Selasa, 06 Maret 2018

Bangsa Pembenci (4.528) M Subhan SD

Bangsa Pembenci
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 05 Maret 2018



                                                           
Kita membenci apa yang sering kita takuti.
(William Shakespeare, dalam 
Antony dan Cleopatra)

Kebencian barangkali menjadi kosakata paling menjejali ruang pikiran kita. Sedikit-sedikit muncul kebencian, baik berupa ujaran ataupun sikap. Kebencian bukan lagi persoalan personal, tetapi menjadi masif di arena politik. Sekarang ini berbeda pandangan politik, orang bisa langsung membenci.

Hal paling mencolok adalah menyebarkan ujaran kebencian lewat media sosial. Media sosial malah terjerumus menjadi media asosial. Media sosial bukan menjadi medium penghubung, tetapi malah menjadi pemecah.
Sindikat penyebar berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian pun digulung oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Akhir Februari 2018, kelompok itu ditangkap di empat lokasi berbeda, yakni Jakarta, Bali, Pangkal Pinang, dan Sumedang. Mereka menggunakan nama Muslim Cyber Army (MCA).

”Isu yang dibuat adalah kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia), penculikan ulama, ujaran kebencian kepada pejabat pemerintah hingga tokoh-tokoh masyarakat,” kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Fadil Imran di Jakarta, Selasa (27/2).

Penggunaan identitas agama untuk menyebarkan berita bohong itu sungguh sangat memprihatinkan. Bahkan, Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin, yang juga Rais Aam PBNU, mengecam tindakan masyarakat yang menyebarkan berita bohong alias hoaks yang menggunakan identitas Islam.

Bagi Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, mereka mengkhianati bangsa dan agama. Padahal, agama itu kabar gembira. Agama membawa kedamaian, bukan kebencian. Tetapi, yang justru marak sekarang adalah kebencian dan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ada dosen di Yogyakarta yang mengunggah kabar seorang muazin di Majalengka dibunuh orang gila. Postingan itu menyebar cepat dan luas (viral). Ketika ditangkap pada 26 Februari lalu, berita bohong di laman Facebook dosen itu sudah dibagikan ribuan kali dan mendapat ribuan komentar pula.

Padahal, berita yang benar adalah masyarakat biasa (bukan muazin, apalagi pemuka agama) menjadi korban curas (pencurian dengan kekerasan).

Seorang marbut masjid di Garut juga mengaku dianiaya. Beritanya juga viral di media sosial. Tetapi, polisi menemukan bukti bahwa pengakuannya itu adalah rekayasa gara-gara terimpit kebutuhan ekonomi. Pelaku pun dijerat laporan palsu.

Di Sidoarjo, seorang mantan guru yang menyebarkan kabar bohong dan kebencian termasuk terhadap Kapolri sudah menyesali perbuatannya. Tetapi, ia wajib menghadapi tuntutan hukum akibat perbuatannya itu.

Kalau mencermati kasus-kasus tersebut, pikiran siapa pun akan mudah menduga bahwa ada suatu rekayasa (mungkin juga mendompleng) yang hendak membenturkannya dengan agama (khususnya Islam). Terlalu sederhana jika dibilang sebuah kebetulan karena terjadi koinsiden.

Apalagi, sebelumnya juga muncul penyerangan orang gila terhadap pemuka agama secara beruntun. Kiai NU Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Emon Umar Basyri, diserang selepas shalat Subuh, Sabtu (27/1); Ustaz Prawoto, Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), diserang pada Kamis (1/2), yang mengakibatkan korban meninggal; Ustaz Abdul Basit dikeroyok di depan rumahnya di Palmerah, Jakarta Barat, Minggu (11/2) dini hari.

Hanya berselang beberapa jam, giliran pastor dan jemaat Gereja Santa Lidwina, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, yang diserang pada Minggu pagi. Seminggu kemudian, KH Hakam Mubarok, Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Kabupaten Lamongan, juga diserang pada Minggu (18/2).

Sebagian besar penyerang tersebut diidentifikasi sebagai orang gila atau orang yang terganggu secara kejiwaan. Tetapi, yang mengherankan, mengapa tiba-tiba orang gila melakukan penyerangan secara beruntun?

Tensi politik makin panas

Jika merujuk pada kasus-kasus serupa, disinyalir ada tangan-tangan tersembunyi yang bermain terutama dalam perebutan kekuasaan. Contoh paling dekat adalah kasus pembantaian berdalih dukun santet (padahal umumnya para guru ngaji) di Banyuwangi, awal tahun 1998.

Pada tahun itu kemudian terjadi gemuruh reformasi yang menumbangkan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Apakah kejadian-kejadian ini terkait Pilpres 2019?

Kalau melihat modusnya, timbulnya pikiran spekulatif itu wajar-wajar saja. Sebab, kasus penyerangan tersebut akhir-akhir ini ibarat menambah tensi politik yang situasinya telah panas sejak beberapa tahun terakhir ini.
Yang paling mencolok adalah persaingan di Pilpres 2014. Hanya ada dua pasang calon (Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa) memang terlalu riskan karena benar-benar head to head. Saling dukung itulah yang akhirnya membuat masyarakat terbelah.

Setelah pilpres usai, persaingan itu makin membatu. Justru terus terbagi secara diametral antara para pendukung (lovers) dan pembenci (haters). Walaupun Jokowi dan Prabowo berulang kali memperlihatkan pertemuan yang bersahabat, termasuk dengan komunikasi berkuda, tetap saja para pendukung mereka terus-menerus bertengkar.

Pertengkaran itu pun menemukan momentumnya ketika Pilkada DKI Jakarta 2017. Apalagi, sejak salah satu kandidat, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), terkena kasus penodaan agama. Sekarang, tanda-tanda terulangnya peristiwa 2014 mulai tampak karena baru dua nama itu yang menonjol kuat dalam bursa calon di Pilpres 2019.

Kalau benar demikian, berarti kegaduhan panggung politik akan terus mengguncang negeri ini. Ketika persaingan makin ketat, tidak terbendung gerakan: saling sindir, saling hujat, saling hasut, saling fitnah, saling melontarkan kampanye buruk. Sekarang saja sudah terasa.

Di panggung politik sekarang ini, betapa sulit tersemai watak-watak baik, di sisi lain lebih memperlihatkan watak galak. Politik bukan menjadi ladang menyemai kebaikan untuk kemaslahatan publik, tetapi justru lebih terlihat sebagai ajang pertarungan dan mengumbar kebencian.

Para politikus tidak memberikan keteladanan. Bahkan, banyak di antara mereka tampak ikut memanas-manasi situasi. Tidak sedikit komentar mereka (termasuk di media sosial) yang ikut membakar emosi pendukungnya.

Media sosial dan penyesatan informasi

Dalam konteks ini, media sosial menjadi ruang penyesatan informasi. Riset The Omidyar Group (”Is Social Media a Threat to Democracy?”, 2017) mengidentifikasi enam hal di mana media sosial telah menjadi ancaman terhadap cita-cita demokrasi.

Pertama, media sosial berkombinasi dengan media partisan sehingga memperburuk perpecahan politik dan polarisasi. Media sosial menciptakan ruang gema yang dipenuhi informasi bias.

Kedua, media sosial menjadi saluran distribusi informasi palsu dan menyesatkan. Hal itu menimbulkan ancaman untuk dialog publik dan memperburuk kebenaran, fakta, dan bukti.

Ketiga, konversi popularitas menjadi legitimasi. Respons likes atau retweets dapat digunakan untuk mengukur dukungan massa bagi seseorang, pesan atau organisasi menciptakan sistem terdistorsi untuk mengevaluasi informasi dan memberikan dorongan palsu pada popularitas.

Keempat, manipulasi oleh pemimpin populis, pemerintah, dan aktor pinggiran. Terkadang mereka berkomunikasi langsung dengan pemilih mereka. Dengan media sosial, mereka meruntuhkan prosedur protokoler, meminggirkan suara minoritas, membuat normal pandangan kebencian, menampilkan momentum palsu untuk pandangan mereka, dan lain-lain.

Kelima, pengambilan data pribadi dan target pesan atau iklan. Ada manipulasi dan perubahan perilaku. Tidak semua pesan ini terlihat seperti iklan apa adanya, seperti iklan Facebook yang disponsori Rusia selama pilpres AS. Model ini semakin memperluas kesenjangan (termasuk pendapatan) dengan penerbit berita arus utama yang memegang tanggung jawab.

Keenam, gangguan di ruang publik dengan ujaran kebencian, seruan teroris, rasialis, dan pelecehan seksual, hingga perdebatan yang tidak beradab.

Tidak heran bila Pierre Omidyar, pemilik The Omidyar Group yang juga pendiri situs eBay, berharap penelitian ini akan menjadi titik awal bagi pemimpin media sosial, pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menggali lebih dalam dampak teknologi ini terhadap bangsa. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan solusi nyata.

”Ini bukan masalah partisan dan ini bukan sesuatu yang bisa diperbaiki oleh satu orang, perusahaan, atau pemerintah. Namun, seseorang harus memimpin tuntutan tersebut, dan saya dengan hormat meminta perusahaan media sosial untuk mendorong dialog kritis ini,” ujar Omidyar (economictimes.indiatimes.com, Oktober 2017).

Hasil riset tersebut tentu menjadi pengingat bagi mereka yang gemar bermedia sosial. Sebab, di zaman digital sekarang, banyak orang yang tidak mencari kebenaran. Bahkan, barangkali gerakan jemarinya lebih cepat daripada akal pikirannya.

Padahal, ada pepatah yang sangat bagus, yaitu ”pikir itu pelita hati”. Istilah sekarang barangkali pikir dulu sebelum membagikan di media sosial (think before share). Karenanya, perilaku itu selama ini telah membawa bangsa ini terbelah. Demi kekuasaan, sepertinya kita menjadi bangsa pembenci. Kita saling membenci yang justru hanya berakhir menjadi ”arang atau abu”.

Bangsa berbudi

Padahal, ketika bangsa ini mulai menggelorakan jati dirinya pada awal abad XX, yang menjadi landasan bergerak adalah budi, tabiat, watak yang baik. Itulah sebabnya dipilih nama organisasi pergerakan Budi Utomo tahun 1908.

Membangun bangsa jelas merupakan perbuatan baik dan keluhuran budi. Ketika itu, perdebatan tentang ”budi” begitu hangat di media massa.
Pada tahun 1904, surat kabar Melayu-Jawa Darmo Kondo yang terbit di Surakarta menulis artikel tentang ”Hal Budi Manusia”. Artikel tersebut mengenai percakapan beberapa hakim.

”Seandainya ada orang yang mempunyai banyak pengetahuan tetapi tidak berbudi, maka semua pengetahuannya itu menjadi sia-sia. Pengetahuan tanpa budi tak ada artinya…. Bahwa orang yang berbudi tidak mungkin melakukan hal bukan-bukan. Jika terpaksa harus melakukannya, kemudian ia akan berusaha membebaskan diri, kalau perlu dengan muslihat, oleh karena orang berbudi selalu berhitung ke depan, apakah sesuatu yang sedang dilakukannnya akan menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri atau tidak” (Akira Nagazumi, ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia”, 1989).

Seabad kemudian, bangsa ini lebih mempertontonkan sikap saling membenci, yang sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa ke depan. ”Kita membenci apa yang sering kita takuti,” kata pujangga William Shakespeare (1564-1616).

Bisa jadi mereka yang suka menebar kebencian karena takut calonnya kalah dalam pilkada atau pilpres. Yang ketika sudah benci, dapat melakukan tindakan apa saja.

Filsuf dan ilmuwan Ibnu Rush (1126-1198) pun mengingatkan, ”Ketidaktahuan menyebabkan rasa takut, ketakutan menyebabkan kebencian, dan kebencian mengarah pada kekerasan.”

Mereka yang masih diliputi kebencian barangkali telah kehilangan ”budi”. Inilah ancaman terhadap bangsa. Ingat, bangsa ini dibangun di atas fondasi keluhuran budi pekerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar