Selasa, 12 Desember 2017

Moralitas Kepengacaraan

Moralitas Kepengacaraan
Sudjito ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
                                               KORAN SINDO, 11 Desember 2017



                                                           
DARI perspektif moralitas, sungguh, perihal peng­unduran diri para pengacara Setnov bukan dagelan sebagaimana bakpao ataupun tiang listrik, melainkan cermin watak asli pengacara-pengacara yang bersangkutan. Kiranya telah menjadi pengetahuan umum, pengacara-pengacara merupakan bagian dari aparat penegak hukum yang hidup dan mencari kehidupan pada era globalisasi.

Dikemukakan oleh Saul J Ralston (2005) dalam 
“The Collapse of Globalism and the Reinvention of the World” bahwa pada era ini neo­kapitalisme bekerja secara rasional dan mekanistik dalam per­saing­an memperebutkan segala ben­tuk materi duniawi dalam skala global. Diakui atau­pun dibantah, kepengacaraan berada dalam lilitan neo­kapitalisme itu. Terkait dengan orientasinya pada materi duniawi, ihwal yang bersifat imaterial dan spiritual (seperti moralitas, ideologi, agama, dan etika) dianggap tidak penting, dan sekadar digunakan sebagai alat memperlancar per­olehan materi-duniawi. Impli­kasi­nya, siapa pun pengacara ter­sebut, rentan terjerumus ke watak hedonistik, sekuler, liberal, dan individual.

Dalam lilitan neo­kapital­isme, krisis penegakan hukum men­jadi tak terhindarkan. Pe­ne­gakan hukum sangat didomi­nasi oleh kesibukan-kesibukan yang ber­sifat teknologis dari­pada menjunjung tinggi moral­itas ke­ma­nusia­an (humanity), sosial (social), dan kebangsaan (nationality). Krisis demikian bukan hanya terjadi di Indo­nesia, melainkan juga melanda pula negara-negara maju (modern). Amerika dan negara-negara Eropa Barat dapat disebut sebagai representasi negara yang lebih dulu hanyut ke dalam pola penegakan hukum tekno­logis itu.

William Pizzi (1999) ber­komentar bahwa kegagalan sis­tem peradilan pidana Amerika karena hukum dan pengadilan bukan didayagunakan sebagai alat dan tempat pencarian ke­adilan dan kebenaran, melain­kan sebagai medan pertem­pu­r­an pencarian kemenangan. Di situlah orang-orang (peng­acara) mencari makan, popu­laritas, dan kebutuhan-kebutuhan materi duniawi lain. Sepadan dengan itu, di Indonesia pun tampak kasatmata, ketika sistem per­adilan dipolakan dan diken­dali­kan sebagai medan pertem­pur­an, watak neokapitalis para peng­acara pun semakin menonjol.

Telah menjadi catatan sejarah bahwa penegakan hu­kum yang bersifat teknologis menjadi gagal mengabdikan diri kepada kebutuhan bangsa­nya. Pada saat bangsa yang bersangkutan dihadapkan pada kasus-kasus hukum berskala nasional (seperti korupsi, pen­cucian uang, ataupun skandal-skandal lain) hasil yang bisa di­capai sebatas pada “pemang­kas­an ranting-ranting” per­ma­salah­an, tanpa menyentuh “akar dan pohon” permasalahannya.

Ambil contoh, kasus korupsi e-KTP. Kini sudah disebut sebagai korupsi nasional, bukan sekadar korupsi berjamaah. Be­gitu banyak tokoh dan pejabat nasional terlibat di dalamnya. Ketika yang diperiksa, diseli­diki, disidik, dan disangkakan sebagai terdakwa hanya orang-orang tertentu secara indivi­dual, sulit dapat dicapai kualitas pemberantasan korupsi yang fundamental dan menyeluruh. Individu-individu itu hanyalah ranting-ranting korupsinya. Akibat itu, sistem pengangg­ar­an proyek E-KTP, beserta sis­tem politik dan sistem pene­gak­an hukumnya, dipandang tak bermasalah.

Dalam pandangan demi­kian, sistem pemerintahan ber­masalah pun terus berlangsung, berkelanjutan, bahkan mening­kat ke arah pembuatan “lorong-lorong tikus” agar korupsi gaya baru bisa dilakukan. Ke­kurangan-kekurangan men­dasar pada semua subsistem pemerintahan seperti kejujur­an, wawasan ke­bangsaan, peng­awasan malai­kat tidak pernah disentuh untuk per­baikannya.

Halus ataupun kasar, ter­buka ataupun terselubung, sim­bolik ataupun maknawi, iden­titas dan watak asli pengacara-pengacara Indonesia tampil di muka publik dengan penuh percaya diri, seolah tak ada yang salah, dan tak salah pula ber­bohong kepada publik. Dunia kepengacaraan hanyut ke dalam neokapitalisme. Seolah ingin ditegaskan bahwa watak demikian sudah menjadi tun­tutan global. Dunia kepeng­acar­aan berada dan menjadi bagian dari “tukang-tukang hu­kum”, siap bekerja profesional demi klien-klien yang men­dam­bakan kemenangan.

Sindiran publik dengan slogan “maju tak gentar membela yang bayar” sama sekali tidak mengen­dur­kan semangat meraih keme­nang­an tersebut. Moralitas kepengacaraan, secara perlahan tapi pasti, semakin terkoyak-koyak oleh merasuknya neokapitalisme. Drama demi drama penegakan hukum hadir silih berganti, tetapi langka menghadirkan moralitas.

Kasus e-KTP hanya secuil dari permasalahan mora­litas penegakan hukum di Indonesia. Serial drama-drama lain sudah dan akan terus berlangsung dengan berbagai dinamikanya. Boleh jadi, dunia kepengacaraan sedang dilanda wabah “tunamoral”, yakni jiwa yang kosong dari sensitivitas dan moralitas sosial-kebang­sa­an. “Tunamoral” ini ditandai de­ngan ketidakpedulian terhadap nasib bangsa yang sedang menderita dan berada di jurang kehancuran karena maraknya korupsi. Orientasi pengacara semata-mata terfokus demi kemenangan klien, masa bodoh dengan nasib bangsa.

Terkait dengan krisis mora­litas kepengacaraan, patut di­simak pernyataan Geroge Bataille (1990) dalam Literature and Evil, tentang hypermorality, yakni suatu kondisi di mana ukuran-ukuran moralitas yang selama ini ada (moralitas reli­gius dan moralitas sosial-ke­bang­saan) tidak dipedomani lagi dengan alasan situasi ke­hidupan secara menyeluruh telah melampaui batas-batas Good  dan Evil. Dalam situasi de­mikian, pengacara “tutup telinga, pasang topeng” terhadap publik. Bisikan moral tidak lagi dihiraukan, bahkan dicuekin. Hujatan publik direspons de­ngan senyuman misterius, bual­an, dan kebohongan. Se­gala­nya dikembalikan kepada nafsu-nafsu materi-duniawi individualnya semata.

Ke depan legitimasi kepeng­acaraan diprediksi terus me­rosot seiring semakin kuatnya abjection  (J Kristeva, 1982), yaitu kondisi kepengacaraan yang tenggelam ke dalam jurang moralitas palsu, dan di situ hukum dimain-mainkan sesuai selera nafsunya. Marak­nya mo­ralitas palsu telah men­jadikan bangsa ini gelisah me­natap masa depannya. Diper­tanya­kan, adakah pintu tobat untuk pengacara tunamoral? Wallahualam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar