Selasa, 14 Maret 2017

Darurat Nelayan

Darurat Nelayan
Oki Lukito  ;   Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan;
Pelaku Usaha Budidaya Laut, Tambak Organik
                                                        KOMPAS, 13 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejumlah regulasi yang digulirkan pemerintah yang melarang penggunaan jaring pukat karena dianggap tidak ramah lingkungan telah mengusik perekonomian masyarakat pesisir. Regulasi tersebut dianggap menyabotase program pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (sustainable) atau dengan kata lain mendistorsi upaya memadukan tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi menjadi satu ruangan yang harmoni dan sinergi.

Regulasi itu berdampak ratusan ribu nelayan cantrang terpuruk, ribuan pekerja Unit Pengolahan Ikan terancam menganggur, dan pabrik  pengolahan ikan mengalami kelangkaan bahan baku. Jasa nelayan yang selama ini memberikan andil besar membangun ekonomi masyarakat pesisir dan mengakselerasi sektor perikanan nasional begitu saja dilupakan dan ditinggalkan.

Sementara alternatif usaha yang diluncurkan, seperti mengganti jaring cantrang dengan jaring milenium, bubu dan pancing dianggap tak efektif dan efisien. Hasil uji coba jaring milenium di perairan Probolinggo dan Madura tidak membuat nelayan untung, sebaliknya jadi buntung. Selama 10 hari melaut dengan menggunakan jaring milenium hanya mendapat ikan dengan nilai Rp 7 juta, sementara biaya operasional hampir Rp 20 juta. Nelayan yang terbiasa menggunakan jaring cantrang untuk satu trip (15 hari melaut) saat musim ikan memperoleh 14 ton ikan senilai Rp 70 juta (harga ikan Rp 5.000 per kilogram) dengan biaya melaut Rp 25 juta.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu sentra cantrang terbesar selayaknya segera mengambil langkah darurat untuk menyelamatkan sekitar 38.000 buruh nelayan yang mengawaki sekitar 4.600 kapal ikan cantrang. Termasuk di dalamnya ribuan pekerja industri pengolahan perikanan setingkat UKM yang terdampak langsung kebijakan pemerintah yang melarang secara permanen penggunaan jaring cantrang, dogol, colok, sudu, dan payang.

Kondisi itu tak jauh berbeda dengan nelayan cantrang dan efek bisnis perikanan di pantura Jawa Tengah. Faktanya, hasil tangkapan nelayan menurun di hampir semua sentra perikanan tangkap nasional. Di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi,  Kabupaten Trenggalek, misalnya, tahun 2015 angkanya 24.000 ton, tahun 2016 hanya 4.300 ton. Sementara di PPN Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Bali, turun hingga 50 persen pada 2016 dari 17.000 ton menjadi 7.000 ton.

Tempat Pelelangan Ikan Tasik Agung, Kabupaten Rembang, salah satu pusat perikanan tangkap terbesar di Jawa Tengah, mengalami hal serupa, bahkan kondisinya lebih parah. Sejumlah warung makan dan warung kopi tutup karena sepi pembeli. Penghasilan toko kelontong   yang biasa menjual peralatan kapal dan bahan baku untuk melaut turun drastis. Omzetnya anjlok dari rata-rata Rp 2 juta menjadi hanya Rp 300.000 per hari.

Demikian pula yang dialami pabrik daging ikan lumat atau surimi terseok akibat kelangkaan bahan baku seiring pelarangan itu. Setidaknya tiga pabrik surimi di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhenti berproduksi karena kesulitan memperoleh bahan baku dari hasil tangkapan cantrang.

Salah satu produsen surimi terbesar di Gresik mengalami penurunan produksi dan bersiap berhenti produksi akibat volume bahan baku terus berkurang dua tahun terakhir.

Tanggap darurat

Jawa Timur sebagai salah satu sentra perikanan tangkap terbesar diharapkan dapat mencarikan solusi guna menyelamatkan sektor perikanan tangkap dan industri pengolahan ikan yang ada di titik nadir. Dengan kekuatan anggaran Rp 712 miliar lebih pada 2017, sebagian bisa dialihkan untuk perbaikan ekonomi masyarakat pesisir, khususnya nelayan.

Anggaran Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Timur sebagian besar dialokasikan pada proyek pembangunan dan penyempurnaan serta pemeliharaan pelabuhan perikanan (42,77 persen), penyempurnaan prasarana UPT Budidaya (8,71 persen), serta rehabilitasi  mangrove dan terumbu karang (3,68 persen).

Sementara dana hibah untuk masyarakat pesisir (nelayan, pembudidaya, pengolah ikan, petani garam) dialokasikan Rp 84 miliar (14,92 persen), termasuk pengadaan 150 jaring milenium yang mencuatkan resistensi itu.

Nelayan, selain terpuruk akibat regulasi, juga sangat rentan terhadap kemiskinan dengan perubahan iklim, terbukti dengan berkurangnya periode melaut dari 180 hari menjadi 124 hari per tahun.  Mereka sangat membutuhkan program yang terkait langsung dengan kebutuhannya. Misalnya, di sentra perikanan tangkap diperlukan coldstorage yang dilengkapi mesin pembekuan kapasitas besar untuk membantu menstabilkan harga ikan di saat paceklik ikan.

Teknologi nelayan tradisional yang terbatas terbukti kurang efektif menangkap ikan. Penggunaan fish finder dianggap usang dan sejak lama sudah ditinggalkan. Entah apa yang akan terjadi jika pelarangan penggunaan rumpon sebagai alat bantu menangkap ikan juga dilarang. Peta lokasi fishing ground yang disebarluaskan Kementerian Kelautan dan Perikanan  hanya terdistribusi di pelabuhan perikanan, sementara nelayan yang beroperasi di tengah laut tidak mendapatkan informasi tersebut.

Banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan untuk mencarikan alternatif usaha bagi nelayan tangkap yang kondisinya sedang terpuruk. Salah satunya, membuka usaha budidaya laut (marine culture), seperti rumput laut, kerapu, kakap, kekerangan, lobster. Selain itu, budidaya lele dan ikan air tawar lain, udang, atau bandeng skala rumah tangga diyakini bisa menjadi solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar