Minggu, 04 Maret 2018

Logika Absurd ala Amina Wadud

Logika Absurd ala Amina Wadud
Faisal Ismail  ;   Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
                                                  KORAN SINDO, 02 Maret 2018



                                                           
Wadud (tokoh li­beral yang juga guru be­sar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat) pada 2005 membuat kontroversi. Ia men­jadi imam salat Jumat di St John the Divine, New York. Yang menjadi makmumnya terdiri atas wanita dan pria (berjumlah sekitar 100 orang). Perilaku Amina Wadud dengan cepat menyulut kecaman keras dari ulama di dunia Islam. Sebe­lum­nya tiga masjid menolak untuk dijadikan tempat pelaksanaan salat Jumat yang akan diimami Amida Wadud. Juga sebuah mu­seum yang pada mulanya setuju dijadikan tempat pelak­sanaan salat Jumat yang akan diimami Amina Wadud mem­batalkan diri karena ancaman bom. Pada 2008 Amina lagi-lagi secara demonstratif menjadi imam salat Jumat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford (Inggris).

Kasus perempuan menjadi imam salat Jumat terjadi juga di Masjid Ibn Rushd Goethe di Berlin, Jerman. Di masjid ini jama­ah pria dan wanita me­laksanakan salat Jumat secara berdampingan di saf yang sama. Kasus sangat tidak lazim ini juga menuai kecaman keras dari kalangan ulama. Masjid Ibn Rushd Goethe mulai dipakai pada 16 Juni 2017 dan diklaim sebagai tempat bagi kelompok muslim “liberal”. Pengelola masjid, Syeran Ates (keturunan Turki), mengatakan bahwa kaum pria, wanita, lesbian-gay-biseksual-transgender (LGBT), sunni dan syiah disambut baik tanpa prasangka. Tapi wanita yang memakai burka tidak diterima di masjid ter­sebut.

Di Kerala (India sela­tan), Jamida K meng­imami salat Jumat yang di­lak­sana­kan di kantor orga­n­isasi Quran Sunnath Society. Mak­mum­nya ter­diri atas pria dan wanita yang berjum­lah se­kitar 50 orang. Ka­rena ulah kon­tro­ver­sial­­­nya, Jamida men­dapat ancam­an pembunuhan dengan tuduhan me­lakukan pe­nistaan agama. Jamida berkilah dirinya sebenarnya mengikuti ajaran Alquran yang meng­ajar­kan kesetaraan gender yang tidak membedakan pria dan wanita, termasuk kesetaraan menjadi imam salat. Quran Sunnath Society (organisasi tem­pat Jamida berkiprah) di­diri­kan oleh Chekannur Moulavi (ilmu­wan muslim radikal) yang diyakini dibunuh setelah meng­hilang secara misterius pada 1993.

Kasus perempuan menjadi imam salat Jumat dengan mak­mum pria dan wanita me­rupa­kan kontroversi dilihat dari pers­pektif hukum Islam. Yang sah menurut syariat, pria menjadi imam salat (salat fardu/lima wak­tu dan salat Jumat), mak­mum­nya bisa pria semua atau sebagiannya wanita. Atau pe­rem­puan menjadi imam salat fardu (lima waktu) dan mak­mumnya perempuan semua. Biasanya alasan yang dikemu­kakan perempuan yang menjadi imam salat Jumat itu adalah kesetaraan gender. Kesetaraan gender dipahami menurut “logika” hukum dan rekayasa pe­nalaran mereka sendiri, bukan kesetaraan gender yang sesuai dengan visi hukum Islam.

Fatwa MUI 
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan organisasi keagamaan yang pengurus dan anggotanya terdiri atas para ulama dan pakar keilmuan yang otoritas mereka tidak dapat diragukan. Para ulama dan pakar dari berbagai disiplin ilmu melakukan kajian mendalam dengan menggunakan metode ijtihad dan peralatan intelek­tual untuk menetapkan hukum bagi perkara yang hukumnya tidak secara eksplisit tercantum dalam Alquran dan Sunah Nabi. Dalam musyawarah nasional­nya ketujuh (26-29 Juli 2005), MUI mengeluarkan Fatwa No: 9/MUNASVII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Salat.

Dalam merumuskan fatwa­nya, MUI memakai dalil Alquran, Sunah Rasul, ijmak ulama, dan kaidah-kaidah fikih. MUI antara lain merujuk firman Allah (QS An-Nisa: 34): “Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah me­lebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita).”  Hadis yang dirujuk MUI antara lain, “Janganlah seorang perem­puan menjadi imam salat bagi laki-laki,” dan sabda Nabi yang me­nya­ta­kan, “Melak­sana­kan salat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam ka­mar rumah­nya.”

MUI juga me­ru­juk ijmak sa­ha­bat yang sepakat me­nga­ta­kan, tidak per­nah ada wanita men­jadi imam salat yang se­bagian mak­mumnya laki-laki. Para sa­habat juga ber­ijmak bahwa wanita boleh menjadi imam salat yang makmumnya hanya wanita seperti yang dilakukan Aisyah dan Ummu Salamah. Berdasar­kan kajian terhadap kitab Tuhfah  a l-Ahwazi  (karya Al-Mubarakfuri), kitab Al-Umm  (Imam Syafi’i), Al-Majmuí Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni  (Ibnu Qudamah), MUI menyim­pul­kan sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada wanita menjadi imam salat yang makmumnya terdiri atas pria dan wanita. Komisi Fatwa MUI menyim­pul­kan, haram hukumnya dan tidak sah wanita menjadi imam salat yang se­bagian mak­mumnya laki-laki. MUI menambahkan, mubah hu­kum­nya bagi wanita menjadi imam salat yang makmumnya sama-sama wanita.

Allah Tidak Diskriminatif 
Secara umum, aturan hukum Allah sama bagi pria dan wanita, tetapi ada beberapa aturan hu­kum yang berbeda. Saya percaya Allah sama sekali tidak melaku­kan diskriminasi gender ter­hadap perempuan de­ngan tidak membolehkan atau me­larang perempuan men­j­adi imam salat yang sebagian makmumnya laki-laki. Analog dengan ini, misalnya, aturan pembagian warisan yang tidak sama untuk anak laki-laki dan anak pe­rempuan. Anak laki-laki mem­peroleh 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 bagian. Perempuan tidak wajib mengerjakan salat Jumat, sedangkan laki-laki wajib. Aurat perempuan berbeda dengan aurat pria. Perempuan dilarang mengerjakan salat ketika mengalami haid dan tidak wajib mengganti salat yang ditinggal­kan. Allah sepenuhnya punya hak dan otoritas mutlak mem­buat beberapa aturan hukum tertentu bagi perempuan de­ngan segala hikmah dan ke­maslahatan bagi perempuan itu sendiri.

Sikap sami’na wa atha’na  (kami mendengar dan menaati perintah-Nya) tidak tecermin pada diri Amina Wadud dan pe­rempuan yang sepaham dengan­nya. “Logika” hukum ala  Amina Wadud (dan perempuan yang sepaham dengannya) bahwa wanita boleh atau dapat menjadi imam salat (Jumat) dengan mak­mum pria dan wanita—karena alasan ke­setaraan gender, in­klusivisme, persamaan di muka hukum, atau alasan-alasan lain yang di­rekayasa—telah mena­brak logika hukum Allah. Logika hu­kum ala  Amida Wadud sangat nyeleneh,  absurd, distortif, dan tidak syari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar