Kamis, 12 April 2018

Kobarkan Asa

Kobarkan Asa
J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
                                                         KOMPAS, 12 April 2018



                                                           
”Igauan sementara orang tentang bubarnya Indonesia jangan sampai menggoyahkan semangat dan tali pengikat kebangsaan kita.”

(Buya Ahmad Syafii Maarif, Republika, 10 April 2018)


Pancingan skenario negara bubar tahun 2030 justru mendapatkan reaksi publik yang kian menguatkan tekad dan semangat melestarikan Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yakin Indonesia tidak bubar pada 2030. Bahkan, kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia
itu menyatakan testimoni mengawal dan mengokohkan konsensus para pendiri bangsa, bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah final (Kompas.com, 23/3/2018).

Respons publik umumnya juga menunjukkan modal sosial yang diwariskan pendiri bangsa terpatri di sanubari kolektif rakyat. Tidak lapuk dimakan waktu. Sejarah politik Indonesia modern membuktikan bangsa Indonesia terlalu digdaya. Ketekunan merawat kebersamaan membuat bangsa ini kokoh dan berharap hanya akan tamat bersamaan datangnya kiamat.

Gelombang asa dan tekad mewujudkan Indonesia yang abadi menjadi tolak bala ampuh terhadap ancaman ”self-fulfilling prophecy”, ramalan menjadi kenyataan, karena ramalan itu sendiri. Menggiring opini masyarakat menjadi putus asa bukan tindakan bijak.

Nubuat, meskipun fiktif, harus segera ditangkal karena sangat mudah dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang merasa terpinggirkan. Narasi pesimistis mudah menjalar menjadi virus yang mematikan kalau digelorakan oleh kepentingan politik dengan mempergunakan prasangka demi mengalahkan lawan politik. Mereka menawarkan pemecahan persoalan yang simplistis, sambil membakar emosi publik. Publik mungkin terpuaskan dengan retorika seperti itu karena merasa tersalurkan kekecewaannya, tetapi kepuasan sesaat hanya mirip pengobatan yang disebut efek plasebo (placebo effect). Kepercayaan pasien sembuh bukan karena obat, melainkan karena sugesti.

Masyarakat perlu menyikapi rangsangan provokasi secara tak reaktif. Kearifan lokal dapat dijadikan rujukan mengendalikan amuk gelegak jiwa, dapat diringkas dalam empat kata: 1) Neng, dari kata meneng (bahasa Jawa), artinya diam, menghadapi persoalan rumit dan membakar emosi, perlu diam dan mencoba merenungkannya; 2) Ning, wening atau jernih, agar permasalahan dipikirkan dengan nalar jernih, yang sampai kepada; 3) Nung (dunung), menemukan inti sari persoalan; dan 4) Nang, menang di mana mencapai kemenangan dan ketenangan batin.

Kewaspadaan merawat semangat melanggengkan bangsa dan negara Indonesia dilarang kendur. Dinamika pertarungan kekuasaan yang sering kali mencapai titik didih mudah disusupi jurus prasangka yang memanipulasi data dan ajaran luhur. Praktik politik semacam itu dapat membangkrutkan kepercayaan rakyat terhadap upaya membangun peradaban politik yang mulia. Atmosfer politik mudah disulut, membakar emosi publik, misalnya politik identitas dan kesenjangan ekonomi.

Bahaya semakin besar apabila penggalangan emosi menarget kelompok masyarakat yang oleh Antonio Gramsi, seorang Marxis, disebut subaltern. Kelompok masyarakat yang termarjinalkan karena alasan ekonomi, sosial, budaya, identitas kodrati, keyakinan, dan lain-lain. Strategi politik ini mempertajam dikotomi kaya-miskin, pribumi-nonpribumi, buruh-majikan, sipil-militer, rakyat-elite, perempuan-laki-laki, dan lain-lain (dapat disimak Gyan Prakash, ”Subaltern Studies as Postcolonial Criticism”, The American Historical Review, Vol 99, No 5, Desember 1994).

Kelompok yang merasa termarjinalkan mudah dimanipulasi dalam kompetisi politik. Konon, kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton antara lain mengeksploitasi kantong masyarakat miskin yang merasa tidak tersentuh oleh kemakmuran melimpah yang dinikmati kelas atas.

Maka, tugas seluruh komponen bangsa agar keberadaan Indonesia langgeng. Agenda itu, pertama, membangun kekuatan untuk menghadirkan kemauan politik para pemegang mandat rakyat agar sungguh-sungguh membuat kebijakan yang menyejahterakan rakyat. Kedua, jangan menganggap lumrah korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, berhenti memuja kedangkalan, seperti menyederhanakan kerumitan mengelola kekuasaan negara hanya dengan retorika politik. Semua agenda itu akan terwujud apabila elite bangsa selalu menggelorakan asa, memadamkan prasangka. Bukan memproduksi bualan politik yang membuat masyarakat putus asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar