Senin, 01 Januari 2018

Kapasitas Pembangkit China

Kapasitas Pembangkit China
Tumiran ;  Anggota Dewan Energi Nasional; Akademisi UGM
                                               KORAN SINDO, 22 Desember 2017



                                                           
Kapasitas terpasang di China, menurut informasi berkembang sangat cepat, sejak 2012 pertumbuhan kapasitas pembangkit China bertambah 14% per tahun dari kapasitas terpasang dan mencapai kapasitas total sebesar 1.245 GWe pada 2014.

Data dari China Electricity Council, instalasi terpasang pembangkit pada akhir 2015 telah mencapai 1.521 GWe dan meningkat menjadi 1.645 GWe pada 2016.

Dalam 2012 sampai 2016 telah terjadi peningkatan kapasitas pembangkit yang sangat drastis,  angka yang sangat fantastis bila dilihat oleh kita di Indonesia.

Pada 2016,  komposisi pembangkit fosil mencapai 1054 GWe dengan produksi energi mencapai 4.289 TWH, pembangkit hidro mencapai 332 GWe dengan produksi energi mencapai 1.181 TWH, nuklir dengan gross kapasitas 33.6 GWe memproduksi energi mencapai 213 TWH, pembangkit wind power  mencapai 149 GWe dengan produksi energi mencapai 241 TWH dan pembangkit panel surya men­capai 77 GWe dengan total produksi energi mencapai 77 GWe.

Saat ini China diketahui sebagai negara yang unggul mengembangkan dan memanfaatkan pembangkit dengan teknologi super critical  dan ultra critical. Pada 2013, China menghabiskan batu bara tidak kurang dari 4,3 miliar ton, lebih dari setengah kebutuhan dunia, dan pada 2020 diharapkan kebutuhan batu bara akan me­nurun dan batas yang dapat ditekan menjadi 3,5 miliar ton per tahun.

Memperhatikan statistik data energi yang diproduksi dari masing-masing jenis pembangkit sumber PV (panel Surya) memiliki EAF yang paling rendah, disusul oleh wind power. PLTN memiliki EAF yang paling tinggi bersama hidro dan fosil.

Perhatikan juga PLTS dengan kapasitas total 77 GW hanya menghasilkan energi output  total sebesar 66 TWH, sementara PLTN dengan kapasitas total 33,6 GW menghasilkan energi output  kumulatif mencapai 213 TWh.

Kalau dilihat angka kumulatif energi output  berdasarkan data China, untuk menyetarakan energi listrik yang dihasilkan oleh 33,6 GWe PLTN-nya diperlukan sekurang kurangnya 248 GWe PV.

Untuk menyamai fungsi diperlukan baterai. Berapa TWh baterai diperlukan dan berapa volume baterai diperlukan. Berapa Biaya yang diperlukan untuk investasi 248 GWe tersebut. Perhitungan masih kasar yang perlu di kalkulasi lebih detil.

Selain ini karakteristik energi matahari yang intermittent, tentu sulit menan­dingi atau menggantikan fungsi energi yang bersifat continuous  seperti energi fosil (batu bara, gas) dan energi baru nuklir.

Bidang nuklir saat ini China memiliki 37 nuklir reaktor dan 20 unit sedang dalam konstruksi, dan direncanakan pada 2020-2021 kapasitas pembangkit nuklir akan mencapai 58 GWe dan direncanakan akan bertambah menjadi 150 GWe pada 2030 dan akan lebih banyak lagi tambahannya pada 2050.

Yang mendorong China mempercepat pembangunan pembangkit nuklir besar besaran adalah faktor polusi akibat pembangkit batu bara yang sangat besar jumlahnya yang menyerap batu bara saat ini telah lebih dari 4 miliar ton per tahunnya.

Teknologi nuklir yang diadopsi China adalah teknologi Barat yang dimodifikasi sendiri. Kebijakan yang dilakukan China terhadap nuklir adalah berambisi menjadi pengekspor teknologi nuklir beserta peralatan komponen pendukung­nya dan ambisi berkontribusi untuk mengurangi emisi.

Berdasarkan rencana NEA yang diumumkan pada November 2016, pada tahun 2020 pembangkit batu bara akan dibatasi menjadi 1.100 GWe, dengan menunda proyek PLTU sebesar 150 GWe dan pembangkit gas diprediksi menjadi 110 GWe, solar 110 GW, hidro 340 GWe, angin (wind power) mencapai 210 GWe, dan nuklir mencapai 58 GWe.

Konsumsi listrik di China saat ini telah mencapai hampir 3.900KWh/kapita. Mereka merencanakan pada 2030, konsumsi listrik per kapita akan mencapai 5.50 KWh/kapita, dan pada 2050 diproyeksikan akan mencapai konsumsi 8.500 KWh/kapita.

Hal yang sangat menarik dan perlu diadopsi oleh kita di Indonesia, awalnya China untuk pembangunan pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, termasuk turbin, generator, power transformer  adalah menggunakan teknologi dari luar China.

Secara berahap, dengan strategi politik yang jitu dalam skenario besar serta penyiapan manajemen SDM, saat ini China telah mampu mandiri di bidang sektor ketenagalistrikan.

Pembuatan pembangkit listrik dengan berbagai variasi, yang awalnya teknologinya masih menggunakan teknologi konvensional yang proses pembakaran batu bara menghasilkan emisi besar, saat ini China telah mampu membuat PLTU batu bara dengan kriteria Super dan Ultra Critical yang lebih efisien dan nyata.

Semua dikerjakan mulai desain dan manufaktur serta EPC oleh bangsa ini sendiri. Demikian juga dengan industri pendukung untuk transmisi, trafo baik tegangan rendah, tinggi dan ultratinggi 1000 KV, telah mampu dibuat oleh mereka.

Refleksi ini mestinya dapat menjadi pembelajaran buat kita di Indonesia. Sudah waktunya kebutuhan energi listrik yang terus meningkat, harus ditopang dengan pengembangan teknologi yang di transformasikan di dalam negeri untuk bias menjadi bangsa yang mandiri sehingga memiliki ketahanan pembangun­an infrastruktur energi.

Ruang politik, kebijakan, dan implementasi diharapkan melekat pada para pengambil keputusan. Dewan Energi Nasional yang telah menyusun KEN dan menetapkan RUEN telah mengarahkan untuk kemandirian di sektor energi, mulai hulu, dan pembangunan infrastruktur pendukungnya diarahkan untuk memperkuat industri domestik, menciptakan lapangan kerja, dan menjadikan bangsa Indonesia untuk mampu berkarya.

Kebijakan dan arahan tersebut mestinya diikuti oleh sektor implementor. Tanpa adanya keinginan implementasi oleh sektor implementor, kebijakan dan arahan yang telah disusun DEN dan telah menjadi dokumen negara dalam bentuk PP No &9/2014 dan RUEN dalam bentuk Perpres No 22/2017, hanya akan menjadi dokumen dalam bentuk tulisan. Marilah kita gerakkan untuk mandiri.

Pertanyaan yang menggelitik selama kunjungan singkat tersebut adalah mengapa China membangun infrastruktur listrik secara besar besaran dan percepatannya sangat luar biasa untuk ukuran kita di Indonesia.

Pada 2015 akhir total kapasitas terpasang sudah mencapai 1.520 GW dan sangat fantastis pada akhir 2016, jumlah kapasitas pembangkit yang telah terpasang mencapai 1.645 GW, ada penambahan 125 GW pada 2015 akhir sampai 2016 akhir, angka yang sangat fantastis.

Menurut informasi yang diterima, pembangunan besar infrastruktur listrik tersebut, adalah selain untuk melistriki semua warganya, juga adalah menjamin pasokan listrik yang andal, berlanjut, dan ekonomis untuk menggerakkan sektor industri dan bisnis.

Sektor industri dan bisnis memerlukan jaminan pasokan yang berkelanjutan. Sehingga di dalam perencanaan listrik, mereka tidak total mengikuti pertumbuhan ekonomi pada awalnya, tetapi infrastruktur listrik dibangun untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan menggerakkan sektor hilir untuk menghasilkan produk-produk industri memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, mempercepat penciptaan lapangan kerja untuk rakyatnya berbasis pengetahuan dan keterampilan.

Hal yang menarik kebutuhan listrik yang meningkat yang membutuhkan infrastruktur ditopang oleh penguatan dan kemandirian industri domestik. Mereka berusaha melakukan reverse engineering  dan hasil jiplakan produk luar, dilakukan modifikasi dan rekayasa sampai mereka kuasai dan dilanjutkan dengan pabrikasi sendiri.

Usaha ini sepertinya ada di dalam skenario negara yang bersinergi dengan BUMN dan warganya. Semua produk tersebut, pemakai, dan implementornya adalah perusahaan domestik (BUMN) negara dan dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sampai produknya dapat menjadi produk ekspor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar