi gagal. Kelompok Houti masih bertahan di ibu kota Yaman
dan sejumlah wilayah lain. Di Libanon, pengaruh Hizbullah tak terbendung. Di
Irak apalagi.
Sementara
itu, peran Saudi semakin mengecil di kawasan. Aktor kawasan ini tak lagi
diajak bicara dalam penyelesaian isu Suriah. Mereka retak dengan sekutu
strategisnya, yakni rezim Mesir, bahkan dengan AS, yang seolah merupakan
sekutu abadinya. Mereka tak mudah mendekat ke Rusia karena musuh-musuh
kawasan mereka sudah lama bersama Rusia. Saudi menghadapi tantangan yang
sungguh besar. Apakah Saudi mampu untuk melewatinya, kita lihat
perkembangannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar