Pemerintah,
"dari Kami", "dari Mereka"
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI)
|
KOMPAS, 20 Juni 2017
Dalam beberapa bulan terakhir, khusus- nya sejak masa
sebelum dan setelah Pilkada DKI Jakarta, berkembang anggapan di kalangan
warga bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
bukan minna (kosakata Arab) yang berarti "dari [pihak atau golongan]
kami". Sebaliknya, pemerintah adalah minhum atau "dari [pihak atau
golongan] mereka". Ada kalangan warga yang lebih jauh berpersepsi,
pemerintahan Jokowi-JK sebagai "anti-Islam".
Indikasinya, menurut mereka, terlihat keti- ka aparat
pemerintah memeriksa beberapa figur ulama atau ustaz-tindakan yang mereka
sebut sebagai "kriminalisasi ulama". Retorika dan tuduhan yang
gebyah uyah itu berulang-ulang dibantah Polri khususnya. Jika ada beberapa
orang yang memiliki kredensial sebagai ulama atau ustaz diperiksa Polri,
jelas itu bersifat kasuistik, bukan gejala umum menyangkut ulama secara
keseluruhan.
Penjelasan dan klarifikasi itu tidak bisa menepis persepsi
tentang minna dan minhum. Jika pembelahan minna dan minhum ini terus
berlanjut, jelas tidak kondusif bagi masa depan NKRI yang bersatu dengan UUD
1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Secara retrospektif, persepsi dan sikap di kalangan umat
Islam tentang pemerintahan Jokowi-JK terkait minna dan minhum sebe- narnya
bukan hal baru. Pemerintah Indonesia sejak masa Soekarno, Soeharto, Megawati
Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak jarang juga dilihat dari
perspektif minna dan minhum.
Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) agaknya nyaris tidak dilihat dalam kerangka minna dan minhum. Hal ini
terkait kenyataan, keduanya memiliki kredensial Islam-masing-masing pernah
menjadi Ketua Umum ICMI dan Ketua Umum PB NU.
Perspektif minna dan minhum muncul dari waktu ke waktu.
Tidak jarang penghadapan oposisional ini muncul dalam pembicaraan, diskusi,
dan seminar akademik-ilmiah. Persepsi minna dan minhum sudah menjadi gejala
psikologis laten yang tersimpan dalam psike orang atau kalangan tertentu.
Psike ini kemudian dapat beramalgamasi dengan teori konspirasi: bahwa langkah
dan kebijakan pemerintah bertujuan memojokkan atau memarjinalisasi orang atau
kelompok tertentu.
Penghadapan oposisional antara minna dan minhum lebih jauh
bisa dilacak dalam banyak ayat Al Quran.
Secara historis di Indonesia, cara pandang dan sikap minna
dan minhum berakar sejak zaman kolonialisme Belanda. Berhasil ditundukkan
kekuatan kolonialisme Belanda melalui berbagai cara (penaklukan,
perjanjian/plakat panjang atau pendek dan kooptasi), ulama umumnya dan
pengikutnya memilih melawan secara diam (silent opposition).
Menghindari aksi perlawanan bersenjata yang disebut
Belanda sebagai wujud "Islam politik" yang berbahaya bagi
kelangsungan status quo kekuasaan kolonial, para ulama dan kaum santri
mengalihkan perhatian dan energi mengembangkan Islam kultural. Perubahan
bentuk perlawanan ini terbukti kemudian menjadi blessing in disguise bagi
umat Islam Nusantara.
Berkat perjuangan melalui Islam kultural, Muslim berhasil
mengembangkan banyak lembaga pendidikan sejak dari pesantren, madrasah, dan
sekolah Islam. Selain itu juga dapat dibangun rumah sakit, klinik, rumah
yatim piatu. Semua ini menjadi bagian dari warisan Islam Indonesia yang
sangat kaya.
Pada saat yang sama, perlawanan secara diam terhadap
Pemerintah Belanda menciptakan distansi ketat (watertight) di antara kedua
pihak. Pemerintah kolonial bisa dipahami memang bukan minna, sebaliknya
adalah minhum.
Persepsi dan sikap minna dan minhum tidak berakhir dengan
tamatnya penjajahan Belanda dan Jepang. Pasca-kemerdekaan, sikap seperti ini
terus bertahan sampai sekarang. Sekali lagi, persepsi minna dan minhum tidak
hanya merugikan hubungan antara warga dan pemerintah, tetapi juga intra-umat
Islam dan antar-umat beragama.
Secara akademik-ilmiah, subyek minna dan minhum serta
isu-isu terkait lain telah menjadi kajian sejumlah Indonesianis. Dalam
kajian-kajian itu terlihat konsekuensi dan implikasinya terhadap kehidupan
kebangsaan, intra-umat Islam, serta antara umat Islam dan komunitas
non-Muslim.
Pembelahan minna dan minhum merupakan bentuk kontraksi
(penciutan atau penyempitan) pengertian "umat". Sidney Jones dalam
artikelnya yang sudah menjadi klasik "The Contraction and Expansion of
the Umat" (1984) mengungkapkan penyempitan cakupan "umat",
yang semula menginklusi umat Islam keseluruhan menjadi hanya bagian tertentu
umat. Dengan penyempitan itu, umat (suatu kelompok) adalah minna, sedangkan
mereka (meski merupakan kelompok mayoritas) adalah minhum.
Penyempitan pengertian dan cakupan "umat"
membuat Islam dan umat Islam menjadi kecil dan kabur. Implikasi ini
diungkapkan William R Roff dalam Islam Obscured?: Some Reflections on Studies
of Islam and Society (1985). Roff melihat ada usaha sistematis kalangan
Indonesianis mengecilkan cakupan Islam dan umat Islam kaitannya dengan
fenomena sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Hasilnya, Islam Indonesia
seolah-olah menjadi "kabur" atau tidak jelas.
Argumen sama juga diajukan Karel Steenbrink dalam buku
Dutch Colonialism and Islam (2006). Steenbrink melihat usaha sistematis
sarjana Belanda mengecilkan Islam dengan ranah pengaruhnya di Indonesia.
Penciutan cakupan umat, eksklusi dan penghadapan
oposisional minna dan minhum jelas tidak menguntungkan negara-bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, persepsi dan sikap semacam itu saatnya untuk
ditinggalkan. Sebaliknya, perspektif dan sikap inklusif yang justru mesti
ditumbuhkembangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar