Sekolah
Unggulan, Disparitas dalam Pendidikan
Marthunis ;
Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh;
Kandidat Master of Education di
Tampere University, Finlandia
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2017
PEMENUHAN
8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar kompetensi lulusan,
standar isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan
pendidikan, dan standar penilaian pendidikan, seyogianya disasar secara tepat
dan efektif ke seluruh sekolah yang ada di negeri ini sehingga mutu
pendidikan dapat merata ke seluruh pelosok Tanah Air.
Namun,
dalam beberapa tahun terakhir maraknya sekolah-sekolah negeri berlabel unggul
yang digagas pemerintah di hampir setiap kabupaten/kota telah menyisakan
permasalahan yang cukup substantif, yaitu disparitas dalam pemerataan mutu
pendidikan nasional.
Adanya
sekolah unggul dan nonunggulan telah menyebabkan kesenjangan yang cukup
kasatmata dalam banyak aspek.
Merujuk
pemenuhan 8 SNP, sekolah unggul disinyalir menjadi prioritas utama Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan dalam pemenuhan keseluruhan standar tersebut, dan
sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah unggul diperlakukan layaknya anak
emas oleh dinas terkait.
Input
siswa yang sifatnya 'pesanan' yang notabene orangtua mereka ialah
pejabat-pejabat setempat sehingga banyaknya privilege yang diberikan bagi
sekolah unggul, seperti pemenuhan sarana dan prasarana yang lengkap untuk
menunjang proses pembelajaran, tenaga pengajar pilihan yang kompeten dan
profesional, serta menjadi prioritas utama dalam pemberian akses untuk
mengikuti berbagai perlombaan yang sifatnya regional, nasional, maupun
internasional.
Hal
ini telah membuka jurang kesenjangan yang begitu lebar dengan sekolah-sekolah
lain yang berstatus tidak unggul.
Kesan
bahwa sekolah unggul hanya bisa dinikmati anak-anak dengan kemampuan akademik
serta finansial tertentu, semakin mencederai hak setiap anak di Indonesia
untuk memperoleh pendidikan yang equal dan bermutu.
Padahal,
ini bertentangan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam Pasal 5
ayat 1 yang menyebutkan bahwa, 'Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.'
Bill
Frist, seorang fisikawan dan politisi Amerika, juga mengungkapkan hal yang
senada, "Every child should have the opportunity to receive a quality
education."
Jika
amanah UU ini tidak bisa kita penuhi yang pada prosesnya menyebabkan
terjadinya ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan bagi sebagian besar
anak-anak Indonesia, sejatinya kita sedang berlaku zalim dan tidak adil pada
mereka.
Eksklusivitas
Sunaryo
Kartadinata (2004), guru besar dan mantan Rektor Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) periode 2005-2015, pernah menjabarkan bahwa, "Pemikiran
untuk membangun pendidikan bagi kelompok cerdas, kurang cerdas, dan tidak
cerdas secara eksklusif adalah sebuah kemunduran besar dan tidak sejalan
dengan hakikat pendidikan, esensi demokrasi, maupun realitas kehidupan."
Potret
ini pula yang kini terjadi dalam praktik penyelenggaraan sekolah unggul. Upaya
penjaringan dan perekrutan siswa dengan kategori kemampuan akademik di atas
rata-rata serta kemampuan finansial orangtua yang relatif mapan, cenderung
menjadi target dan syarat utama untuk diterima bersekolah di sana.
Praktik
ini menunjukkan adanya diskriminasi serta komersialisasi pendidikan yang
hakikatnya bertentangan dengan konstitusi di negeri ini.
Kuat
dugaan bahwa praktik sekolah unggul hari ini ialah bentuk lain dari model
sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang telah
dibubarkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2013.
Praktik
yang bermuara pada kastanisasi kelas si pintar dan si bodoh, serta maraknya
pungutan-pungutan biaya dengan angka yang tidak rasional di tengah-tengah
proses pembelajaran merupakan bentuk serupa yang dijalankan keduanya.
Karena
itu, sangat layak kiranya bagi Muhadjir Effendy untuk mengevaluasi kembali
praktik yang ada di sekolah unggul.
Meskipun
secara de facto lulusan sekolah unggul terbukti dapat diterima di berbagai
perguruan tinggi negeri favorit di negeri ini, tetapi sejatinya hal tersebut
bukanlah perkara mengejutkan karena toh mengajarkan siswa dengan kemampuan
akademik di atas rata-rata ditunjang dengan fasilitas pembelajaran yang
lengkap bukanlah sesuatu yang sulit.
Namun,
itu tentu menjadi sebuah tantangan dan kebanggaan serta menjadi tolok ukur
keberhasilan sebuah satuan pendidikan berikut individu penyelenggaranya jika
mampu mengorbitkan anak-anak dengan intake rendah tanpa di dukung fasilitas
pembelajaran memadai menjadi lulusan berprestasi yang dapat bersaing di level
lokal, nasional, maupun internasional.
Oleh
karena itu, di tengah maraknya praktik pengelolaan sekolah publik berlabel
unggul yang menawarkan kenyamanan belajar dengan berbagai sarana dan
prasarana yang lengkap, terdapat sebuah potret ironi yang masih terjadi di
daerah tempat tinggal saya, Aceh.
Tampur
Paloh, sebuah desa kecil yang berjarak sekitar 170 kilometer dari ibu kota
Kabupaten Aceh Timur. Desa berpenghuni 120 kepala keluarga (KK) ini juga
belum dialiri listrik (Okezonenews, 25/8/2016).
Bukan
hanya soal hajat untuk bisa mencicipi secuil modernisasi dalam bentuk aliran
listrik, melainkan juga merasakan atmosfer pendidikan dengan memiliki gedung
sekolah yang layak, seragam sekolah yang bagus, serta media penunjang
belajar, semisal projector ialah barang mewah yang masih hanya sekadar mimpi
di siang bolong bagi anak-anak di sana.
Fakta
ini tentu berbeda jauh dengan kondisi sekolah-sekolah unggul yang ditengarai
mendapat prioritas dana pendidikan dari pemerintah.
Seyogianya,
pemerintah membuka mata lebih lebar agar dapat melihat dengan lebih jelas dan
jernih bahwa semestinya prioritas dana pendidikan juga disasar kepada
anak-anak di sana, supaya setiap anak di pelosok negeri ini memiliki akses
pendidikan yang layak dan bermutu meskipun harus bertarung hidup tinggal di
pedalaman.
Adapun
alokasi dana pendidikan yang sejatinya 20% dari total dana APBN sebagaimana
yang telah diamanahkan undang-undang diharapkan pengalokasiannya dapat tepat
sasaran serta efisien.
Bukan
hanya diprioritaskan untuk membiayai berbagai macam bentuk operasional serta
komponen pembiayaan peningkatan mutu di sekolah-sekolah unggul saja yang
semakin membuat kesan bahwa sekolah unggul eksklusif serta hanya bisa
dinikmat segelintir golongan, tetapi juga harus menyentuh secara merata dan
menyeluruh ke semua sekolah yang ada di setiap sudut negeri ini.
Hal
ini bertujuan agar setiap jengkal Ibu Pertiwi yang kita cintai ini,
seterpencil apa pun, penduduknya dapat memiliki akses pendidikan yang layak
serta bermutu agar generasi Indonesia yang lahir di kemudian hari ialah
generasi masyarakat inklusif tanpa sekat si pintar dan si bodoh atau si kaya
dan si miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar