Rabu, 11 April 2018

Profesionalitas Sipil-Militer dalam Pilpres 2019

Profesionalitas Sipil-Militer dalam Pilpres 2019
Ikhsan Yosarie  ;   Peneliti Setara Institute, Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 10 April 2018



                                                           
SEJUMLAH nama dengan latar belakang militer muncul sebagai kandidat calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) untuk Pemilihan Presiden 2019 nanti. Nama-nama yang muncul dengan latar belakang militer, mau tidak mau, akan mengarahkan perhatian publik kepada netralitas dan profesionalitas TNI pada Pilpres 2019 nanti. Meskipun status para calon telah purnawirawan, semangat korps mereka akan tetap ada.

Di sisi lain, fenomena itu dapat berarti dua hal, pertama pemimpin dengan latar belakang militer tetap menjadi primadona dalam perpolitikan nasional dan kedua masyarakat Indonesia membutuhkan alternatif pemimpin dengan latar belakang militer untuk diperbandingkan dengan pemimpin dengan latar belakang sipil. Perbandingan itu muncul lantaran perbedaan background dari setiap calon pemimpin, yang kemudian memengaruhi cara berpikir dan watak pemimpin tersebut.

Dalam survei yang dilakukan Political Communication (Polcomm) Institute, ditemukan bahwa militer menjadi pilihan terbanyak masyarakat sebagai latar belakang cawapres. Dalam rilisnya (Media Indonesia, 26/3/2018), sebanyak 31,65% responden memilih militer sebagai latar belakang calon wakil presiden. Baru kemudian 17,96% untuk politikus, 16,26% untuk profesional, dan 13,59% responden memilih tokoh agama sebagai latar belakang cawapres. Dalam survei tersebut, muncul empat nama dengan latar belakang militer, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gatot Nurmantyo, Moeldoko, dan Agum Gumelar. AHY menempati posisi pertama dalam bursa cawapres 2019 dengan pilihan responden 24,08% dan Jenderal Gatot Nurmantyo pada posisi ketiga dengan 18,92% di bawah nama Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan (20,08%).

Cawapres dari kalangan militer dinilai cocok untuk mendampingi Joko Widodo sebagai capres pada Pilpres 2019. Di luar konteks popularitas nama cawapres di atas, latar belakang militer seakan telah menjadi modal sosial politik dalam pemilu. Sifat tegas menjadi salah satu modal tersebut. Namun, pada dasarnya sifat tegas bukan hanya dimiliki oleh militer, sipil pun juga memiliki sifat tegas.

Hanya, dengan latar belakang yang berbeda, disertai pengalaman-pengalaman ketika aktif pada posisi terdahulu, sifat tegas tersebut muncul dengan dimensi yang berbeda-beda. Ketegasan tersebut akan diuji dalam politik praktis, yaitu ketika pengambilan keputusan. Tarik-ulur kepentingan, saling menjaga peluang, dan hal-hal lain yang membuat keputusan tersebut sulit tercapai menjadi semacam 'arena' untuk menilai ketegasan pemimpin. Dalam hal ini, pola-pola ketegasan (apakah memilah-milah kasus) dan juga orientasi ketegasannya akan dinilai masyarakat dan kemudian diperbandingkan sehingga masyarakat akan tahu perbedaan ketegasan pemimpin berlatar belakang sipil dengan pemimpin berlatar belakang militer. Meskipun kedua pemimpin tersebut sama-sama sipil, untuk keperluan perbandingan, latar belakang tentu menjadi salah satu poin penting.

Sementara itu, untuk calon presiden, sosok dengan latar belakang militer ada pada Probowo Subianto yang berpotensi maju pada Pilpres 2019 nanti. Sejauh ini, selain Joko Widodo sebagai petahana, tercatat hanya Probowo yang berpotensi besar untuk maju pada Pilpres 2019. Meskipun demikian, potensi untuk munculnya calon lain, misalnya nama mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang pensiun sebagai prajurit TNI per 1 April 2018, ataupun poros ketiga tetap terbuka.

Profesionalitas dua arah

Keinginan masyarakat agar orang-orang dengan latar belakang militer untuk terlibat politik praktis tentu harus disikapi secara negarawan oleh pihak politisi sipil dan militer. Kedua pihak jangan sampai memanfaatkan fenomena itu untuk kepentingan kelompok, yang nantinya justru merusak reformasi militer dan demokrasi. Misalnya, politikus sipil berupaya menarik militer ke arah politik praktis, kemudian membangun wacana untuk mengembalikan hak politik militer dengan deal-deal politik tertentu bersama jenderal-jenderal yang ingin terlibat politik praktis. Dari sisi militer, oknum-oknum jenderal melakukan kegiatan-kegiatan yang mendekatkan dirinya dengan politik praktis, atau dengan elemen-elemen yang berada di jalur politik praktis, seperti partai politik dan calon kepala daerah. Ini tentu berpotensi merusak netralitas dan profesionalitasnya dalam bertugas.

Kelompok penguasa tentu dapat dengan leluasa melakukan infiltrasi politik ke dalam tubuh institusi militer. Campur tangan dalam birokrasi internal militer, atau bahkan campur tangan dalam hal kenaikan pangkat bisa menjadi salah satu target yang ingin diincar penguasa demi menciptakan utang politik perwira militer tersebut kepada penguasa. Dalam konteks relasi sipil-militer, bisa kita pahami bahwa masuknya purnawirawan jenderal ke politik praktis dan struktur pemerintahan memiliki potensi untuk mengantisipasi terciptanya relasi yang negatif antara penguasa dan militer, serta menjaga supremasi sipil.

Dalam fenomena ini, purnawirawan militer bisa menjadi jembatan atau penengah antara politikus sipil dan militer. Status sebagai purnawirawan militer menempatkan mereka berada di tengah. Di satu sisi mereka telah menjadi sipil, sementara di sisi lain jiwa dan semangat korpsnya masih militer. Dengan demikian, seharusnya purnawirawan militer mampu menjadi jembatan yang menghubungkan komunikasi antara pemerintah sipil dan militer dan menjadi penengah jika terjadi miskomunikasi di antara kedua belah pihak.

Lebih dari itu, purnawirawan militer juga harus mampu menjadi pelindung dari upaya politikus sipil untuk merusak reformasi militer atau upaya oknum militer melanggar netralitas dan profesionalitas TNI sebagai alat negara. Jiwa militer dan esprit de corps yang dimiliki para purnawirawan akan muncul demi memagari netralitas, profesionalitas, dan harga diri korpsnya. Purnawirawan jenderal harus mengambil peran dalam menjaga konsolidasi demokrasi yang telah diperjuangkan pasca-Orde Baru runtuh.

Arah perhatian juga tidak bisa dilepaskan dari orientasi politik purnawirawan militer. Bagaimanapun, meski statusnya telah sipil, secara jiwa dan korps mereka tetaplah militer, seperti ungkapan bahwa old soldier never die, they just fade away. Kedekatan mereka dengan perwira tinggi militer juga tidak dapat dimungkiri, selain karena relasi dan korps, status mereka tetaplah 'senior' di militer.

Poinnya ialah, jangan sampai purnawirawan jenderal memolitisasi dengan kelebihan-kelebihan tersebut dan menjadi perpanjangan tangan militer di politik praktis. Maksudnya, ketika militer tidak boleh lagi terlibat politik praktis, justru purnawirawanlah yang kemudian menjadi suksesinya. Kedekatan mereka dengan militer ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi mampu menjaga militer agar tetap pada jalurnya, atau justru purnawirawan jenderal itulah yang nantinya membangun basis massa di militer dan kemudian membawanya ke dalam politik praktis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar