Kamis, 12 April 2018

Cakupan Kesehatan Semesta

Cakupan Kesehatan Semesta
Timboel Siregar  ;   Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI
                                                         KOMPAS, 12 April 2018



                                                           
Setiap tanggal 7 April diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Peringatan Hari Kesehatan Sedunia yang dimulai sejak 1950 ini diselenggarakan untuk memperingati lahirnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan sebagai kesempatan menarik perhatian dunia untuk menyadari masalah-masalah besar kesehatan global. WHO didirikan dengan prinsip semua orang harus dapat mewujudkan hak mereka untuk tingkat kesehatan setinggi mungkin.

Tema Hari Kesehatan Sedunia selalu berbeda-beda. Jika 2015 tentang keamanan pangan, 2016 mengampanyekan diabetes, dan 2017 fokus tentang depresi, tahun ini tema yang diangkat “Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC): Semua Orang, Di Mana Saja”.

Tiga dimensi

Dengan tema ini WHO meyakini bahwa negara-negara yang berinvestasi di UHC telah membuat investasi yang baik di sumber daya manusia mereka. UHC telah muncul sebagai strategi utama untuk menciptakan kemajuan menuju tujuan pembangunan kesehatan dan kemajuan yang lebih luas lainnya. Akses ke pelayanan kesehatan yang esensial dan perlindungan pembiayaan kesehatan tak hanya meningkatkan kualitas kesehatan dan angka harapan hidup manusia, tetapi juga melindungi negara dari epidemi, mengurangi kemiskinan dan risiko kelaparan, menciptakan pekerjaan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesetaraan jender.

Dalam konsepnya, WHO merumuskan tiga dimensi dalam pencapaian UHC: (1) seberapa besar persentase penduduk yang dijamin; (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin; dan (3) seberapa besar biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk. Dengan tema ini WHO bertekad untuk menginspirasi, memotivasi dan memandu para pemangku kepentingan UHC di seluruh negara anggota untuk membuat komitmen terhadap UHC. Berdasarkan pengalaman, UHC tercapai ketika ada kemauan politik yang kuat untuk mendukungnya.

Sebagai salah satu anggota WHO, tentu Pemerintah Indonesia terus berusaha mencapai ketiga dimensi tersebut sehingga seluruh rakyat Indonesia mendapat akses kesehatan yang lebih baik. Dalam dokumen “Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012–2019”, pemerintah berkonsentrasi untuk mencapai UHC dimensi pertama pada 2019, yaitu semua penduduk terjamin sehingga setiap penduduk yang sakit tidak jadi miskin karena beban biaya yang tinggi.

Terkait dimensi kedua, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) relatif telah menjamin seluruh jenis pelayanan kesehatan seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No 19/2016 tentang Jaminan Kesehatan, yaitu pelayanan promotif dan preventif (Pasal 21), pelayanan kesehatan tingkat pertama (Pasal 22 ayat 1a), pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan (Pasal 22 ayat 1b), serta manfaat akomodasi rawat inap di RS (Pasal 23).

Hingga tahun keempat, BPJS Kesehatan masih didera defisit pembiayaan. Jumlah iuran yang diperoleh tidak mampu mengimbangi beban pembiayaan yang terjadi. Dari proses perencanaannya saja pengelolaan JKN di 2017 sudah ditetapkan mengalami defisit. Pos pendapatan sampai 31 Desember 2017 ditargetkan Rp 86,04 triliun, sementara pos pembiayaan ditargetkan Rp 94,94 triliun.

Iuran yang belum sesuai hitungan aktuaria dan ketidakmampuan BPJS Kesehatan melakukan kendali mutu dan kendali biaya menyebabkan defisit terjadi tiap tahun. Persoalan defisit pembiayaan berdampak langsung pada pelayanan kesehatan bagi peserta dan pembiayaan langsung dari peserta.

Butuh kemauan politik

Pencapaian UHC kepesertaan pada 2019 tidak bisa dilepaskan dari kinerja Direksi BPJS Kesehatan. Direksi yang menetapkan target pencapaian kepesertaan di akhir 2017 lalu sebanyak 201.714.911 orang ternyata baru mampu mencapai jumlah peserta sebanyak 193.535.881 orang per 1 Maret 2018 (https://bpjs-kesehatan.go.id). Kinerja Direksi turut menentukan pencapaian UHC kepesertaan.

Masih adanya pemerintah daerah (pemda) yang belum mengintegrasikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)-nya ke program JKN, pemda yang keluar dari program JKN, dan adanya pemda yang mengelola sendiri jaminan kesehatannya dengan hanya mendaftarkan sebagian kecil rakyat miskinnya ke program JKN, merupakan salah satu penghalang pencapaian UHC. Masih banyaknya Ppkerja penerima upah (PPU), khususnya pekerja alih daya yang belum didaftarkan, dan PPU dari usaha kecil-mikro yang belum terdaftar di program JKN karena upahnya di bawah ketentuan upah minimum juga melengkapi kesulitan pencapain UHC kepesertaan di tahun 2019.

Oleh karena itu, perlu kemauan politik kuat dari pemerintah untuk mendukung UHC kepesertaan. Pemerintah seharusnya menyupervisi dan mengawasi langsung kinerja direksi dengan memberikan penilaian atas kinerja mereka. Kementerian Dalam Negeri harus memberikan sanksi kepada kepala daerah yang tak mengintegrasikan Jamkesda-nya ke BPJS Kesehatan, sesuai UU No 23/2014. BPJS Kesehatan, pengawas ketenagakerjaan dan kejaksaan lebih meningkatkan kinerja penegakan hukumnya terhadap badan usaha yang belum mengikutsertakan pekerjanya ke BPJS Kesehatan.

Saya mendorong pemerintah mengakomodasi kepesertaan PPU swasta yang memiliki upah di bawah ketentuan upah minimum dengan mendapatkan pelayanan kesehatan di kelas III, dalam revisi Perpres No 19/2016. Dengan ketentuan ini maka PPU di sektor usaha kecil-mikro akan mendongkrak jumlah kepesertaan PPU swasta. Walaupun program JKN relatif telah menjamin seluruh jenis pelayanan kesehatan, tetapi dalam implementasinya masih banyak permasalahan di rumah sakit (RS). 

Kebutuhan ruang perawatan khusus seperti PICU, NICU, ICU, dan ruang isolasi kerap kali menyebabkan peserta JKN mengalami masalah.
Dari 2.792 RS, yang sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 2.249 RS (per 30 November 2017). Untuk menambah jumlah ruang perawatan khusus tersebut maka seharusnya pemerintah mewajibkan seluruh RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, khususnya untuk memenuhi amanat Pasal 29 ayat (1e) UU No 44/2009 tentang RS. 
Kini hampir seluruh rakyat miskin sudah menjadi peserta JKN, dan RS wajib menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat miskin. Irisan kedua fakta ini yang harus diatur dalam revisi Perpres No 19/2016.

Untuk mengatasi defisit pembiayaan, dibutuhkan juga kemauan baik pemerintah untuk melaksanakan isi Pasal 16I Perpres No 111/2013, yaitu menaikkan iuran peserta program JKN. Bila pemerintah khawatir terjadi kegaduhan dengan kenaikan iuran, laksanakan saja Pasal 16I secara terbatas, yaitu menaikkan iuran PBI (penerima bantuan iuran) menjadi Rp 27.000 per orang per bulan dan menaikkan batas atas upah PPU menjadi Rp 12 juta serta menaikkan batas upah kelas I dan kelas II bagi PPU.

Kemauan politik yang kuat dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan program JKN dan perbaikan pelayanan kesehatan.

2 komentar: