Senin, 09 April 2018

Krisis Diplomatik Rusia-Uni Eropa

Krisis Diplomatik Rusia-Uni Eropa
Dinna Wisnu  ;   Pemerhati dan Praktisi Hubungan Internasional
                                                         KOMPAS, 07 April 2018



                                                           
Hubungan diplomasi Rusia dan Uni-Eropa (EU) memasuki tingkat terendah tiga dekade terakhir.  Putin ditekan setelah belasan diplomat Rusia dipulangkan dari negara-negara EU. Selama ini hubungan Rusia-EU secara politik memang pasang surut terutama terkait konflik keterlibatan Rusia dan EU di beberapa negara bekas Uni Soviet seperti Ukraina, Crimea, dan Georgia. Ketegangan politik itu bertolak belakang dengan kerja sama ekonomi kuat antara keduanya di mana Rusia adalah mitra ketiga terbesar bagi EU setelah AS dan China.

Pasang surut diplomasi Rusia-EU menunjukkan tak adanya rasa saling percaya sebagai akar masalah hubungan keduanya belum dapat diselesaikan dengan baik. Rasa saling percaya ini memang perkara penting dalam diplomasi dan hubungan luar negeri. Hubungan Rusia-EU bukan seperti hubungan Blok Timur dan Blok Barat pada masa Perang Dingin. Pada masa lalu, tak ada  hubungan Eropa Timur dan Eropa Barat secara langsung. Kebutuhan masing-masing negara, terutama ekonomi, dipenuhi atau dilakukan oleh jaringan negara di dalam bloknya masing-masing.

Menariknya, dalam konteks Perang Dingin, institusionalisasi kepercayaan justru dapat dibangun karena mereka yakin masing-masing kubu tak dapat dipercaya sehingga dibangun  sebuah prosedur agar menjamin saling kepatuhan antarmereka.

Sebaliknya ketika hubungan Rusia-EU justru kian terintegrasi dengan kerja sama ekonomi, ketidakpercayaan malah mendominasi hubungan mereka. Pendekatan institusionalis liberal berpandangan bahwa para pihak di dunia pada dasarnya memiliki kepentingan dan ingin mewujudkan kepentingan itu dalam bentuk  kerja sama internasional.

Rusia-EU telah menandatangani Partnership and Cooperation Agreement (PCA) tahun 1997 dengan tujuan mempromosikan perdagangan, investasi dan mengembangkan hubungan ekonomi yang harmonis. Hubungan ini kian dekat ketika Rusia akhirnya bergabung ke Organisasi Perdagangan Dunia pada 2012. Rusia menikmati surplus perdagangan dengan EU terutama dalam soal energi minyak bumi dan gas. EU mengandalkan 40 persen impor energinya terutama dalam bentuk gas dari Rusia; Rusia menjadi penyuplai energi terbesar bagi EU.

Beberapa negara anggota EU seperti Republik Czech, Slovakia, Finlandia, Lithuania, Latvia dan Estonia hampir 100 persen bergantung dari pasokan Rusia. Oleh sebab itu EU mengecam keras  ketika AS sempat memikirkan memberikan sanksi ekonomi yang berdampak pada perdagangan energi Rusia-EU.  Menarik bahwa kerja sama dan saling ketergantungan itu tak dapat jadi landasan membangun kepercayaan di antara Rusia dan EU.

Pandangan institusional liberal yang mengatakan bahwa kepentingan rasional masing-masing pihak  akan mengabaikan adanya ketidakpercayaan ternyata tak terjadi dan sebaliknya irasionalitas hubungan  Rusia-EU justru menguat. Mereka seperti ingin “saling membuktikan” bahwa mereka tak saling membutuhkan.  EU terus memperpanjang sanksi ekonomi kepada Rusia karena kasus Crimea/Ukraina dengan membekukan keuangan orang-orang yang dianggap terlibat dalam kasus itu, melarang pejabat Rusia masuk ke Eropa, menolak negosiasi Rusia yang ingin bergabung dengan OECD dan Badan Energi Internasional.

Rusia membalas dengan memberlakukan larangan makanan pada berbagai impor makanan dari UE, AS, Norwegia, Kanada dan Australia sebagai pembalasan atas sanksi Barat terhadap Rusia atas perannya dalam konflik Ukraina sejak 2014.

Negara-bangsa vs negara-supranasionalisme

Kegagalan mengembangkan rasa saling percaya keduanya memperlihatkan ada masalah struktur dan mekanisme yang menghadirkan terlembaganya rasa ketakpercayaan. Dari berbagai faktor, salah satunya adalah kontradiksi  karakter antar negara-negara itu. Rusia adalah negara-bangsa (nation-state) yang mengutamakan pencapaian kepentingan nasional lewat sistem nasional yang kuat, sementara  EU yang terdiri dari 28 negara mengutamakan penguatan supranationalism-state untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing anggota.

Karakter nation-state yang selalu menjaga identitas dan ideologi bangsa sebagai bagian dari proses menjaga kedaulatan (sovereignity) negara bergesekan dengan supranationalism-state yang terus memperluas pengaruh baik secara geografis maupun ideologi. Pergesekan di antara keduanya memanas karena posisi mereka yang bertetangga secara langsung. EU, misalnya, tak terlalu bermasalah dengan negara-bangsa yang ada di Asia Tenggara atau dengan China yang juga negara besar karena potensi ancamannya tak langsung karena jarak yang jauh.

Ideologi EU sebagai  supranationalism-state adalah anti-nasionalisme, sosial demokrasi, pacificism (keyakinan bahwa perselisihan internasional dapat diselesaikan dengan cara damai) dan  lingkungan (Nicola Petrovic, 2015).  EU tak melarang setiap negara anggota memiliki ideologi nasionalismenya masing-masing tetapi ketika berada di EU maka kepentinganya adalah satu seperti yang disebut di atas. EU tak mengkampanyekan ideologi nasionalisme tertentu karena belajar dari Perang Dingin dan Perang Dunia bahwa ideologi nasionalisme telah membawa mereka ke peperangan sementara dunia kian lama kian terintegrasi dalam hal ekonomi dan politik.

Oleh sebab itu ideologi EU terbuka dan memilih terus menambah negara anggota (enlargement) demi memperkuat postur ekonomi dan politik. Mereka memperluas pengaruh ekonomi dan politik ke negara lain dalam berbagai bentuk kerja sama. Ada mekanisme kebijakan untuk menambah  keanggotaan dari dalam benua Eropa sendiri dan juga negara yang ada di perbatasan.

Keanggotaan EU dari benua Eropa misalnya datang dari negara Eropa Timur dan Tengah bekas Uni Soviet (Czech, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, dan Slovenia), sementara untuk memperluas pengaruh ke negara yang berbatasan dengan EU ada kebijakan European Neighbourhood Policy (ENP). Kebijakan ini  memberi insentif ekonomi atau politik kepada negara tetangga tanpa perlu jadi anggota EU.  EU, seperti halnya sebuah negara, fokus kepada pertumbuhan ekonomi dan penguatan produksinya agar lebih efisien dan efektif. Integrasi negara-negara anggota EU menguat melalui birokrasi dan kebijakannya yang otoritatif ke dalam dan keluar, dan mengikat pada anggota. EU punya parlemen.

Cara pikir Rusia berbeda dengan EU. Rusia secara geografis empat kali lebih luas dari EU dan 1,8 kali ukuran AS. Sebagai sebuah negara-bangsa ideologi Rusia sangat tergantung dari identitas mereka sebagai warga Rusia dan  juga secara historis pernah menjadi adidaya. Putin pernah mengeluarkan “Turn of the Millennium” manifesto yang intinya adalah Patriotisme, Kekuasaan, dan Statisme. Inti dari manifesto mengembalikan kembali kejayaan Rusia sebagai negara-bangsa berpengaruh di Eropa.

Rusia mendeterminasikan dirinya untuk mempertahankan pertahanan dan keamanannya sehingga kerangka berpikirnya dalam melihat negara lain adalah dalam konteks kawan dan lawan. Posisi ini membuat Rusia melihat perluasan EU sebagai ancaman.  Perluasan EU dikhawatirkan bukan sekadar perluasan pengaruh sosial-ekonomi tetapi juga militer. Negara-negara anggota EU juga akan jadi bagian NATO dan NATO hampir didanai oleh AS.

Presiden AS Donald Trump sendiri pernah mengeluhkan bantuan keuangan AS yang menutupi 70 persen pengeluaran NATO di Eropa tetapi perdagangan mereka defisit atau tak seperti diharapkan. Tak heran Rusia ambil bagian dalam konflik di Ukraina yang menyatakan diri bergabung dengan EU di 2014. Ukraina salah satu wilayah penting bagi Rusia karena ada pangkalan militer Rusia dan wilayah denuklirisasi sesuai Memorandum Budapest di mana Ukraina, Rusia, Inggris dan AS akan menjamin keamanan Ukraina.

Masa depan Rusia-EU

Dua karakter yang berbeda antara Rusia-EU bukan masalah yang dapat diselesaikan dengan cepat. Penyelesaian butuh kedewasaan masing-masing negara.  Dunia tentu berharap hubungan Rusia-EU dapat membaik dan tak kian tajam. Mereka adalah negara-negara yang penting untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas di sejumlah negara terutama di Timur Tengah. Mereka juga memiliki legitimasi kuat di dunia karena hak veto yang dimiliki di Dewan Keamanan PBB. Cukup ironis ketika mereka banyak terlibat dalam banyak usaha perdamaian dunia tetapi sulit mewujudkan perdamaian di dalam kawasan mereka sendiri,

Masa depan Rusia-EU juga tergantung AS. Krisis Rusia-EU menajam ketika AS menarik diri dari Perjanjian Rudal Antibalistik 2002. Kesepakatan bertujuan mulia  agar negara besar tak memproduksi senjata yang dapat mengancam negara lain. Penarikan AS ini meningkatkan kewaspadaan dan kecurigaan Rusia terhadap Barat.   Rusia memiliki harapan ketika Trump terpilih sebagai presiden AS hubungannya menjadi lebih baik. Pendekatan pragmatis Trump untuk lebih fokus ke masalah ekonomi daripada politik dalam hubungannya dengan negara mitra sempat dianggap sebagai pintu untuk membangun kepercayaan.

Harapan ini yang dilakukan oleh Trump terhadap Korea Utara. Trump juga mengatakan menarik diri dari konflik Suriah beberapa waktu lalu dengan alasan NIIS sudah bisa dikalahkan. Penarikan diri ini diharapkan mendorong pihak lain seperti Iran atau Rusia ikut menarik diri. Pendekatan pragmatis AS ini mungkin juga dapat membantu institusionalisasi rasa saling percaya antara Rusia-EU. EU mungkin juga perlu membatasi diri memperluas pengaruh mereka dan tak menerima negara baru dalam EU yang dapat menimbulkan perselisihan atau menimbulkan rasa cemas dari Rusia.

Kasus Taiwan dan Kosovo, walaupun tak persis sama, adalah contoh di mana sebagian besar negara memilih tak mengakui kedaulatan mereka untuk tak mengundang permasalahan yang mengganggu perdamaian. Rusia juga mungkin perlu menahan diri untuk tak terlibat konflik internal secara langsung di negara-negara kecil bekas Uni Soviet. Rusia perlu mengusahakan cara-cara non militer untuk mempertahankan kedaulatannya. Pesan ini mungkin dapat disampaikan bila Rusia jadi mengunjungi Indonesia bulan ini. ●

1 komentar: