Kamis, 27 April 2017

Silaturahim Antar-iman

Silaturahim Antar-iman
Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
                                                        KOMPAS, 26 April 2017



                                                           
Beberapa lembaga kredibel mencatat, kasus intoleransi agama di Tanah Air semakin mengkhawatirkan.  Bahkan, disinyalir sikap yang semakin intoleran terhadap perbedaan agama telah merasuki  banyak siswa kita di sekolah, sejak tingkat dasar hingga atas, bahkan di perguruan tinggi. Mereka semakin "canggung" bergaul dengan kawan berbeda agama, dengan alasan perbedaan agama.

Situasi ini adalah tantangan serius bagi masa depan bangsa dan masyarakat kita. Jika ini terus berkembang, dikhawatirkan pengotakan masyarakat berdasarkan agama (sekte) seperti di Lebanon, Irak, dan Yaman benar-benar akan menimpa masyarakat kita dalam satu atau dua dekade ke depan.

Hal terpenting adalah membangun kesadaran masyarakat kita bahwa persoalan ini benar- benar ada, sungguh serius, dan merupakan ancaman terhadap kohesi masyarakat dan bangsa kita. Selanjutnya, perlu keterlibatan berbagai pihak untuk mencari pemecahan konkret dan terus-menerus. Keterlibatan orangtua, guru, pemerintah, dan penentu kebijakan lainnya-termasuk media-begitu krusial.

Sebagai dosen di perguruan tinggi Islam, penulis punya pengalaman yang mungkin bermanfaat dibagikan melalui tulisan ini. Selama 14 tahun, penulis mengampu mata kuliah Agama-agama di Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menyadari kondisi di atas, penulis mencoba berbagai cara untuk membangun kesadaran dan komitmen para mahasiswa akan pentingnya kebersamaan dalam keragaman.

Menurut pengalaman penulis, salah satu cara membangun kesadaran itu adalah silaturahim antar-iman. Silaturahim adalah metode yang melampaui dialog sebab ia hadir dengan motivasi yang lebih dalam, tetapi cair, yakni persaudaraan. Silaturahim adalah "dialog" untuk mengalami dan merasakan sesuatu yang melampaui batas dirinya.

Metode tersebut ternyata begitu efektif untuk mengikis stereotip dan prasangka yang kadang kala sangat kuat dalam pikiran para mahasiswa, tentu secara perlahan. Stereotip terhadap umat beragama lain sering kali ditopang oleh pemahaman agama tertentu, guru, orangtua, bahkan komunitas yang luas dalam waktu lama sehingga sangat sulit diruntuhkan. Namun, pengalaman silaturahim antar-iman ternyata amat membantu mengikis prasangka-prasangka itu secara perlahan dengan sendirinya.

Silaturahim antar-iman itu juga terbukti membantu membangun kesadaran dan komitmen para mahasiswa untuk menerima dan mensyukuri keberagaman. Dari berbagai respons balik, tulisan, komentar, serta diskusi "tajam" antar-mahasiswa, penulis merasakan pengaruh silaturahim itu begitu dalam. Penulis bahkan kadang tak menduga efek positif dari silaturahim antar-iman sebesar itu, kendati kekhawatiran akan "akibat negatif" dari kegiatan itu juga sering disampaikan orang kepada penulis.

Mahasiswa dibagi ke dalam beberapa kelompok pada setiap kelas. Masing-masing kelompok ditugasi melakukan silaturahim kepada umat beragama sesuai tugas. Ada yang ke umat Kristiani (Katolik maupun Kristen), umat Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Dalam beberapa kesempatan, penulis juga turut serta dalam rombongan silaturahim ini.

Mencari solusi

Pesan penulis kepada para mahasiswa yang semuanya Muslim sebagai berikut. Silakan bersilaturahim kepada umat Buddha misalnya. Datanglah dengan hati dan pikiran bahwa Anda datang kepada saudara yang kebetulan berbeda agama. Boleh Anda datang kepada para tokoh ataupun kepada masyarakat biasa, yang penting-sebagai silaturahim-tujuannya adalah menyambung persaudaraan.

Bukan untuk dialog mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Bukan juga untuk membanding-bandingkan. Sampaikan niat silaturahim, lalu jika ada kesempatan ngobrol, ya, ngobrol apa saja. Mungkin tentang keluarga, aktivitas keseharian, atau yang terkait agama juga tak apa-apa. Jangan lupa sampaikan dengan terus terang bahwa Anda adalah mahasiswa Muslim yang ingin bersilaturahim.

Sebagian mahasiswa menyampaikan keberatan dengan tugas itu karena alasan "agama". Penulis pun tak memaksakan hal itu. Sebagian sangat antusias karena keingintahuan mereka yang besar terhadap agama lain langsung dari pemeluk atau bahkan tokohnya. Sebagian lain mungkin biasa saja, dan mengerjakan tugas itu karena tugas kuliah yang terkait dengan penilaian formal.       

Hasilnya, perjumpaan secara langsung dalam suasana silaturahim itu ternyata jauh lebih berkesan dan berpengaruh bagi para mahasiswa daripada diskusi rumit di kelas mengenai teori-teori hubungan antar-agama.

Penulis sengaja mencatat secara rinci dan menyimpan berbagai komentar dan tulisan para mahasiswa pasca-silaturahim itu. Di antara komentar mereka sebagai berikut: "Ketika saya telah melakukan silaturahim, saya berubah pandangan terhadap orang-orang yang menganut agama Kristen-Protestan dan Katolik. Dari awalnya yang merasa begitu takut dan begitu awam terhadap mereka semua, menjadi semakin mengerti".

"Dengan melakukan tugas silaturahim ke umat Buddha, kami mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang tak bisa kami lupakan. Banyak di antara kita yang secara sempit beranggapan agama kitalah yang paling benar, sedangkan yang lain salah. Padahal, semua agama itu benar menurut pemeluknya masing-masing."

Mahasiswa lain berujar, "Dengan berkunjung ke Wihara dan berdialog dengan umat Buddha, bukannya kami kemudian murtad (keluar Islam) dan mengikuti agama mereka. Hal ini justru memperkuat keimanan saya sebagai Muslim. Tetapi, saya dapat mengambil banyak contoh sikap baik dari mereka untuk diamalkan untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik."

Bahkan, suatu kali, penulis begitu terkesan saat seorang mahasiswa saya pada 10 tahunan lalu menceritakan pengalamannya melakukan tugas silaturahim antar-iman yang telah banyak mengubah cara pandangnya tentang umat lain. Ia kini juga mengajar di perguruan tinggi Islam negeri dan akan melakukan hal yang sama dengan penulis.

Praksis mengajar dari penulis ini diinspirasi oleh gagasan John B Cobb Jr dalam Transforming Christianity and The World, Jamal al-Bana dalam al-Ta'addudiyyah fi Mujtama' Islamiy, dan gagasan Machasin tentang Silaturahmi Kebudayaan. Di tengah semangat untuk melestarikan pikiran-pikiran Gus Dur di dalam praksis bermasyarakat dan berbangsa saat ini, cara sangat sederhana ini bisa jadi salah satu metode alternatif dalam pengajaran toleransi di tengah menguatnya intoleransi di lingkungan kita.  Baik untuk mata kuliah Agama-agama, kewarganegaraan, Pancasila, atau mata kuliah lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar