Bahaya
Kematian Sila Ketiga
Lasarus Jehamat ; Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
|
MEDIA INDONESIA,
21 Januari 2017
KEBINEKAAN
Indonesia sedang diuji. Bangsa tengah dilanda trauma sosial. Itulah suara
dari Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif (AuI)
(17/1). Sebab utamanya karena institusi sosial yang bertugas merawat
kebinekaan tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, beberapa kelompok sudah
mulai memaksakan kehendak untuk menerapkan pandangan yang serbaeksklusif dan
tertutup. Tiga hal yang menjadi titik fokus para antropolog yakni pendidikan,
ekonomi, dan hukum serta penerapannya. Disebutkan, persoalan intoleransi yang
melanda bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir disebabkan tiga bidang itu
kurang, atau bahkan tidak diperhatikan, oleh pihak yang berkepentingan.
Lembaga-lembaga
yang mestinya menjaga dan merawat kebinekaan justru terjebak dalam
eksklusivisme. Fundamentalis dan ekstremis keluar dari ruang pengap
eksklusivitas seperti ini. Faktanya, beragam pandangan serta sikap menang
sendiri dari kelompok-kelompok fundamentalis seakan membenarkan tesis bahwa
bangsa ini sudah mati dan dikalahkan kelompok ekstremis. Anak bangsa seakan
lupa bahwa para pendiri bangsa telah merumuskan sila ketiga Pancasila;
Persatuan Indonesia. Semua yang belajar bahasa dalam konteks sosialnya akan
segera tahu alasan ada sila ini. Hemat saya, sila ketiga ini muncul karena
memang kita beda.
Indonesia
merupakan negara dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Itu berarti,
kerja untuk menjadikan bangsa ini sama dengan menggarami air laut. Kerja
homogenisasi bangsa merupakan sebuah utopia sebab bangsa Indonesia memang
beda. Faktanya, keragaman itu kurang atau bahkan tidak disadari anak bangsa.
Kondisi negara bangsa
Dalam
The End of The Nation State, Ohmae
(1995) menyebutkan sebuah konsepsi penting tentang posisi negara bangsa saat
ini. Menurut Ohmae, kualitas negara bangsa saat ini sangat ditentukan oleh
apa yang disebut 4I (industry, investment, individuals, information).
Industri dan investasi merupakan ruang di mana negara dan modal bekerja di
era modern. Sementara itu, individu dan informasi di sudut yang lain
merupakan konteks sosial dan politik modal dan negara. Keempat hal itu
bekerja secara terpisah atau bersama secara simultan. Relasi negara dan modal
serta masyarakat sangat kompleks di sana.
Menurut
Ohmae, ketika masyarakat tidak mampu memahami dan mengkritisi kerja modal dan
negara, di situ akan muncul relasi dominatif. Sebaliknya, jika ketiganya
bekerja sama, bangunan koordinatif untuk tujuan kesejahteraan bersama bisa
tercapai. Masalahnya, dalam perjalanan, karena kuatnya kerja rasionalitas
instrumental, modal dan negara terlampau dominatif. Bersamaan dengan itu,
ideologi liberal masuk tak terbendung dalam aspek ekonomi, sosial, budaya,
dan politik. Dalam kondisi demikian, warga bersikap defensif. Di sana,
benih-benih integrasi internal kelompok mulai terbentuk. Ketika integrasi
internal sudah terbentuk, masalah lain muncul. Adaptasi eksternal pasti
melemah.
Itulah
alasan mengapa banyak sekali muncul beragam pandangan tentang apa pun di
masyarakat. Agama dan politik harus disebutkan di sini. Atas nama kebebasan,
teknologi informasi turut menyebabkan melemahnya kekuatan sebuah bangsa. Hal
itu terjadi ketika semua informasi bebas bergerak di ruang komunikasi melalui
beragam sarana. Watak kuriositas manusia menyebabkan beragam informasi itu
diterima dan dikonsumsi tanpa ada seleksi yang ketat terlebih dahulu. Di
sana, dibutuhkan loyalitas warga tidak hanya kepada kelompoknya, tetapi juga
kepada sesama yang berbeda sebagai sebuah bangsa. Menurut Waller dan
Linklater (2003) dalam Political Loyalty and the Nation-State, loyalitas
diperlukan ketika relasi negara bangsa menjadi goyah karena beragam sebab di
atas.
Loyalitas
yang dimaksud jelas bukan loyalitas dungu, melainkan loyalitas kritis dan
terukur. Tanggung jawab sebagai bangsa harus ditempatkan di atas kepentingan
individu dan golongan. Di sana, identitas setiap kelompok harus terus
dipelihara tanpa harus menghilangkan legitimasi sosial dan budayanya. Tugas
semua pihak ialah merawat loyalitas, identitas, dan legitimasi itu. Meminjam
analisis Ohmae di atas, sulit untuk tidak mengatakan bahwa modal menjadi
salah satu sebab lemahnya peran negara di masyarakat. Ketika negara lemah, entitas
bangsa akan semakin menunjukan karakter individunya secara simultan.
Munculnya beragam kelompok massa dengan berbagai karakter di Tanah Air bisa
dijelaskan dengan pendapat Ohmae di atas. Di sini, oleh kelompok oportunis,
kemajemukan menjadi berkah agar negara terus dilemahkan.
Konteks Indonesia
Indonesia
adalah bangsa majemuk. Realitas itu merupakan sebuah faktisitas. Sebagai
bangsa, kita memang beda. Para pendiri bangsa telah menyadari hal itu.
Masalahnya, seperti yang disampaikan Ohmae di atas, politik terlampau jauh
masuk ke ruang sosial dan budaya. Sebaliknya, realitas sosial dan budaya
terlampau ketat dan rigid sehingga untuk memahami perbedaan pun menjadi sulit
dilakukan setiap orang. Di situ kita memerlukan sikap loyal. Seperti
dijelaskan Waller dan Linklater, loyalitas yang dimaksud ialah kemauan untuk
menerima realitas bahwa kita memang beda. Yang dibutuhkan dalam perbedaan
ialah mengontrol sikap dan perilaku diri. Sifat dan karakter diri serta
kelompok jelas tidak diketahui banyak orang.
Maka,
kontrol diri dan kelompok adalah sebuah kewajiban moral yang harus dilakukan
agar bisa bergaul dengan dunia di luar kelompok. Jika itu masih sulit, negara
telah menyiapkan payung besar untuk melindungi dan menaungi bangsa ini.
Itulah alasan keberadaan hukum dan peraturan. Menjadi masalah ketika semua
pihak tidak lagi menghargai hukum lalu segera mencederai hukum itu dengan
berbagai sikap dan perilaku buruk. Kembali ke soal situasi kekinian Indonesia
sebagai bangsa. Apresiasi harus diberikan kepada AuI dan banyak pihak lain
yang turut prihatin atas kondisi kekinian bangsa. Banyak catatan yang harus
diberikan kepada negara. Yang pasti bahwa negara harus kuat ketika berhadapan
dengan berbagai kekuatan lain di luar negara. Kekuatan negara tidak saja
memberi efek ketakutan pada otoritas negara, tetapi juga pada kewibawaan
pemerintah sebagai regulator. Pada titik yang lain, negara harus mampu
mengelola beragam perbedaan dan tegas menerapkan beragam aturan.
Elite
harus mampu memberi contoh kepada masyarakat baik untuk menjunjung tinggi dan
menghargai perbedaan maupun pada pengelolahan beragam perbedaan tersebut di
lapangan. Bahwa ekonomi menjadi dasar dari munculnya gerakan fundamentalis,
sulit ditolak. Jika hal tersebut telah diketahui, negara harus segera merealisasikan
janji mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi kesenjangan
sosial. Itu saja langkah yang harus dilakukan untuk menghindari kematian sila
ketiga Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar