Mencari
Kader Parpol dalam Pilkada
Aminuddin ; Analis Politik pada
Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED); Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
15 Januari
2018
Setelah Abdullah Azwar
Anas mengumumkan pengunduran dirinya sebagai calon wakil gubernur mendampingi
Syaifullah Yusuf karena kasus foto lawasnya, praktis pilgub Jawa Timur tidak
diwakili oleh figur dari partai politik. Kendati Emil Dardak lahir dari rahim
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia tidak diusung oleh PDIP, melainkan
dari Demokrat, Golkar, dan Nasdem. Di daerah lain pun mengalami hal serupa,
yaitu lahirnya tokoh-tokoh non-parpol. Sedangkan tokoh parpol yang sejak awal
diisukan akan maju, pada akhirnya harus tunduk pada kebijakan parpol. Boleh
dibilang, hajatan demokrasi lokal 2018 ini menjadi pertarungan tokoh
non-parpol.
Jauh sebelum itu, pilkada
DKI Jakarta sudah lebih dahulu menjadi kaca pembesar pendangkalan kandidasi
parpol. Dari tiga pasangan yang maju beberapa waktu lalu, hanya Djarot
Syaiful Hidayat yang murni kader parpol. Sisanya merupakan pengusaha,
akademisi, dan mantan militer. Itu pun hanya menjadi calon wakil gubernur.
Fenomena pengaderan ternyata menjalar ke internal parpol. Parpol yang ada
saat ini dikuasai oleh politisi lawas, menandakan bahwa pengaderan mandeg.
Sebut saja Demokrat, Gerindra, Nasdem, dan PDIP yang dikuasai politisi lawas.
Ini artinya, lonceng kebangkrutan partai politik sudah mulai dibunyikan.
Kerugian
Parpol
Langkah parpol yang gemar
mencalonkan tokoh non-parpol atau kader lain dalam hajatan politik tentu saja
menjadi kerugian bagi parpol itu sendiri. Selain menutup rapat-rapat kader
potensial yang melalui proses panjang dalam pengaderan, parpol juga hanya
memiliki dukungan secara formal di pemerintahan daerah. Dengan kata lain,
dukungan mereka tidak diikat secara ideologis seperti kader parpol karena
mengabaikan loyalitas. Logikanya, mana mungkin mereka akan loyal dan tunduk
kepada parpol yang hanya mendukung ketika pemilihan saja? Bisa saja parpol
akan dicampakkan di tengah jalan ketika bulan madu politik sudah pahit.
Selain itu, dukungan
parpol terhadap tokoh eksternal juga akan mempengaruhi segmentasi pemilih
berdasarkan parpol pengusungnya. Jika nantinya tokoh non-parpol menang, belum
tentu perolehan suaranya mewakili parpol itu sendiri. Hal ini terjadi karena
pemilih tidak lagi melihat siapa yang dicalonkan oleh partai, melainkan
ketokohan kandidat itu sendiri. Ditambah lagi dengan banyaknya parpol yang
mendukung tokoh tersebut. Maka akan kesulitan mengidentifikasi suara yang
berafiliasi dengan parpol.
Selain kerugian bagi
parpol itu sendiri, kepala daerah yang didukung tanpa melalui proses
pengaderan berpotensi dikangkangi oleh partai. Konsekuensinya, mereka akan
kesulitan menjalankan program kerja selama menjabat. Alih-alih menuntaskan
janji politiknya, arah kepemimpinannya hanya diributkan dengan tarik-menarik
politik dan saling jegal. Lagi-lagi, yang dirugikan tentu saja rakyat sebagai
pemilik sah kedaulatan politik.
Fenomena ini jelas menjadi
tamparan keras bagi parpol yang gemar mengejar kekuasaan dan tidak memikirkan
pengaderan. Parpol yang seharusnya giat mencari bibit unggul di berbagai
daerah justru mandek. Mesin parpol tidak mampu bergerak sesuai dengan
fungsinya. Padahal, proses pengaderan merupakan elemen penting agar parpol
berjalan dan sehat. Ketika proses pengaderan mandul, jangan berharap parpol
bertahan lama. Lama-lama parpol mati suri. Bukan tidak mungkin parpol hanya
menjadi organisasi dengan sekumpulan politisi lawas.
Parpol hanya berorientasi
kepada proses perebutan kekuasaan yang ada di daerah. Kekuasaan ibarat
kompetisi yang harus diperoleh dengan berbagai cara, termasuk mengabaikan
proses politik yang baik seperti melalui perekrutan kader berjenjang.
Begitupun dengan kader parpol yang mudah tergoda dengan tawaran partai lain.
Kader parpol tidak tahu caranya berterima kasih kepada parpol yang
menyulapnya menjadi figur publik. Ketika tahta dan popularitas sudah berada
di genggaman, seolah mereka lupa diri terhadap parpol yang membesarkannya.
Persoalan ini tentu
menyingkap tabir buruk bahwa berpolitik tidak perlu melalui lorong waktu yang
panjang. Cukup dengan melihat momentum dan memanfaatkannya. Politisi tidak
perlu merealisasikan janji-janji politiknya di daerah pemilihan sebelumnya.
Selama parpol yang terdahulu tidak memberikan ruang untuk meningkatkan karier
politiknya, ada jalan lain untuk dilalui, yaitu menerima lamaran parpol lain
yang lebih menjanjikan. Ideologi politik tidak perlu diperhatikan, yang
penting partai tersebut menggaransi karier politik ke depan. Jika pun
nantinya tidak progress, pindah ke partai lain juga bisa dilakukan.
Akhirnya, publik akan
sulit mencari kader parpol dalam pilkada jika orientasi parpol tidak segera
dibenahi. Ketika parpol hanya fokus mengejar kekuasaan tanpa memperhatikan
proses panjang, jangan berharap fungsi parpol berjalan baik. Sebaliknya,
parpol akan semakin kehilangan pamor di mata publik. Jika itu terus terjadi,
parpol akan kehilangan kepercayaan dari publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar