Kamis, 01 Maret 2018

JK Kembali Menjadi Wapres Jokowi?

JK Kembali Menjadi Wapres Jokowi?
Denny Indrayana  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;
Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne, Australia
                                                KOMPAS.COM, 26 Februari 2018



                                                           
HALAMAN dua harian Kompas edisi Senin (26/2/2018) menurunkan berita berjudul “PDI-P Kaji Kembali Jusuf Kalla”.

Inti berita itu adalah PDI-P dalam Rakernasnya di Denpasar, Bali, mendiskusikan kemungkinan memasangkan kembali Joko Widodo (Jokowi) dengan Jusuf Kalla (JK) sebagai pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Aturan UUD 1945 dianggap masih multitafsir dan membuka ruang interpretasi bagi Jusuf Kalla untuk kembali menjabat sebagai wakil presiden (wapres).

Apakah benar demikian? Bagaimana seharusnya soal masa jabatan presiden dan wakil presiden di dalam konstitusi kita dibaca dan diartikan?

Soal kemungkinan Jusuf Kalla kembali menjadi wapres sudah saya dengar beberapa waktu lalu. Seorang rekan di lingkaran Lembaga Kepresidenan menghubungi dan menanyakan pendapat saya terkait aturan masa jabatan kepresidenan, yang mencakup presiden dan wakil presiden.

Saya tegas menjawab, Pak JK tidak bisa lagi menjadi wakil presiden. UUD 1945 jelas membatasi masa jabatan presiden dan wakilnya untuk hanya maksimal dua kali masa jabatan.

Tentu saja pendapat saya bukan karena figur Pak JK, yang meskipun sudah senior masih sehat serta tentu sangat layak untuk berkompetisi dan menjadi wapres kembali.

Ini semata-mata soal ketaatan kita pada aturan dasar bernegara, aturan kita berkonstitusi. Penghormatan terhadap UUD 1945 tidak boleh kita tawar, apalagi terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Meskipun tidak hadir dalam Rakernas PDI-P, saya memahami mengapa nama Pak JK muncul sebagai opsi cawapres bagi Jokowi. Pak JK adalah pasangan yang ideal dari banyak sisi.

Beliau terbukti mampu membantu mengangkat elektabilitas Jokowi, utamanya karena pengalamannya sebagai pemimpin yang sudah sangat teruji, representasi luar jawa, dan mewakili aspirasi Islam yang moderat.

Sekali lagi, saya memahami mengapa aspirasi demikian muncul di PDI-P dan memandang persoalan ini bukan dari sosok pribadi Pak JK. Persoalan mendasar yang menyebabkan Pak JK tidak dapat lagi menjadi cawapres adalah karena batasan maksimal dua periode jabatan wapres di dalam konstitusi kita.

Pasal 7 UUD 1945 mengatur, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Seharusnya, kalimat itu dibaca mengatur, satu, masa jabatan presiden adalah lima tahun; dan dua, hanya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan alias maksimal dua periode jabatan.

Pandangan yang mengatakan bahwa Pak JK dapat kembali menjadi wapres berargumen bahwa dua kali periode jabatan wapres beliau tidak terjadi berurutan, yaitu pada 2004–2009 dan 2014–2019. Terlebih lagi, periode jabatan itu terjadi dengan pasangan presiden yang berbeda yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Berpegang pada alasan tidak berurutan dan dengan pasangan presiden yang berbeda demikian, muncullah interpretasi hukum bahwa Pak JK masih dapat menjadi wapres kembali.

Atas pendapat tersebut, saya berbeda pandangan. Tidak ada ketentuan dalam Pasal 7 UUD 1945 itu yang mengatur bahwa maksimal dua periode itu hanya berlaku untuk masa jabatan yang berurutan ataupun hanya jika dengan pasangan presiden yang sama.

Jika demikian pembatasannya, maka rumusannya harus secara tegas mengatur pembolehannya. Yang terjadi justru adalah sebaliknya, sebagaimana akan saya jelaskan di bawah ini.

Melanggar Konstitusi

Yang jelas diatur konstitusi kita adalah presiden dan wakil presiden hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Titik.

Memilih kembali Pak JK sebagai wapres akan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya frasa selanjutnya bahwa wapres “dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Jika Pak JK diizinkan kembali menjadi wapres, itu artinya seseorang bisa menjadi wapres lagi hingga lebih dari satu kali masa jabatan, yang tentu saja bertentangan langsung dengan maksud rumusan Pasal 7 UUD 1945.

Memang, berbeda dengan undang-undang ataupun UUD 1945 sebelum diubah empat kali, konstitusi kita tidak lagi mempunyai penjelasan resmi. Namun, maksud pembuat Pasal 7 UUD 1945 dapat dilacak dari risalah sidang Perubahan Pertama UUD 1945.

Bahkan, khusus masalah masa jabatan presiden dan wakil presiden dapat pula dilacak lebih awal pada saat perumusan Ketetapan MPR Nomor XIII Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Maknanya, salah satu langkah awal reformasi kita adalah mengoreksi soal masa jabatan presiden yang tidak jelas pada Orde Baru dan akhirnya berujung pada lahirnya masa jabatan presiden yang tanpa batas dan otoritarianisme.

Semua perdebatan, baik dalam perumusan Ketetapan MPR soal pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden maupun dalam perdebatan perubahan Pasal 7 UUD 1945, menegaskan bahwa original intent atau maksud pembuatnya adalah masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah maksimal dua kali masa jabatan, tidak lebih.

Karenanya, memberi ruang bagi presiden dan wakil presiden untuk menjabat lebih dari dua kali tidak hanya bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 tetapi juga bertabrakan dengan prinsip dasar reformasi yang ingin membatasi masa jabatan presiden dan wakilnya untuk maksimal dua periode saja.

Jika hal demikian kita biarkan, maka semangat reformasi yang pada 21 Mei 2018 ini berusia dua dekade akan semakin mati suri.

Melanggar Undang-Undang

Di atas adalah penjelasan terkait masa jabatan presiden dan wakilnya di dalam UUD 1945. Lebih jelas bahwa masa jabatan lembaga kepresidenan tidak boleh lebih dua kali dapat dibaca dalam undang-undang terkait pemilihan presiden.

Di UU tersebut, semuanya mensyaratkan calon presiden dan wapres tidak boleh pernah menjabat lebih dari dua kali. Dalam peraturan pilpres terbaru—Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum—hal tersebut masuk dalam aturan syarat calon presiden dan wakil presiden.

Huruf n Pasal 169 UU 17 Tahun 2017 mengatur, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.

Ketentuan syarat itu makin menegaskan bahwa maksimal seseorang bisa menjabat selaku presiden dan wakil presiden adalah dua kali periode jabatan. Seseorang yang pernah menjabat sebagai wakil presiden (ataupun presiden) lebih dari dua kali—sebagaimana halnya Wapres Jusuf Kalla—tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi calon wakil presiden.

Kalau masih ada saja yang berargumen bahwa Pak JK masih bisa menjadi calon wapres karena periode jabatannya tidak berturut-turut, maka argumentasi demikian dipatahkan oleh penjelasan dari Huruf n Pasal 169 UU 17 Tahun 2017.

Penjelasan tersebut mengatur, "Yang dimaksud dengan 'belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun”.

Demikianlah penjelasan singkat terkait wacana mewapreskan kembali Pak Jusuf Kalla. Dengan segala hormat saya kepada Pak JK dan PDI-P yang mempunyai aspirasi demikian, saya berpandangan rencana itu tidak memungkinkan diwujudkan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan lebih jelas lagi menabrak syarat wakil presiden dalam undang-undang terkait pemilihan presiden.

Karena aturan pembatasannya sudah jelas dalam UUD 1945 dan UU Pemilu maka rencana mengajukan isu hukum ini ke Mahkamah Konstitusi sudah tidak lagi relevan dilakukan.

Jadi siapa calon Wakil Presiden yang akan mendampingi Pak Jokowi? Siapa pula yang akan menjadi pesaingnya dalam Pilpres 2019? Dinamika politiknya pasti akan menarik hingga detik-detik terakhir pendaftaran capres dan cawapres pada Agustus tahun ini.

Yang pasti, mari kita pastikan semua proses itu sejalan alias tidak bertentangan dengan konstitusi kita bernegara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar