Pengampunan
Pajak III, Masih Menarik?
John Hutagaol; Direktur Perpajakan Internasional;
Direktorat Jenderal Pajak,
Kemenkeu
|
JAWA
POS, 26
Januari 2017
PENGAMPUNAN
Pajak Periode II sudah berlalu akhir 2016 dan sekarang kita memasuki awal bulan
pertama periode III atau yang terakhir. Ada baiknya kita lakukan flashback ke
periode sebelumnya untuk mendapatkan gambaran umum dari pelaksanaan program
pengampunan pajak selama ini. Ada beberapa catatan yang menarik untuk dibahas
dalam tulisan ini.
Pertama,
jumlah wajib pajak yang melakukan antrean panjang di kantor-kantor pajak
tampak terjadi pada bulan terakhir periode II, terutama beberapa hari
menjelang akhir periode tersebut. Pada bulan terakhir periode II, jumlah
surat pernyataan harta (SPH) yang disampaikan wajib pajak lebih dari 157 ribu
atau 66 persen dari jumlah SPH pada periode II. Sedangkan sisa SPH
disampaikan pada 2 (dua) bulan pertama pada periode tersebut.
Keadaan
yang demikian juga terjadi pada periode sebelumnya. Hal itu disebabkan
perilaku kebanyakan wajib pajak yang ’’memiliki kebiasaan’’ melaksanakan
kewajibannya pada hari-hari terakhir. Antrean panjang juga bisa kita lihat
saat menjelang batas akhir penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT).
Akibatnya, bukan hanya petugas-petugas pelayanan di kantor pajak yang harus
bekerja ekstrakeras menjelang batas akhir dan mungkin saja tidak optimal
karena keterbatasan jumlah pegawai. Namun, di sisi yang lain, wajib pajak
mungkin merasa tidak nyaman atas pelayanan yang diterima.
Yang
kedua adalah jumlah peserta program pengampunan pajak lebih dari 600 ribu
wajib pajak. Bila semata-mata dilihat dari jumlah yang berpartisipasi, bisa
dikatakan bahwa program pengampunan pajak ’’sukses’’. Pada periode II,
terjadi penambahan lebih dari 223 ribu peserta program pengampunan pajak.
Dan
yang menarik pada periode II ini adalah jumlah peserta program tersebut
didominasi wajib pajak berskala UMKM yang jumlahnya lebih dari 50 persen,
sedangkan sisanya adalah wajib pajak non-UMKM. Itu menunjukkan semakin banyak
wajib pajak UMKM yang ikut partisipasi dalam program pengampunan pajak. Peran
serta wajib pajak UMKM dalam program pengampunan pajak tersebut sangat
’’strategis’’ ketimbang jumlah uang tebusannya.
Namun,
secara keseluruhan, bila membandingkan jumlah yang ikut program pengampunan
pajak dengan jumlah wajib pajak yang terdaftar dan wajib menyampaikan SPT,
terlihat masih banyak wajib pajak yang belum ikut program pengampunan pajak.
Ketiga,
jumlah harta yang dilaporkan dalam program pengampunan pajak luar biasa
besarnya, yaitu lebih dari Rp 4.200 triliun atau dua kali lebih besar dari
besaran APBN 2016. Itu menggambarkan kepercayaan masyarakat sangat tinggi
terhadap program tersebut dan sekaligus meresponssecara positif kegiatan
sosialisasi langsung yang dilakukan Presiden Jokowi dan menteri keuangan di
beberapa daerah sebelumnya. Tidak lupa pelayanan secara all-out oleh
kantor-kantor pajak seluruh Indonesia.
Bila
diperinci lebih lanjut, deklarasi harta terbesar berasal dari harta yang
berada di Indonesia dan sebelumnya belum dilaporkan dalam SPT wajib pajak
atau belum terekam dalam Database Pajak Nasional. Tambahan harta tersebut
lebih dari Rp 3.100 triliun atau 73 persen dari jumlah deklarasi harta.
Dampak positif lain yang dapat dicatat ialah menekan jumlah besaran ekonomi
bawah tanah (underground economy).
Selanjutnya
adalah harta yang berada di luar negeri kemudian dibawa masuk ke Indonesia
(repatriation) lebih dari Rp 140 triliun. Dan yang menarik lagi adalah lebih
dari 64 persen dana repatriasi tersebut berasal dari Singapura, diikuti
Cayman Islands, Hongkong, Tiongkok, dan Virgin Islands.
Dana
repatriasi tersebut adalah dana segar yang dapat dimanfaatkan secara optimal
untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bila dana repatriasi
tersebut bisa terserap di sektor riil, diperkirakan memberikan efek domino
yang luar biasa bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Berikutnya,
deklarasi harta di luar negeri selain repatriasi lebih dari Rp 1.000 triliun.
Harta tersebut umumnya berupa deposito, surat-surat berharga (saham,
obligasi), trust, dan properti. Lebih dari 69 persen deklarasi harta di luar
negeri berasal dari Singapura diikuti Virgin Islands, Cayman Islands,
Hongkong, dan Australia.
Bagi
Ditjen Pajak, data dan informasi deklarasi harta itu merupakan modal dasar
yang bagus untuk memperkuat Database Nasional Perpajakan yang ada saat ini
dan memperluas ukuran serta cakupan basis pemajakan nasional. Basis pemajakan
nasional sangat startegis untuk menjamin kelangsungan penerimaan pajak
sebagai penyangga utama APBN.
Keempat,
jumlah uang tebusan (redemption money) yang dapat dihimpun adalah Rp 103
triliun. Jumlah tersebut menambah besaran realisasi penerimaan pajak 2016.
Bila diperinci lebih lanjut, sekitar 83 persen dari jumlah uang tebusan
berasal dari wajib pajak orang pribadi non-UMKM dan 12,1 persen berasal dari
wajib pajak badan non-UMKM.
Sedangkan
jumlah uang tebusan yang berasal dari UMKM tidak terlalu besar, yaitu wajib
pajak orang pribadi (4,6%) dan wajib pajak badan (0,3%). Rendahnya jumlah
uang tebusan dari UMKM disebabkan besaran tarif uang tebusan yang juga
rendah, yaitu 0,5 persen, untuk tambahan harta hingga Rp 10 miliar atau 2
persen untuk tambahan harta lebih dari Rp 10 miliar. Jika ditambah dengan
pembayaran tunggakan pajak dan pembayaran sanksi penghentian pemeriksaan
bukti permulaan, total uang tebusan yang dapat dihimpun adalah Rp 109,5
triliun.
Setelah
periode II berlalu, timbul keraguan apakah periode III masih menarik?
Apalagi, tarif uang tebusan naik menjadi 5 persen untuk deklarasi harta di
dalam negeri dan repatriasi harta ke Indonesia, serta 10 persen untuk
deklarasi harta di luar negeri.
Ada
beberapa alasan mengapa program pengampunan pajak pada periode III masih
menarik dan bahkan lebih menarik.
Pertama,
program pengampunan pajak merupakan solusi bagi wajib pajak untuk
menyelesaikan masalah kepatuhan di bidang perpajakan pada masa lalu, dengan
cara yang sederhana (cukup melaporkan harta yang belum dilaporkan) dan dengan
biaya yang sangat murah, yaitu 5 psersen atau 10 persen. Program pengampunan
pajak akan berakhir pada Maret ini dan tidak mungkin ada lagi dalam 10 tahun
berikutnya. Bila wajib pajak tidak memanfaatkan itu hingga berakhirnya
periode ini, yang akan timbul hanya ’’penyesalan’’. Hal serupa pernah terjadi
ketika program Sunset Policy berakhir dan banyak wajib pajak ’’menyesal’’
karena tidak ikut.
Kedua
adalah akan diberlakukannya era pertukaran informasi keuangan secara otomatis
untuk tujuan perpajakan (automatic exchange of information) pada September
2018. Pada 2018 dan seterusnya, akan semakin sulit wajib pajak menyembunyikan
hartanya di luar negeri dari kejaran otoritas pajak. Hal itu terjadi karena
lebih dari 100 negara dan jurisdiksi, termasuk Indonesia, akan menerapkan
pertukaran informasi keuangan secara otomatis.
Ketiga,
khusus untuk wajib pajak UMKM, baik orang pribadi maupun badan, besaran tarif
uang tebusan tidak berubah, yaitu 0,5 persen, untuk deklarasi harta sampai
dengan Rp 10 miliar atau 2 persen atas deklarasi harta lebih dari Rp 10
miliar. Jumlah UMKM di Indonesia lebih dari 52,5 juta dan belum banyak di
antara mereka yang memanfaatkan program pengampunan pajak.
Program
pengampunan pajak pada periode III masih ’’menarik’’ dan bahkan akan lebih
’’dahsyat’’ hasilnya bila dikemas dengan baik dan cermat. Hal itu disebabkan
masih banyak wajib pajak yang belum berpartisipasi dan masih ada wajib pajak
yang ingin ikut lagi karena yang sebelumnya masih belum seluruhnya
dilaporkan. Kepercayaan wajib pajak merupakan fondasi keberhasilan program
pengampuan pajak, sedangkan rasa memiliki (sense of ownership seluruh
pemangku kepentingan atas program pengampunan pajak akan melengkapi
kesuksesan pelaksanaan program ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar