Hela
Optimisme
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 15 Januari 2018
MENJELANG tahun-tahun
politik yang rawan diwarnai banyak atraksi, pemerintah dan masyarakat harus
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk lebih arif menangani berbagai
situasi. Banyak pihak yang mengkhawatirkan kebijakan pemerintah tidak lagi
objektif untuk menangani berbagai kepentingan publik yang lebih luas.
Prasangka ini tidak bisa
disalahkan juga, karena memang faktanya banyak pejabat eksekutif dan
legislatif dari level pusat hingga daerah yang terjun payung di arena
kontestasi politik daerah. Dalam pesta demokrasi tersebut ada pejabat aktif
yang mencoba peruntungan dengan menjadi salah satu kandidat kepala daerah.
Termasuk, tidak sedikit
pejabat publik lainnya yang terlibat dengan aktif sebagai tim pendukung.
Sehingga sangat wajar jika masyarakat merasa ketar-ketir apakah para pejabat
tersebut masih tetap bisa fokus melayani masyarakat? Akankah pemilu yang
sebentar lagi akan berjalan serempak mampu meminimalisir kegaduhan? Semuanya
masih mendebarkan.
Tahun 2018, dianggap
sebagai tahun politik yang diidentikkan dengan beraneka macam stigma yang
kontennya terkadang cenderung negatif. Warna-warni strategi pemenangan
politik juga tidak selamanya dilakukan dengan cara-cara yang sehat.
Akibatnya kasus sengketa,
saling tuding kecurangan, hate speech, dan berbagai pola kegaduhan lainnya
sulit terlepas dari konstelasi yang ada. Kegaduhan “musiman” seperti inilah
yang kiranya dapat merusak stabilitas pembangunan ekonomi nasional.
Pemerintah menargetkan untuk terus melanjutkan reformasi kelembagaan yang memang
sudah diprogramkan, walaupun di tengah situasi yang seperti ini. Diharapkan
juga, bagaimana stakeholders (rakyat dan para wakilnya) sebagai pengawas
kinerja pemerintah tidak lengah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pesta politik di tahun ini
juga bernilai strategis karena sedikit banyak akan dihubung-hubungkan dengan
momentum pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) di tahun
2019. Kita dengan mudah bisa menebak akan banyak politisi yang dengan
semangat dan gairah kekuasaan untuk turun gunung ke konstituennya. Selain
untuk mensosialisasikan pasangan calon yang akan/sedang diusung partainya,
politisi yang hendak bertarung di arena pileg akan melakukan beauty contest
untuk mengkampanyekan dirinya sebagai calon legislator.
Sebagai bagian dari proses
pelanggengan kekuasaan, mereka bisa saja memanfaatkan akses politiknya
terutama melalui kebijakan anggaran untuk menarik simpati masyarakat.
Biasanya wahana kebijakan yang paling sering digunakan adalah melalui skema
hibah dan/atau bantuan sosial (bansos). Memang tidak ada salahnya bagi
pemerintah untuk melakukan bansos.
Akan tetapi perlu
dipertimbangkan juga bagaimana dampak secara komprehensif terhadap
masyarakat, termasuk bagaimana perilaku masyarakat terhadap hibah bansos.
Pertanyaan terpenting berikutnya apakah program hibah/bansos sudah tepat
sasaran? Karena perlu diteliti pula apakah skema hibah/bansos betul-betul
menunjang program pengentasan kemiskinan dan ketimpangan dalam jangka
panjang? Jangan sampai tujuan mulia dari bansos yang didanai dari kas
daerah/negara ditunggangi hanya semata-mata demi meningkatkan popularitas
politik. Masyarakat harus dibekali pendidikan politik yang lugas dan praktis
agar tidak hanya menjadi tunggangan kepentingan pragmatis segelitintir
politisi.
Menjaga Momentum
Optimisme yang kuat tengah
digaungkan pemerintah untuk mengurangi kegelisahan masyarakat di tengah
masa-masa krusial politik domestik. Pemerintah menjamin bahwa mereka tetap
akan fokus melanjutkan reformasi ekonomi tanpa terpengaruh adanya
gonjang-ganjing politik. Bahkan pemerintah menangkap peluang adanya kenaikan
konsumsi masyarakat seperti halnya yang terjadi pada masa-masa pemilu
sebelumnya. Hanya saja pemerintah perlu berhati-hati untuk menjaga prospek
investasi yang akhir-akhir ini sedang membaik. Jangan sampai reformasi
struktural yang tengah dibangun pemerintah menjadi berantakan di
tengah-tengah jalan.
Lembaga rating
internasional, yakni Moody’s Investors Service sudah mengingatkan akan
pentingnya pengawasan tahun politik terhadap kesinambungan pembangunan
ekonomi di Indonesia. Dalam pengamatannya, Moody’s menilai beberapa negara di
Asia Pasifik seperti Kamboja, Myanmar, Malaysia, India, Pakistan, dan
kemungkinannya juga Indonesia bisa menghadapi perlambatan reformasi ekonomi
jika pemerintahnya tidak cukup arif mengendalikan dampak perhelatan pilkada.
Jika kita kaitkan dengan laporan kondisi investasi yang baru-baru ini
disampaikan pemerintah, ada benarnya juga bahwa pemerintah harus tetap fokus
melanjutkan progresivitas reformasi yang tengah dijalani.
Pekan yang lalu pemerintah
mengabarkan bahwa kondisi investasi kita semakin membaik. Semenjak Perpres
Nomor 91/2017 diteken Presiden Joko Widodo, konon minat investasi meningkat
sebanyak 1.054 proyek senilai USD42,6 miiar. Jika dikomparasikan dengan
periode yang sama di tahun sebelumnya, minat investasi meningkat 23% secara
tahunan.
Namun pemerintah jangan
melupakan pekerjaan rumah besar lainnya untuk menjaga agar investasi di
Indonesia bisa lancar proses realisasinya. Karena dalam kurun waktu 2010-2017
pemerintah mengatakan terdapat sekitar 190 proyek dengan nilai Rp351 triliun
dan USD54,6 miliar yang masih mangkrak realisasinya. Jadi tanpa adanya
perhelatan pilkada pun secara alamiah pemerintah sudah kewalahan mengawal
kinerja realisasi investasi. Apalagi sekarang ditambah dengan adanya momentum
pilkada? Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus pada beberapa hal sebagai
berikut.
Pertama, pemerintah perlu
fokus untuk mewujudkan profesionalisme kinerjanya dan melanjutkan reformasi
kebijakan ekonomi yang tengah dilakukan saat ini. Bagi penulis langkah
pemerintah dengan menyelenggarakan online single submission untuk
memfasilitasi percepatan pelayanan perizinan investasi sudah menjadi solusi
yang jitu.
Kebijakan ini disinyalir
akan memperbaiki rating investasi dan doing business Indonesia. Namun jangan
lupakan pula untuk melibatkan pemerintah daerah dalam koordinasi kebijakan.
Karena sudah terbukti kebanyakan proyek-proyek yang mangkrak tersebut
bersumber dari barrier secara kelembagaan dari pemerintah daerah. Rata-rata
investasi mandek di tahap izin prinsip. Ketika hendak direalisasikan, para
investor mendadak maju-mundur karena perubahan peraturan setelah terjadi
pergantian pimpinan daerah.
Titik tekannya disini
selain pentingnya koordinasi kebijakan ialah menghadirkan konsistensi
kelembagaan. Setelah koordinasi dengan pemerintah daerah terjamin, tugas
utama pemerintah pusat ialah menyediakan paket insentif lainnya. Entah apakah
melalui skema perpajakan, perbaikan infrastruktur, ataupun dengan membangun
kawasan-kawasan industri terpadu.
Kedua, kita perlu
memanfaatkan momentum perbaikan perekonomian dunia, pertumbuhan negara
emerging market, yang diikuti dengan perubahan harga komoditas strategis yang
saat ini tengah menggembirakan. Dalam posisi ini lahir harapan bahwa tingkat
pendapatan dan konsumsi masyarakat juga akan membaik. Struktur ekspor kita
sebagian besar memang masih dikuasai oleh barang-barang mentah.
Sehingga pemerintah perlu
jeli untuk menata agar momentum yang sekarang ini tidak pasang surut lagi.
Caranya adalah dengan mendorong transmisi agar momentum perbaikan harga
komoditas strategis yang sekarang ini terjadi, hasilnya tidak cepat menguap
sekadar untuk dimanfaatkan sebagai input konsumsi.
Perlu ada daya tarik yang
lebih kuat agar kalangan yang ekonominya tengah pulih ini mau melakukan
investasi. Selain itu pemerintah juga perlu mendorong daya beli dan
mengendalikan tingkat inflasi. Pada intinya pemerintah perlu bekerja keras
agar mekanisme pasar yang tengah berjalan bisa mendapat kontinyuitas. Minimal
ada perjuangan agar denyut perekonomian kita tidak terlalu menggantungkan
pada kondisi eksternal.
Dan ketiga sebagai akhir
dari tulisan, penulis berupaya mengingatkan ada baiknya jika pemerintah agar
tidak terlalu terpancing untuk terlibat lebih terlalu dalam mekanisme politik
yang berkembang di daerah-daerah. Sejumlah provinsi strategis seperti Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara akan
menjadi tuan rumah pemilu kepala daerah.
Jika menengok ke belakang
berdasarkan pengalaman pilkada-pilkada lainnya, mudah-mudahan pilkada di
kelima daerah itu tidak sampai terjadi percikan api konflik. Daerah-daerah
lainnya juga bernilai strategis mengingat sudah menjelang Pilpres 2019.
Penulis amat mengkhawatirkan jika pemerintah tidak mampu objektif menghadapi
perhelatan pilkada, situasi sosial politik akan menjadi tidak kondusif.
Selain itu nanti
pemerintah bisa kehabisan energi, dan terganggu hingga kehilangan fokus untuk
menjaga kontinyuitas tren positif pembangunan saat ini. Penyelenggaraan
kampanye harus lebih elegan adalah dengan banyak mengangkat isu tentang
kebijakan pro kesejahteraan dan pemerataan.
Bersamaan dengan itu,
diharapkan masyarakat tergerak untuk ikut mendukung keberlanjutan program
pemerintah, karena sebenarnya itulah esensi demokrasi yang sedang kita jalani
saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar